Rabu, 08 Juli 2009

Kembali Pulang 2


Oleh : Sukma

Sepagi tadi, seisi rumah terlihat benar-benar diguyur panik. Adik perempuan saya yang biasanya berleha-leha di tempat tidurnya seketika bangkit dan melonjak saat membaca isi ponselnya yang berisi tentang kabar tak mengenakkan itu.

“Mak, aku baru dapat sms dari Wak Ipo. Bukde Lina sudah meninggal jam enam tadi !” Suara adikku memburu.

Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiun !! Sambil mengelus dada emak terdengar beberapa kali mengucapkan kata-kata itu.

Begitupun adikku yang lelaki, abangku_kala itu ia masih tidur_ juga si bapak yang tengah menyapu halaman terdengar sedikit gaduh. Mungkin terkejut. Pasalnya malam tadi, mak dan bapak menjenguk kabar derita bukde kami itu di rumah sakit berjarak tidak jauh dari rumah.

Dan jujur saja, saya yang pagi ini tengah asyik nongkrong_dalam renungan yang panjang_ di toilet, sepintas terganggu pula.

“Meninggal ? Sudah saatnya kah?” Kata saya dalam hati.

Namun, memang dari sekian orang-orang yang ada di dalam rumah hanya saya-lah yang terbilang cuek. Tidak gusar sedikit pun. Emak terlihat terus saja mengelap air matanya yang tak kunjung usai. Sesenggukan. Bapak mengambil handphone, bersihendak mengabari sanak famili nun jauh di kampung. Sama pula dengan adik dan abangku, sudah langsung mandi, berbusana dan berpeci kemudian menggilir pesan kematian itu ke tetangga-tetangga terdekat.

Mereka sibuk. Nyaris melupakan sarapan pagi saya, yang umumnya, sudah harus terhidang di meja makan. Adik saya yang perempuan juga bergegas. Menjemur pakaian, menyapu ruang depan hingga menyetrika jilbab yang hendak dipakai.

Lagi-lagi saya tetap mengacungkan tampang cuek. Saya malah asyik menyemir sepatu. Mengemasi buku-buku dalam tas kemudian menyalakan televisi.

Itulah !

Entah mengapa saya tidak merasa penting dengan berita kematian itu. Saya tidak merasa itu hal yang ajaib. Karena menurut saya mati dan hidup adalah hal biasa. Orang-orang menangisi jenazah yang sudah tiada adalah hal yang sudah umum. Lalu, apa yang hendak dihebohkan dengan kejadian itu ?

Saya juga merasa bahwa sanak famili yang jauh pasti sudah ada yang mengabari, bilal mayit, penggali kubur serta Wak Dullah, pemuka agama di desaku yang biasa mengumumkan berita kematian di Toa Mesjid, pun pasti sebentar lagi akan berkumandang menghalo-halokan perihal berita itu.

Maka sekali lagi, apa sebenarnya yang mesti saya repotkan ?

Sementara tetangga-tetangga, kaum ibu dan bapak, beberapa tampak pula anak muda mulai berduyun menuju rumah almarhumah bukde saya. Mereka berbusana begitu rapi. Ada juga yang bertampang necis. Jilbab penuh kemeriahan. Juga ada yang saya lihat seperti hendak pergi berhari raya saja. Rapi nian. Sungguh, kejadian pagi ini benar-benar mengherankan bagi saya.

Tak lama berselang, mak juga mulai berteriak-teriak, menyuruh adik saya yang perempuan untuk lekas menjerang air, menggoreng telur hingga bermata sapi untuk sarapan pagi ini. Si abang juga disuruh-suruh supaya lekas mengeluarkan sepeda motornya. Cuma saya yang tidak disuruh emak. Mungkin karena emak sungkan.
Karena sepagi itu pasti saya sudah berdandan rapi, kemeja licin, celana bersih dan sepatu mengkilap ialah tanda bahwa saya telah siap untuk menerjang rezeki. Biasanya, kalau pagi mulai tiba tabiat saya memang begitu. Lekas mandi, berseragam rapi, menyetel tivi seraya menunggu sarapan pagi.

Maka kalau sarapan pagi tak kunjung tiba selanjutnya saya akan pergi sendiri ke pajak pagi untuk membelinya disana. Egois !! Kata adik saya begitu.

Mungkin ada benarnya. Namun, saya memang tidak pernah merasa begitu. Hari-hari saya selalu membuat saya nyaris tidak punya banyak waktu bahkan sering kehilangan waktu. Bukan pada persoalan manajemen waktunya tapi lebih kepada aktifitas yang jumlahnya tidak sebanding. Kadang rencana seabreg yang saya miliki belakangan sering menjelma duri yang teramat tajam. Kadang pula ibarat gua yang menakutkan.

Maka, memikir hari-hari itu jauh lebih menakutkan bagi saya ketimbang mendengar berita kematian pagi ini. Mungkin memang saya tipikal orang yang tak sembarang berkawan, terlalu suka menghabiskan waktu di luar, tidak terlalu peduli ke sanak famili hingga membuat saya tidak merasa begitu dekat dengan mereka.

Tidak hanya itu, jauh sebelum-sebelumnya ketika banyak teman-teman SD saya yang sudah naik pelaminan kemudian mengundang saya pada resepsinya itu, saya justru sama sekali tidak berhasrat datang ke pesta itu, apalagi arisan-arisan keluarga, acara wiritan tetangga sampai peringatan hari-hari besar islam di mesjid ujung, pun jarang jua saya ikuti.

Saya sama sekali tidak mengerti. Kenapa saya bisa sebegini egois, sebegini cuek. Padahal dulu-dulunya tidaklah saya separah ini. Apa mungkin karena aktifitas kota tengah meleburkan saya pada kegiatan-kegiatan seperti ini ? Mungkinkah saya sudah terlalu jauh masuk ke dalam kehidupan modern yang membuat saya lupa dengan aktifitas tradisionil, tempat saya dulu dilahirkan ?
Apa juga karena saya terus digilakan dengan semua kecintaan pada hal yang sebenarnya justru (menjauhkan) saya dari nilai-nilai kehidupan ? Atau yang ekstrimnya, apakah saya sudah tidak lagi ingat perihal etika ketuhanan sebagai manusia yang punya hubungan horizontal ?

Oh.., saya benar-benar tidak mengerti !

Tampang-tampang sedih yang muncul pagi ini di rumah sebenarnya adalah simbol bahwa di rumah ini masih menganut jauh tentang apa yang disebut falsafah mati dan hidup. Hal yang kini terlalu sering saya khianati.

Alhasil ketika emak mengusung ide agar hari ini saya di rumah saja, tidak usah masuk kerja dan musti hadir diacara pemakaman almarhumah bukde saya itu, maka sesungguhnya itu permintaan yang teramat sulit bagi saya.

Namun sebagai seorang penulis justru kondisi ini menantang saya. Membuat saya harus mampu menciptakan alur cerita yang baru, adegan-adegan yang fantastis dan ending yang mutakhir dalam tiap cerpen yang kelak saya ciptakan. Hanya saja, yang paling payah saai ini, saya sendirilah tokoh utamanya.

Memang sesekali saya harus belajar mengorbankan semua rencana-rencana yang tadi malam tengah saya susun. Saya juga harus belajar bagaimana masuk dn mencitpakan sebuah cerita dengan dilatari adegan-adegan pemakaman yang nyata, yang itulah sebentar lagi akan saya kunjungi.

**

Benar dugaan saya !

Saat saya dalam suasana kematian yang hening itu, isak tangis kaum pentakziah pelan-pelan menjadi alunan keroncong tanpa nada begitu sepi, wajah-wajah lengang yang membatu, doa dan ayat-ayat yang diterbangkan, serta kain kafan, tempat pemandian dan keranda yang tengah dipersiapkan setidaknya menghipnotis saya untuk tidak bisa banyak bicara.

Saya benar-benar lupa dengan pekerjaan di kantor, saya sudah tidak ingat tentang janji dengan para peserta “workshop menulis” yang saya gelar beberapa hari lalu, saya sama sekali khusyuk dalam riuh aroma daun pandan dan kapur barus yang berkali-kali ditaburkan si bilal ke dalam tempayan tempat pemandian si mayit.

Tapi herannya, justru semakin saya khusyuk, semakin terasa bahwa dada saya berdenyut sesak. Tidak tau mengapa. Saya mencoba menukik ke dalam hati, benak dan emosi saya. Menemukan suatu yang membuat saya tidak habis pikir. Kenapa saya tidak kunjung sedih ? Kenapa saya tetap merasa ini biasa-biasa saja? Dan menangis, tetap saya rasakan sebagai sebuah ketololan saat itu.

Isak tangis terus menghilir dari pipi anak-anak alamarhumah bukde saya itu. Bahkan anaknya yang perempuan hingga siang itu saya hadir, tidak kunjung bangun dari pingsannya. Sementara saya tetap cuek-cuek saja. Tidak ada perasaan apapun !

Saya terus mencari dari kejadian hari ini yang bisa saya kutip pelajaran, ide, pemaknaan, pengetahuan dan rasa kemanusiaan untuk kemudian terjadi internalisasi dalam diri dan segenap tulisan-tulisan saya. Tapi, lagi-lagi saya tidak lihai menemukan itu.

Dalam keadaan yang cukup kikuk, saya masih saja sendirian. Berharap aliran cerita berubah wujud menjadi kisah yang bisa saya tulis sepulang nanti. Namun tetap saja saya terus dikepung bingung, bingung hendak melakukan apa.

Begitupun takut salah bicara. Apalagi memang tidak ada bahan pembicaraan yang bisa saya ungkapkan pada orang-orang di sekitar saya. Saya juga tidak mau terlihat sok sibuk, sok pura-pura membantu. Seperti mengangkat kursi-lah, membentang tenda, memasang kabel microphone atau mengatur parkir-lah. Karena saya tau, itu semua sudah dikerjakan.

Palingan, yang bisa saya lakukan waktu itu yakni mendekati Dian, anak almarhumah bukde saya yang paling besar. Wajahnya sangat kecut. Beberapa kali matanya terus melinangkan air. Sedu-sedannya jelas terlihat. Sebenarnya saya sangat ingin merangkul pundaknya seraya mengatakan, Sabar, ya ! Allah tau yang terbaik buat hambanya. Namun, kata-kata itu juga tidak berani saya ucapkan. Saya hanya diam saja.

Berselang kemudian, Dian beranjak. Kursi di sebelah saya kini kosong. Dari kejauhan bapak saya yang sedari pagi sudah berada di rumah duka ini kini duduk di bangku itu tepat di sebelah saya. Padah kalau bapak tidak mengarah ke bangku ini, saya sudah berniat ingin pulang saja.

“Kapan dikebumikan, Pak ?” Tanya saya

“Berharapnya sih sebelum zhuhur. Tapi sepertinya bakal dikebumikan setelah zhuhur juga,” jawab bapak saya sederhana. “Masih di sini kan sampai selesai ?” Tanya bapak saya kemudian.

“Kenapa, Pak ? Apa masih banyak yang harus dikerjakan ?”

“Bukan ! Tadi pakdemu cerita sama Bapak kalau di rumah ini anak-anaknya, termasuk si Dian tidak ada yang bisa menyolatkan bukdemu itu. Bapak rencananya nyuruh kamu. Bisa kan ? Jadi jangan pulang dulu, ya !” Kata bapak dengan suara pelan.

“Aduh !!”

Seketika saya terkejut bukan main. Tapi biarlah, kini sepertinya ide tulisan saya sudah ketemu.


Medan, 27 Mei 2009

1 komentar: