Padamu Malam
Nurul Zee
Terlihat gemerlapmu di sudut malam
Lupakah kau pada rumah penuh kasih itu ?
Ada riak-riak bahagia antara kita di sana
Aku tau tak mudah sembuhkan luka
yang masih berdarah
Bahkan kurasa buih-buih di lautan tobat menghilangkannya
Seperti bercumbu dengan malaikat maut
yang memakai baju compang-camping
butir-butir air mata yang mengkristal tak berarti lagi
Hanya menunggu peri bahagia
Memutar tongkat ajaibnya padamu
Maka sembuhlah luka itu.
Rumah CAHAYA-Sumut, 5 April 2009
Duka Peri
Sitha Muriani
Oh, peri yang ditagihi sejuta pinta
menghadirkan luka pada kepak sayapnya
gemerlap yang sembuh dari tongkat mini
derit pintu rumah ingin kuak misteri
dimana riak embun menghantui pagi
silet nadinya berpencar darah
bejana buih tangis dalam genggaman
ingin kucumbu, kecuo irismu
dimana nada baju penat coklat bau dusta
pada siapa denting kristal ini kukirim dan kubagi ?
Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009
Gemerlap Tasbih Jiwa
Eka Dyah
Bilik rumahku diamuk gelombang
Meriak dalam sujud panjang
Menghempas tarian-tarian darah di petangnya malam
dan buih-buih resah pun terlantun sudah
Bercumbu dengan keping-keping cinta dari sayap terindah
Berbaju sunyi tak kenal letih
Pelan mengkristal di mushaf putih
Penuh peri yang sibuk mengias terali asma-Nya
Hamparan luka pun terasa sempurna
Dalam gemerlap tasbih jiwa
Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009
Di Gerbang Penantian
MN. Fadhli
Kulempar pandang pada buih di jauh sana
yang tak lekang bercumbu pada samudera
Kurasakan bajuku pun seperti putihnya nyaliku saat ini
Sungguh, kini kristal angkuhku kian pecah
Di bibir pantai ini kurasakan dekapan peri maut yang kian lekat
Yang tersisa hanya luka
Ya, luka yang kerap kutoreh
Diuntaian gemerlapnya fatamorgana dunia
Oh,
Ingin rasanya kupulang ke rumah kedamaian
Yang sunyi dari riak kenistaan, riak tak bertuan
Sedetik lagi darahku kan beku
Lantai pecah bersama buih itu.
Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009
Tentang Kau
Selvi Rani
Kusaksikan waktu
Mengkristal di bahumu
Juga peri
Yang menari di titik-titik
Matamu,
Maka untukmu,
Luka cuma cerita
Tak perlu lah ia
Menyinggah telinga
Yang kutau,
Jari-jarimu kian lincah saja
Menata gemerlap
Lalu kau sandingkan di dinding-dinding rumah kita
Dan ketika angin
Mulai meriak
Kau bungkam ia dengan segala rupa
Sekalipun payah
Sekalipun berdarah
Hingga ia hanya mampu mengarak buih
Sudah itu menyerpih
Dan aku cuma bisa mencumbu bayangmu
Yang masih tersimpan dalam baju itu
Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009
Rangkaian Perjalanan Hati
Annisa HD
Aku masih ragu bercumbu dengan perasaan ini
Masih tak banyak baju yang kukenakan
Kusam
Mungkin harus mengkristalkan diri
Mengendapkan sampai satu purnama lagi
Tak harus beribu peri meyakinkan
Tak harus satu gores luka lagi yang harus
kudapati maknanya
Pun untuk menggemerlapkan bingkai di ruang-ruang kosong
Aku hanya akan singgah di rumah terakhir
Menunggu dan menunggu riak menepi
Mencari bagian-bagian yang akan ditempati
Hingga gumpalan hati yang mendarat dulu
Kembali menjadi asalnya buih.
Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009
Mimpi
Chairani
tak ada lagi gelombang di laut mati
walau angin menghembus pedih
riak pun tak tampak lagi
hanya darah yang berserak
membenam di kegelapan
buih mulai membentuk warna merah
bercumbu dengan bibir pantai
menyapa kegalauan hati
baju putih yang kukenakan terhempas buih
kristal di air mataku berubah merah
penuh riak kepedihan
datanglah peri memberi janji
menghapus buih merah penuh darah
dalam gemerlap gelombang lautan
kembaliku ke rumah kedukaan
kuharap ilusi
Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009
Jangan Galau
Silfa Humairah
Kucicip luka kemarin
Yang punya gemerlap di ruang gelap
Rumah tua tanpa taman
Tanpa bunga bersenandung riak
Jadi kisah berdarah
Sudahlah...
Bukannya hidup memang mencerna buih
Sesekali bercumbu masa lalu
Menapaki masa depan
Baju seragam bagi setiap manusia
Menyambut kristal kehidupan di puncak
Kau bukan peri yang harus selalu riang
Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009
Sayap-sayapnya
Intan HS
Entah berapa kali ia menukik
Atau kadang merosot terlalu jauh
Langkahku juga terasa di atas buih
Pada tanah yang terhentak sebelum mimpi habis
belum lagi selesai
Entah berapa kali ia hampir padam
Hilang terang dalam gemerlap bintang
Terasing di kala pagi masih bersembunyi
Sampai embun mengikis nadi
Riak yang ia gambar
Seiring awan berarak-arak
Telah mengendap
Tinggal retak
Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009
Darahku, Darahmu
Sukma
setelah darahmu aku cuci
pada benda hitam bernama tasbih
diantara sela-sela waktu
meski terus membulir dari sisik hatiku
mana lah bisa kusimpan semua itu
jujur, aku tak bisa melakukannya
mungkin karena terlalu sering
aku dicumbu angin
yang tiap sore kita singgahi
kulihat rambutmu bergerai pasrah
ya, sungguh aku tidak sanggup
mencuci darahmu dengan tasbihku
walau sudah tidak sekali dua kali
dalam satu baju ada kutemui
namamu, namanya
terkunci rapi bersemai mawar warna-warni
ahai,
bening matanya umpama kristal yang pecah
ketika darah itu semakin aku cuci
semakin aku tak mengerti
sementara lain kali
aku memandang alisnya yang beranak
itulah peri yang menari
maka, sepantas apa dia bersanding di hatiku ?
jawabnya, sepantas itu luka mengembalikan air mata
yang merah-merekah
setelah darahmu aku cuci
setelahnya lukaku terbit lagi
hanya lampu-lampu gemerlap
di bibir rumahmu
yang kerap menemani hampa
ruang kosong hatiku
cuma itu !
walau kutau
semakin aku tunggu wajahmu
semakin aku nanti wajahnya
tetap saja riak darahmu
riak darahku
sepertinya sudah pun membeku
Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009
Kamis, 09 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar