Kamis, 09 Juli 2009

Nyali Berpuisi diuji Lagi

Sukma

Bermain-main dengan kata umpama menikmati kolak dingin yang menggigil. Beku. Apalagi disantap kala musim panas tiba juga saat haus meradang. Bukan, bukan itu. Tapi yang pas ibarat makan kurma ketika buka puasa. Ya...juga kurang tepat! Yang cocok mungkin santapan siang saat lapar-laparnya ditraktir teman kerja. Yah, itu lebih mungkin.

Namun menurut saya, mengais kata-kata yang biasa kemudian mengubahnya menjadi rangkain cerita atau embel-embel tulisan yang apik (kalau salah seorang teman saya bilang, kata yang dibuang sayang, diberi ke orang lain juga takut) maka ini yang saya sebut sebagai sebuah kenikmatan.

Apapun namanya justru itu tidak penting dipusingkan menurut saya. Karena bisa jadi sesuatu yang saya anggap nikmat pastilah tak sama nikmat dengan kenikmatan yang dirasakan oranglain, begitupun sebaliknya. Kolak dingin, kurma, dan ditraktir makan siang di kala lapar adalah sebagi bonus yang dapat kita dirasakan. Itulah perumpamaan yang bisa saya ungkap seputar keasyikan merangkai kata-kata yang berserakan tepat di laci pikiran kita.

Maka, inilah kata-kata itu. Yang minggu lalu dalam kelas menulis fiksi FLP Sumut disajikan dalam menu, yang sebenarnya, tidak jauh beda lantas didesain sedikit dengan kemasan yang tidak mengurangi cita rasanya. Kata-kata itu ialah riak, buih, baju, kristal, peri, luka, gemerlap, rumah, cumbu dan darah.

Adegan Uji Nyali
Tentulah siapa saja sepakat bahwa sepuluh kata tersebut bukan kata-kata istimewa. Justru kita teramat sering mendengarnya dalam hidup keseharian ini. Kata-kata itu dibagi ke tiap orang satu persatu. Kemudian dirangkai menjadi sebuah sajak yang lepas, lewat kata-kata yang sepuluh itu diputar untuk melewati setiap anggota dan menjadilah kata-kata tersebut digubah sesuai keinginan.

Tantangan !
Saya suka dengan ucapan itu. Melewati tantangan kadang membuat saya begitu ambisi. Maka pusing, bingung, panik kalau-kalau kata tersebut entah jadi apa nantinya. Namun saya tetap yakin, teman-teman yang lain juga tetap yakin tentang mau jadi apa tulisan itu, berwujud apa dia, entah pun tidak berkelamin, maka sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh saya dan teman-teman.

Untuk sebuah proses kreatif, tidak penting hasil yang berwujud. Jauh lebih kepada keberanian mengobok-ngobok, mendesain, menata, bahkan menghias kata-kata mentah yang dilempar menjadi semacam hiasan dinding untuk di tempel ke hati khalayak pembaca.

Karya-karya Mutakhir
Dan terkaan tentang itu semua menurut saya sama sekali keliru. Termasuk pada diri saya sendiri. Kebebasan berekspresi yang dilepaskan dalam anak-anak kata yang menjadi bagian terkhusyuk saat games ini dimainkan.

Ada racikan kata yang mutakhir dalam kesempatan tersebut. Racikan itu memberikan aroma yang mengulik hidung saya untuk mendengus dan memberikan rasa lapar di lambung benak saya.

Hmm, coba lihat saja karya Nurul Zee dengan judulnya Padamu Jua. Kata-kata mutakhir yang sempat cek-cok saya rasakan diawali dengan lead yang memukau. Terlihat gemerlapmu di sudut malam/Lupakah kau pada rumah penuh kasih itu ? Ada riak-riak bahagia antara kita di sana/Aku tau tak mudah sembuhkan luka ...Meski lirih tapi itu cukup mengulik rasa.

Bejana Buih Tangis dalam Genggaman ialah potongan dari sajaknya Sitha Muriani juga memberi efek tanya yang tak henti. Bejana buih yang mana yang bisa menangis ?

Begitupun denyut-denyut kearifan tuhan muncul sepintas dalam sajak Eka Dyah yang berkecipak ilahiah di dalamnya. Karena Gemerlap Tasbih Jiwa-nya seolah memberi isyarat bahwa apa saja yang terasa dan terjadi adalah sekumpulan anak-anak resah untuk dimuarakan pada satu titik bernama mushaf putih. Yang mungkin kelak esok hari kita makin sering melupakannya. Kurang lebih begitu Eka Dyah menuturkan.

Hawa kedamaiaan, kerinduan pada ilalang sepi, kepasrahaan serta kasih sayang untuk pulang dan mengabdi begitu jelas diombang-ambing para penyair dalam sajak-sajak kreasi mereka. Seperti MN. Fadhli dalam sajaknya Di Gerbang Penantian. Penyair Selvi Rani, yang lebih berbisik kepada simbol-simbol benda hidup umpama nadi-nadii kehidupan yang bergerak lewat aktifitas manusia secara utuh.

Begitupun keresahan, rasa tidak berdaya, serta keharusan untuk mendermakan diri kepada titik dimana kita telah menghabiskan banyak masa, banyak waktu untuk sejatinya kembali kita hadirkan ke masa depan. Yaitu Annisa HD kerap bermain-main dengan pengharapan seperti itu. Aku masih ragu bercumbu dengan perasaan ini/Masih tak banyak baju yang kukenakan/Kusam/Mungkin harus mengkristalkan diri/Mengendapkan sampai satu purnama lagi.

Terbilang unik, juga tampak asing, ketika Chairani—seorang guru asal SMA Dharmawangsa—menjelmakan kata-kata itu menjadi sajak yang ranum bagi saya. Sajak yang tak cukup mewakili hasrat seorang guru yang tengah belajar mengukir kata. Inilah sajak yang terbit dari kemurnian rasa sebab kadang kala, sadar atau tidak, keingginan yang bergejolak itu sering kali menghilirkan denting-denting kelembutan pada apa saja yang kita sebut sebagai kepolosan. Tak ada lagi gelombang di laut mati/Walau angin menghembus pedih/Riak pun tak tampak lagi/Hanya darah yang berserak/Membenam di kegelapan.../

Kucicip luka kemarin.../, tentu menjadi lead yang menghentak dari sajak Silfa Humairah. Apalagi ketika Silfa tetap mengambil jalur penyair yang setia bergerilya pada lead dan ending-ending yang terkadang menjebak. Ditambah lagi ketika pertengahan sajak, Silfa berani mengatur irama tulisan lebih bergerak, Sudahlah../Bukannya hidup memang mencerna buih/Sesekali bercumbu masa lalu/Menapaki masa depan.../


Mantap ! Mencerna buih sebagai sebuah pemaknaan dalam menggapai hakikat kehidupan bagi kita. Bagi saya, ini patut kita pikirkan masak-masak.

Sementara Sayap-sayapnya bikinan Intan HS sudah mengajak kita untuk tidak tanggung-tanggung terbang mengangkasa tanpa jejak, tanpa batas. Entah berapa kali ia menukik/Atau kadang merosot terlalu jauh/Langkahku juga terasa di atas buih/Pada tanah yang terhentak sebelum mimpi habis/belum lagi selesai .

Sementara puisi saya yang terakhir berjudul Darahmu, Darahku malah memberikan keterkejutan ketika dibaca di depan rekan-rekan yang lain. Hmm, mungkin itulah puisi terpanjang hari itu. Dan begitupun, saya tetap menggangap bahwa kekuatan penulis kadangkala akan tampak dan muncul saat nyali kepenulisan itu kian ditantang.

Maka, untuk selanjutnya mari kita saling menantang. Supaya terasah nyali menulis kita. Selamat membaca !

Medan, 6 Juli 2009

Parade Puisi Kelas Fiksi 5 Juli

Padamu Malam
Nurul Zee

Terlihat gemerlapmu di sudut malam
Lupakah kau pada rumah penuh kasih itu ?
Ada riak-riak bahagia antara kita di sana
Aku tau tak mudah sembuhkan luka
yang masih berdarah
Bahkan kurasa buih-buih di lautan tobat menghilangkannya
Seperti bercumbu dengan malaikat maut
yang memakai baju compang-camping
butir-butir air mata yang mengkristal tak berarti lagi
Hanya menunggu peri bahagia
Memutar tongkat ajaibnya padamu
Maka sembuhlah luka itu.


Rumah CAHAYA-Sumut, 5 April 2009


Duka Peri
Sitha Muriani

Oh, peri yang ditagihi sejuta pinta
menghadirkan luka pada kepak sayapnya
gemerlap yang sembuh dari tongkat mini
derit pintu rumah ingin kuak misteri
dimana riak embun menghantui pagi
silet nadinya berpencar darah
bejana buih tangis dalam genggaman
ingin kucumbu, kecuo irismu
dimana nada baju penat coklat bau dusta
pada siapa denting kristal ini kukirim dan kubagi ?


Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Gemerlap Tasbih Jiwa

Eka Dyah

Bilik rumahku diamuk gelombang
Meriak dalam sujud panjang
Menghempas tarian-tarian darah di petangnya malam
dan buih-buih resah pun terlantun sudah
Bercumbu dengan keping-keping cinta dari sayap terindah
Berbaju sunyi tak kenal letih
Pelan mengkristal di mushaf putih
Penuh peri yang sibuk mengias terali asma-Nya
Hamparan luka pun terasa sempurna
Dalam gemerlap tasbih jiwa


Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Di Gerbang Penantian
MN. Fadhli

Kulempar pandang pada buih di jauh sana
yang tak lekang bercumbu pada samudera
Kurasakan bajuku pun seperti putihnya nyaliku saat ini
Sungguh, kini kristal angkuhku kian pecah

Di bibir pantai ini kurasakan dekapan peri maut yang kian lekat
Yang tersisa hanya luka
Ya, luka yang kerap kutoreh
Diuntaian gemerlapnya fatamorgana dunia
Oh,
Ingin rasanya kupulang ke rumah kedamaian
Yang sunyi dari riak kenistaan, riak tak bertuan
Sedetik lagi darahku kan beku
Lantai pecah bersama buih itu.


Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Tentang Kau
Selvi Rani

Kusaksikan waktu
Mengkristal di bahumu
Juga peri
Yang menari di titik-titik
Matamu,

Maka untukmu,
Luka cuma cerita
Tak perlu lah ia
Menyinggah telinga

Yang kutau,
Jari-jarimu kian lincah saja
Menata gemerlap
Lalu kau sandingkan di dinding-dinding rumah kita

Dan ketika angin
Mulai meriak
Kau bungkam ia dengan segala rupa
Sekalipun payah
Sekalipun berdarah
Hingga ia hanya mampu mengarak buih
Sudah itu menyerpih

Dan aku cuma bisa mencumbu bayangmu
Yang masih tersimpan dalam baju itu


Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Rangkaian Perjalanan Hati
Annisa HD

Aku masih ragu bercumbu dengan perasaan ini
Masih tak banyak baju yang kukenakan
Kusam
Mungkin harus mengkristalkan diri
Mengendapkan sampai satu purnama lagi
Tak harus beribu peri meyakinkan
Tak harus satu gores luka lagi yang harus
kudapati maknanya
Pun untuk menggemerlapkan bingkai di ruang-ruang kosong

Aku hanya akan singgah di rumah terakhir
Menunggu dan menunggu riak menepi
Mencari bagian-bagian yang akan ditempati

Hingga gumpalan hati yang mendarat dulu
Kembali menjadi asalnya buih.


Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Mimpi
Chairani

tak ada lagi gelombang di laut mati
walau angin menghembus pedih
riak pun tak tampak lagi
hanya darah yang berserak
membenam di kegelapan
buih mulai membentuk warna merah
bercumbu dengan bibir pantai
menyapa kegalauan hati
baju putih yang kukenakan terhempas buih
kristal di air mataku berubah merah
penuh riak kepedihan
datanglah peri memberi janji
menghapus buih merah penuh darah
dalam gemerlap gelombang lautan
kembaliku ke rumah kedukaan
kuharap ilusi

Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Jangan Galau
Silfa Humairah

Kucicip luka kemarin
Yang punya gemerlap di ruang gelap
Rumah tua tanpa taman
Tanpa bunga bersenandung riak
Jadi kisah berdarah
Sudahlah...
Bukannya hidup memang mencerna buih
Sesekali bercumbu masa lalu
Menapaki masa depan
Baju seragam bagi setiap manusia
Menyambut kristal kehidupan di puncak
Kau bukan peri yang harus selalu riang

Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Sayap-sayapnya
Intan HS

Entah berapa kali ia menukik
Atau kadang merosot terlalu jauh
Langkahku juga terasa di atas buih
Pada tanah yang terhentak sebelum mimpi habis
belum lagi selesai

Entah berapa kali ia hampir padam
Hilang terang dalam gemerlap bintang
Terasing di kala pagi masih bersembunyi
Sampai embun mengikis nadi

Riak yang ia gambar
Seiring awan berarak-arak
Telah mengendap
Tinggal retak

Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009


Darahku, Darahmu
Sukma

setelah darahmu aku cuci
pada benda hitam bernama tasbih
diantara sela-sela waktu
meski terus membulir dari sisik hatiku
mana lah bisa kusimpan semua itu
jujur, aku tak bisa melakukannya

mungkin karena terlalu sering
aku dicumbu angin
yang tiap sore kita singgahi
kulihat rambutmu bergerai pasrah

ya, sungguh aku tidak sanggup
mencuci darahmu dengan tasbihku

walau sudah tidak sekali dua kali
dalam satu baju ada kutemui
namamu, namanya
terkunci rapi bersemai mawar warna-warni

ahai,
bening matanya umpama kristal yang pecah
ketika darah itu semakin aku cuci
semakin aku tak mengerti

sementara lain kali
aku memandang alisnya yang beranak
itulah peri yang menari

maka, sepantas apa dia bersanding di hatiku ?
jawabnya, sepantas itu luka mengembalikan air mata
yang merah-merekah

setelah darahmu aku cuci
setelahnya lukaku terbit lagi

hanya lampu-lampu gemerlap
di bibir rumahmu
yang kerap menemani hampa
ruang kosong hatiku
cuma itu !

walau kutau
semakin aku tunggu wajahmu
semakin aku nanti wajahnya
tetap saja riak darahmu
riak darahku
sepertinya sudah pun membeku

Rumah CAHAYA-Sumut, 5 Juli 2009

Rabu, 08 Juli 2009

Kembali Pulang 2


Oleh : Sukma

Sepagi tadi, seisi rumah terlihat benar-benar diguyur panik. Adik perempuan saya yang biasanya berleha-leha di tempat tidurnya seketika bangkit dan melonjak saat membaca isi ponselnya yang berisi tentang kabar tak mengenakkan itu.

“Mak, aku baru dapat sms dari Wak Ipo. Bukde Lina sudah meninggal jam enam tadi !” Suara adikku memburu.

Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiun !! Sambil mengelus dada emak terdengar beberapa kali mengucapkan kata-kata itu.

Begitupun adikku yang lelaki, abangku_kala itu ia masih tidur_ juga si bapak yang tengah menyapu halaman terdengar sedikit gaduh. Mungkin terkejut. Pasalnya malam tadi, mak dan bapak menjenguk kabar derita bukde kami itu di rumah sakit berjarak tidak jauh dari rumah.

Dan jujur saja, saya yang pagi ini tengah asyik nongkrong_dalam renungan yang panjang_ di toilet, sepintas terganggu pula.

“Meninggal ? Sudah saatnya kah?” Kata saya dalam hati.

Namun, memang dari sekian orang-orang yang ada di dalam rumah hanya saya-lah yang terbilang cuek. Tidak gusar sedikit pun. Emak terlihat terus saja mengelap air matanya yang tak kunjung usai. Sesenggukan. Bapak mengambil handphone, bersihendak mengabari sanak famili nun jauh di kampung. Sama pula dengan adik dan abangku, sudah langsung mandi, berbusana dan berpeci kemudian menggilir pesan kematian itu ke tetangga-tetangga terdekat.

Mereka sibuk. Nyaris melupakan sarapan pagi saya, yang umumnya, sudah harus terhidang di meja makan. Adik saya yang perempuan juga bergegas. Menjemur pakaian, menyapu ruang depan hingga menyetrika jilbab yang hendak dipakai.

Lagi-lagi saya tetap mengacungkan tampang cuek. Saya malah asyik menyemir sepatu. Mengemasi buku-buku dalam tas kemudian menyalakan televisi.

Itulah !

Entah mengapa saya tidak merasa penting dengan berita kematian itu. Saya tidak merasa itu hal yang ajaib. Karena menurut saya mati dan hidup adalah hal biasa. Orang-orang menangisi jenazah yang sudah tiada adalah hal yang sudah umum. Lalu, apa yang hendak dihebohkan dengan kejadian itu ?

Saya juga merasa bahwa sanak famili yang jauh pasti sudah ada yang mengabari, bilal mayit, penggali kubur serta Wak Dullah, pemuka agama di desaku yang biasa mengumumkan berita kematian di Toa Mesjid, pun pasti sebentar lagi akan berkumandang menghalo-halokan perihal berita itu.

Maka sekali lagi, apa sebenarnya yang mesti saya repotkan ?

Sementara tetangga-tetangga, kaum ibu dan bapak, beberapa tampak pula anak muda mulai berduyun menuju rumah almarhumah bukde saya. Mereka berbusana begitu rapi. Ada juga yang bertampang necis. Jilbab penuh kemeriahan. Juga ada yang saya lihat seperti hendak pergi berhari raya saja. Rapi nian. Sungguh, kejadian pagi ini benar-benar mengherankan bagi saya.

Tak lama berselang, mak juga mulai berteriak-teriak, menyuruh adik saya yang perempuan untuk lekas menjerang air, menggoreng telur hingga bermata sapi untuk sarapan pagi ini. Si abang juga disuruh-suruh supaya lekas mengeluarkan sepeda motornya. Cuma saya yang tidak disuruh emak. Mungkin karena emak sungkan.
Karena sepagi itu pasti saya sudah berdandan rapi, kemeja licin, celana bersih dan sepatu mengkilap ialah tanda bahwa saya telah siap untuk menerjang rezeki. Biasanya, kalau pagi mulai tiba tabiat saya memang begitu. Lekas mandi, berseragam rapi, menyetel tivi seraya menunggu sarapan pagi.

Maka kalau sarapan pagi tak kunjung tiba selanjutnya saya akan pergi sendiri ke pajak pagi untuk membelinya disana. Egois !! Kata adik saya begitu.

Mungkin ada benarnya. Namun, saya memang tidak pernah merasa begitu. Hari-hari saya selalu membuat saya nyaris tidak punya banyak waktu bahkan sering kehilangan waktu. Bukan pada persoalan manajemen waktunya tapi lebih kepada aktifitas yang jumlahnya tidak sebanding. Kadang rencana seabreg yang saya miliki belakangan sering menjelma duri yang teramat tajam. Kadang pula ibarat gua yang menakutkan.

Maka, memikir hari-hari itu jauh lebih menakutkan bagi saya ketimbang mendengar berita kematian pagi ini. Mungkin memang saya tipikal orang yang tak sembarang berkawan, terlalu suka menghabiskan waktu di luar, tidak terlalu peduli ke sanak famili hingga membuat saya tidak merasa begitu dekat dengan mereka.

Tidak hanya itu, jauh sebelum-sebelumnya ketika banyak teman-teman SD saya yang sudah naik pelaminan kemudian mengundang saya pada resepsinya itu, saya justru sama sekali tidak berhasrat datang ke pesta itu, apalagi arisan-arisan keluarga, acara wiritan tetangga sampai peringatan hari-hari besar islam di mesjid ujung, pun jarang jua saya ikuti.

Saya sama sekali tidak mengerti. Kenapa saya bisa sebegini egois, sebegini cuek. Padahal dulu-dulunya tidaklah saya separah ini. Apa mungkin karena aktifitas kota tengah meleburkan saya pada kegiatan-kegiatan seperti ini ? Mungkinkah saya sudah terlalu jauh masuk ke dalam kehidupan modern yang membuat saya lupa dengan aktifitas tradisionil, tempat saya dulu dilahirkan ?
Apa juga karena saya terus digilakan dengan semua kecintaan pada hal yang sebenarnya justru (menjauhkan) saya dari nilai-nilai kehidupan ? Atau yang ekstrimnya, apakah saya sudah tidak lagi ingat perihal etika ketuhanan sebagai manusia yang punya hubungan horizontal ?

Oh.., saya benar-benar tidak mengerti !

Tampang-tampang sedih yang muncul pagi ini di rumah sebenarnya adalah simbol bahwa di rumah ini masih menganut jauh tentang apa yang disebut falsafah mati dan hidup. Hal yang kini terlalu sering saya khianati.

Alhasil ketika emak mengusung ide agar hari ini saya di rumah saja, tidak usah masuk kerja dan musti hadir diacara pemakaman almarhumah bukde saya itu, maka sesungguhnya itu permintaan yang teramat sulit bagi saya.

Namun sebagai seorang penulis justru kondisi ini menantang saya. Membuat saya harus mampu menciptakan alur cerita yang baru, adegan-adegan yang fantastis dan ending yang mutakhir dalam tiap cerpen yang kelak saya ciptakan. Hanya saja, yang paling payah saai ini, saya sendirilah tokoh utamanya.

Memang sesekali saya harus belajar mengorbankan semua rencana-rencana yang tadi malam tengah saya susun. Saya juga harus belajar bagaimana masuk dn mencitpakan sebuah cerita dengan dilatari adegan-adegan pemakaman yang nyata, yang itulah sebentar lagi akan saya kunjungi.

**

Benar dugaan saya !

Saat saya dalam suasana kematian yang hening itu, isak tangis kaum pentakziah pelan-pelan menjadi alunan keroncong tanpa nada begitu sepi, wajah-wajah lengang yang membatu, doa dan ayat-ayat yang diterbangkan, serta kain kafan, tempat pemandian dan keranda yang tengah dipersiapkan setidaknya menghipnotis saya untuk tidak bisa banyak bicara.

Saya benar-benar lupa dengan pekerjaan di kantor, saya sudah tidak ingat tentang janji dengan para peserta “workshop menulis” yang saya gelar beberapa hari lalu, saya sama sekali khusyuk dalam riuh aroma daun pandan dan kapur barus yang berkali-kali ditaburkan si bilal ke dalam tempayan tempat pemandian si mayit.

Tapi herannya, justru semakin saya khusyuk, semakin terasa bahwa dada saya berdenyut sesak. Tidak tau mengapa. Saya mencoba menukik ke dalam hati, benak dan emosi saya. Menemukan suatu yang membuat saya tidak habis pikir. Kenapa saya tidak kunjung sedih ? Kenapa saya tetap merasa ini biasa-biasa saja? Dan menangis, tetap saya rasakan sebagai sebuah ketololan saat itu.

Isak tangis terus menghilir dari pipi anak-anak alamarhumah bukde saya itu. Bahkan anaknya yang perempuan hingga siang itu saya hadir, tidak kunjung bangun dari pingsannya. Sementara saya tetap cuek-cuek saja. Tidak ada perasaan apapun !

Saya terus mencari dari kejadian hari ini yang bisa saya kutip pelajaran, ide, pemaknaan, pengetahuan dan rasa kemanusiaan untuk kemudian terjadi internalisasi dalam diri dan segenap tulisan-tulisan saya. Tapi, lagi-lagi saya tidak lihai menemukan itu.

Dalam keadaan yang cukup kikuk, saya masih saja sendirian. Berharap aliran cerita berubah wujud menjadi kisah yang bisa saya tulis sepulang nanti. Namun tetap saja saya terus dikepung bingung, bingung hendak melakukan apa.

Begitupun takut salah bicara. Apalagi memang tidak ada bahan pembicaraan yang bisa saya ungkapkan pada orang-orang di sekitar saya. Saya juga tidak mau terlihat sok sibuk, sok pura-pura membantu. Seperti mengangkat kursi-lah, membentang tenda, memasang kabel microphone atau mengatur parkir-lah. Karena saya tau, itu semua sudah dikerjakan.

Palingan, yang bisa saya lakukan waktu itu yakni mendekati Dian, anak almarhumah bukde saya yang paling besar. Wajahnya sangat kecut. Beberapa kali matanya terus melinangkan air. Sedu-sedannya jelas terlihat. Sebenarnya saya sangat ingin merangkul pundaknya seraya mengatakan, Sabar, ya ! Allah tau yang terbaik buat hambanya. Namun, kata-kata itu juga tidak berani saya ucapkan. Saya hanya diam saja.

Berselang kemudian, Dian beranjak. Kursi di sebelah saya kini kosong. Dari kejauhan bapak saya yang sedari pagi sudah berada di rumah duka ini kini duduk di bangku itu tepat di sebelah saya. Padah kalau bapak tidak mengarah ke bangku ini, saya sudah berniat ingin pulang saja.

“Kapan dikebumikan, Pak ?” Tanya saya

“Berharapnya sih sebelum zhuhur. Tapi sepertinya bakal dikebumikan setelah zhuhur juga,” jawab bapak saya sederhana. “Masih di sini kan sampai selesai ?” Tanya bapak saya kemudian.

“Kenapa, Pak ? Apa masih banyak yang harus dikerjakan ?”

“Bukan ! Tadi pakdemu cerita sama Bapak kalau di rumah ini anak-anaknya, termasuk si Dian tidak ada yang bisa menyolatkan bukdemu itu. Bapak rencananya nyuruh kamu. Bisa kan ? Jadi jangan pulang dulu, ya !” Kata bapak dengan suara pelan.

“Aduh !!”

Seketika saya terkejut bukan main. Tapi biarlah, kini sepertinya ide tulisan saya sudah ketemu.


Medan, 27 Mei 2009

Bahrun dan Kinan

Sukma

Kelas V-A pagi ini sudah terlihat riuh. Anak-anak saling beradu sorak. Ada yang teriak, ada yang menjerit, ada pula yang ha-hi-hu. Mereka meneriaki Bahrun dan Kinan yang saling ejek.

“Kau yang sok paten !” Kata Bahrun lantang
“Kan kamu duluan. Kenapa mengejek papaku, hah ?!” Kinan juga tak mau kalah
“Habisnya, kenapa sepedaku kamu jatuhkan tadi di parkiran ?!”
“Bukan aku yang melakukannya. Kamu aja yang asal tuduh. Uh, dasar Bahrun gendut, jelek, Wekk..!!” Kinan makin mengejek

Sorak anak-anak yang lain makin bertambah pula. Anak perempuan berseteru memojokkan Bahrun. Begitupun sebaliknya, anak lelaki tak mau kalah dengan ejekan dari Kinan dan anak perempuan lainnya.

“Hei, jangan sombong kamu. Mentang-mentang sepedamu lebih bagus dari punyaku, iya ? Awas, nanti kubalas kamu !!”

Tidak lama berselang. Anak-anak yang lain tampak sibuk kembali ke bangku mereka masing-masing. Soalnya, bu guru Murni sudah ada di depan pintu seraya berkacak pinggang.

“Kinan...Bahrun...ada apa ini ? Pagi-pagi kok sudah bertengkar,” suara bu guru Murni meninggi. Seisi kelas kini tampak lengang. “Kalian juga, sudah tau teman bertengkar bukannya melerai. Eh, malah ikut-ikutan.” Sambil bicara begitu, mata bu guru Murni tampak mendelik pula.

Sehabis itu, Kinan dan Bahrun di suruh ke depan untuk menjelaskan apa masalah yang mereka hadapi sehingga bertengkar sebegini riuh. Tampak anak-anak yang lain tak seorangpun mau membantu mereka. Pasalnya, tiada yang berani melihat mata bu guru Murni kala dia sedang marah.

Kinan dan Bahrun memang selalu begitu. Nyaris tiap hari kelas akan tampak ramai dengan perseteruan mereka. Ada-ada saja masalahnya. Mulai dari rebutan penghapus, jajan di kantin, sepeda yang dirusak, hingga apel bendera setiap seninnya.

Kinan memang terbilang orang kaya diantara teman-teman sekelas mereka. Namun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa Kinan memang sedikit sombong. Apa yang dianggapnya tidak benar maka Kinan akan berani mengalahkan siapa saja. Tetapi tidak dengan Bahrun. Anak lelaki yang satu ini kerap tidak pernah takut dengan Kinan. Bisa jadi karena badan Bahrun itu, paling gemuk diantara yang lainnya.

Itu pula sebab kenapa Bahrun disenangi anak lelaki yang lain. Bahrun dianggap penyelamat bagi mereka.

“Kinan itu orangnya sombong sekali, Bu! Beberapa kali sepeda Bahrun dirusaknya,” kata Bahrun pada ibunya malam ini.

Ibu Bahrun yang sedang menjahit sesekali melempar pandang ke arah anaknya yang tampak manyun.

“Bukannya kamu yang selalu mengajak Kinan bertengkar ?” Tanya Ibu Bahrun sinis

“Ah, ibu, kok jadi membela Kinan sih.”
“Tidak, ibu hanya menerka saja,” balas ibunya santai
“Kinan selalu merasa tersaingi dengan model sepedaku, Bu.”
“Oh, ya ?”
“Dia tidak suka melihat sepedaku lebih bagus darinya,” kata Bahrun selanjutnya.

Memang, di sekolah mereka sekarang sepeda Bahrun lah yang paling dikenal modis. Bisa jadi hal itu terjadi karena ayah Bahrun pandai mereperasi sepeda tua menjadi sepeda yang tampil elegan. Itulah yang kini dipakai Bahrun ke sekolah.

Sepeda tua yang dimodifikasi sehinga modelnya tidak kalah bersaing dengan sepeda mini keluaran terbaru milik Kinan.

Tiap kali sepeda itu diletak pada tempat penyimpanan sepeda di belakang sekolah. Selalu saja Kinan mulai mengambil ulah. Sering didapati sepeda Bahrun yang kempes lah bannya, terjatuhlah, miring lah keranjangnya, stang sepedanya yang bengkok. Pokoknya macam-macam. Dan itu pasti kerjaan Kinan.

Tapi dua hari belakangan ini, Kinan mulai banyak diamnya. Dia tidak bertingkah macam-macam lagi.

“Kamu sakit, Kinan ?” Bu guru Murni menanyai Kinan dengan perasaan iba
Kinan menggeleng pelan.
“Lalu, kamu kenapa ? Dua hari ini ibu lihat kamu tidak seperti biasa. Lebih sering murung.”
“Sepeda Kinan rusak, Bu !” Balas Kinan kesal
“Kenapa tidak diperbaiki ?”
“Kinan tidak bisa. Papaku terlalu sibuk. Mama juga. Mereka sering pulang larut malam. Aku sudah bilang pada mereka. Tapi, mereka selalu tidak sempat.”
Bu guru Murni mengelus kepala Kinan pelan seraya membisikkan sesuatu ke telinganya.

“Minta tolong Bahrun saja.”
Kinan mengerutkan dahi. Sepertinya tidak mungkin. Karena nyaris tiap hari Kinan selalu bertengkar dengan Bahrun.
“Kalau kau mau, ayo, ke rumahku saja. Ayahku jago memperbaiki sepeda. Pasti sepedamu akan bagus lagi.” Tiba-tiba suara Bahrun menerobos dari arah belakang.
Ternyata Bahrun sudah sedari tadi mendengar pembicaraan Kinan dan Bu guru tentang sepeda Kinan yang rusak.

“Tuh, Bahrun sudah menawarkan. Ayo, lekas sana !” Kata bu guru menambahi
“Hmm, kamu tidak marah padaku Bahrun ?” Kinan tampak lesu dengan tanya itu.
“Sedikit ! Tapi tak apa, aku senang kok bisa membantumu. Nanti selepas sekolah kita ke rumahku,ya”
“Terima kasih ya, Run !”
“Tapi, janji. Kamu tidak boleh merusak sepedaku lagi. Oke ?!” Bahrun mengangkat telunjuknya sebuah ke arah Kinan.

Melihat itu, bu guru Murni tersenyum haru. Ia meyakini bahwa pertengkaran Kinan dan Bahrun tetaplah pertengkaran. Tidak boleh berujung permusuhan. Dan itu, membuat hati bu guru Murni tampak lega sesaat meliat Kinan dan Bahrun akur kembali.



Medan, 11 Maret 2009