Senin, 23 Maret 2009

Saimah

Oleh : Sukma


Sangka orang-orang dia gadis yang cantik. Wajahnya bulat, kulitnya putih, tingginya semampai. Saimah namanya. Kalau keluar dari bilik rumah, tiada lupa Saimah memanggul selendang. Para lelaki akan setia melempar senyum ke arah Saimah kalau ia hendak berbelanja, menjemur kain atau menyiram anggrek.

Selain berbaju kurung, Saimah pula ramah melempar senyum. Tapi salah, aku pikir ia bukan gadis yang cantik, bahkan Saimah sangat cantik bagiku. Hmm, apalagi saat menyiram anggrek. Duh, aku paling suka saat itu. Saimah pasti berselendang hijau. Ujung selendangnya disimpul kecil. Berjuntai sedikit ke arah belakang. Dan Saimah, akan melepas senyum kala aku menyaksikan itu.

Kala pagi, kala itu aku sering mendapati Saimah melakukan hal yang biasa bagi anak gadis seusianya. Saat aku hendak berangkat kerja, saat itu juga belum sempurna hariku kalau belum melihat Saimah tersenyum.

Saimah memang sudah tidak lagi berangkat sekolah. Usai berijazah Aliyah, Saimah tidak punya nyali melanjut kuliah. Bapak-emaknya sudah tiada. Namun Saimah tidak tinggal sendiri, ada Puji dan Dura, abang-kakak Saimah.

Hanya saja, sejak bapak-emak Saimah sudah mendekam kubur, para lelaki kampung smulai sering bersuit-suit di depan Saimah. Mungkin itu yang membikin Dura, abangnya yang pertama, sering berang kalau Saimah menyambut tingkah pola para lelaki yang berbuat begitu.

Saimah sering pula kesal pada Dura. Karena Saimah, paling tidak suka dilarang-larang. Pasalnya, bukan perihal larangan itu, tapi cara Dura melarang kerap membikin Saimah sering menabung kesal.

Belum lagi kata tetangga-tetangga, Saimah tak boleh kuliah sekalau belum menikah dirinya.

“Tak boleh Saimah dekat-dekat dengan pria, apalagi macam kau, Sin ?” Seorang tetangga bernama Mak Kar, pernah berucap itu padaku.

“Kenapa pula ?” Tanyaku

“Sebab kau tak kuliah. Kerjamu cuma pedagang biasa. Mana mungkin si Dura mau mengawinkan kau dengan Saimah ?”

“Ah, sampai separah itu, Mak ?!”

“Ya, memang begitulah. Tak percaya, coba saja !” Kata Mak Kar selanjutnya.

Setelah selenting berita itu aku dapat, Saimah memang sudah sepi dari mesjid kampung. Sering aku dapati Saimah hanya berdiam diri saja di dalam rumah. Paling-paling kalau pagi hari, Saimah akan setia aku jumpai saat menyiram anggrek, menjemur pakaian dan pergi ke pasar.

***
Berselang hari-hari berikutnya, Saimah tidak lagi tampak ujung selendangnya. Saimah mulai jarang aku temui. Padahal terakhir aku jumpai wajah Saimah, saat itu pula si Puga memboncengnya sehabis berbelanja dari pasar.

Benci nian hatiku melihat Saimah begitu. Belum lagi hendak pegang-pagang tangan Saimah oleh Puga. Maka sekejap pula wajahku berubah neraka. Mata Saimah lekat aku pandang. Tapi Saimah tak pula membalas. Tunduk pula selendang di kepala menutupi wajah takut Saimah.

Mungkin, sejak itu Saimah tak berani keluar rumah lagi. Tapi aku mafhum, Saimah dan aku bukan apa-apa. Tapi kalau aku dibingkai amarah, Saimah akan segera bertatap tunduk.

Itulah !

Saimah kerap budi bahasanya kukenal dari kecil. Masih remaja usia Saimah, sering ia mengaji bersamaku di rumah Datuk Muin. Tapi Datuk tau kalau mengajiku lebih baik dari Saimah. Maka pelan-pelan Datuk menyuruhku mengajar Saimah sendiri.

Begitu sikap Datuk kalau menganggap santri yang cukup matang. Ia segera menawarkan aku sebagai walinya pada santri yang lain. Termasuk pula pada Saimah, santri pertama yang aku ajar.

Sebenarnya aku tek tega melakukan itu dulu. Namun wajah Datuk akan berubah merah kalau aku membangkang. Mungkin bukan tak mau aku menurut perintah Datuk. Tapi wajah Saimah kala itu, wajah bintang malam, wajah yang lagi ranum. Sering tak karuan mengajinya kalau menatap wajah Saimah lekat-lekat.

Hanya pada wajahku yang merah, mataku yang tajam dan ucapku yang tinggi, Saimah akan segera disunting takut. Oleh karena itu, Saimah paham bagaimana aku marah. Sering Saimah melipat muka kalau aku sudah bertingkah begitu.

Untung saja, perilaku Saimah dibonceng Puga tidak lagi aku temui. Bahkan sekarang Saimah pun jarang keluar rumah. Dan itu yang membikinku ditabung banyak luka.
Saimah mulai tidak berhasrat menanam senyum lagi di hatiku. Saat pagi hari, ketika menyiram anggrek, dan menjemur pakaian maka hariku akan langsung bermakna kering.

Maka setelah hal itu berlanjut, aku mulai rajin datang ke rumah Saimah. Berjumpa dirinya, berharap tau kabar cerita Saimah. Untungnya Dura tidak pernah merasa curiga dengan apa-apa yang aku buat tentang adiknya itu.

Sapa hangat selalu saja membikin hati tentram saat aku datang. Terhidang pula macam cemilan ketika aku tiba di pinggang rumah. Dan Saimah akan langsung keluar dari bilik kamar. Membawa wajah muram, sedih dan pucat dari hatinya. Aku pikir Saimah masih saja mengingat hal yang kemarin itu.

“Bicaralah kalian. Aku tinggal ke dalam dulu,” tutur Dura saat Saimah sudah duduk di hadapanku.

Kulihat Saimah masih bersikap beku. Matanya takut. Tangannya di remas-remas. Selendangnya berkali-kali disingkap. Jatuh berjuntai. Namun belasan menit awal, aku dan Saimah tidak becakap apa-apa. Itu pula yang membuat aku kikuk.

“Kalau Saimah tak mau bertemu dengan abang. Tak apalah, abang pulang saja,” usulku bingung

“Tunggu !”

“Saimah masih marah pada abang, kan?” Kataku selanjutnya

“Tidak, Bang. Saimah malu pada abang. Kalau Datuk tau, pasti ia juga marah melihat Saimah berbonceng dangan Puga,” kata Saimah masih menunduk. Diremas pula kini ujung selendangnya. “Saimah minta maaf, Bang !”

“Sudahlah, jangan diingat lagi. Sudah lama abang tidak melihat Saimah. Abang kemari khawatir kalau-kalau kau sakit.”

Saimah tersenyum. Matanya bercahaya. Bintang-bintang serasa turun di hatiku melihat tampang rupa Saimah berbinar itu. Dan esoknya, kulihat Saimah mulai menjemur pakaian lagi, menyiram anggrek dan pergi berbelanja sendiri.

Aku tau, tiap malam sabtu, Saimah mulai rajin datang ke pengajian putri di dalam mesjid. Masih saja seperti dulu, masjid langsung berkilau surga kala Saimah datang bertandang.

Sepulang mengaji, serombongan putra-putri jalan berbarengan. Saling antar-mengantar pulang. Saling bertukar cerita. Aku dan beberapa rekan lelaki beramai-ramai mengantar para anak-anak putri ke depan rumah, serupa pula dengan Saimah.

Sejak itu, aku dan Saimah makin pintar bertukar senyum. Makin lain hatiku melihat senyum Saimah belakangan ini. Maka itu juga yang mengantarku rajin membawakan martabak, roti tawar manis atau sekedar apem balik biasa.

Ah, aku makin tak lihai menata hati. Melihat Saimah lama-lama, bisa tak nyenyak terus tidur malamku. Sesering itulah aku kumpul enerji, datang ke hadapan Dura. Berharap aku sanggup mengacungkan ide kalau aku....

“...Ingin mengajak Saimah naik pelaminan.”

Dura menatapku tajam. Sontak duduknya makin mendekat ke arahku. Ditepuk-tepuk pula pundakku.

“Kau tidak kuliah, Sin. Aku mau melihat Saimah kuliah. Bukan untuk kawin !!” Kata Dura tegas

“Aku akan setia mengantarnya pergi kuliah, Bang.”

“Tiap hari ?”

“Benar !”

“Ah, tidak mungkin. “

“Kenapa ? Tidak percaya abang denganku ?” Suaraku meninggi, alisku juga meninggi
“Bukan, tidak begitu maksudku. Yang kurisaukan, apa mau Saimah diantar kuliah denganmu ?”

Waktu si Dur bicara begitu, mendongak pula wajah Saimah. Matanya lekat-lekat ke arahku. Berlompat pandang ke wajah si Dur pula.

“Kau bagaimana, Mah ?” Tanya si Dur langsung

“Kuliah memang penting, Bang. Tapi menerima pinangan lelaki baik-baik, itu jauh lebih penting menurutku.” Kulihat berbinar jua mata Saimah

Maka, selintas Saimah berucap begitu. Entah apa, aku ingin pagi segera datang. Melihat Saimah menjemur kain, menyiram anggrek sambil melempar senyum ke arahku. Maka aku pun akan berani mengedipkan sebelah mataku ke arahnya.

Entahlah !



Medan, 3 Maret 2009

Tulisan ini pernah dimuat di harian MEDANBISNIS edisi Minggu, 15 Maret 2009

Rabu, 18 Maret 2009

Belajar Menidurkan Rindu

Oleh : Sukma

Beberapa waktu saya pernah benar-benar tidak berdaya. Saya sadari ternyata ketidakberdayaan itu disebabkan karena saya tengah dirudung rindu. Rindu pada seseorang, rindu pada keluarga yang jauh di rantau atau rindu pada barang-barang kesayangan yang dulu pernah hilang. Namun yang lebih ekstrim lagi, entah mengapa saya pun sangat rindu ingin menikah di atas salju, rindu makan malam bersama ratu Inggris, berkelahi dengan Jet Li atau berunding dengan Barack Obama. Iya, itu semua kerinduan saya.

Sudah berulang kali rindu itu saya simpan rapat-rapat. Herannya, semakin rapat rindu itu saya simpan semakin memaksa pula rindu itu ingin keluar. Hingga pada suatu waktu kerinduan saya itu benar-benar telah membikin saya setengah waras. Betapa saya sangat rindu dengan seorang gadis. Ingin sekali hasrat hati bertemu dengan elok rupanya, memetik senyum dari wajahnya, lalu setelahnya, saya kerlingkan mata saya di depan gadis itu.

Alamak ! Kerinduan yang sangat gila menurut saya. Alhasil, setelah direnung-renung, saya sering tak nyenyak tidur memikir rindu-rindu itu. Tetap saja mustahil rindu itu saya wujudkan. Saya tidak punya kuasa kala hal-hal itu datang. Walaupun sudah acap kali orang-orang di sekitar saya mengatakan bahwa itu hal yang mustahil. Tetapi, tiba-tiba saja saya begitu yakin kalau rindu itu masih bisa saya nyatakan.

Perihal apakah akan terwujud, mungkin bisa jadi tidak mungkin. Hanya saja, rindu saya, kepinginnya saya, sering ketika rindu itu datang, saya ingin orang yang saya rindui, benda yang saya rindui mengerti kalau saya merindukan mereka. Dan itu sudah cukup untuk memuaskan rindu saya !

Beruntung ketika saya memiliki banyak sahabat, mereka bisa dijadikan teman curhat tentang kerinduan saya itu. Setidaknya ketegangan saya terhadap sesuatu yang saya rindui mulai tersalurkan. Hanya saja ketika beberapa hal tentang rindu itu mulai tidak memberi ruang untuk saya bernapas, saya sering dipukul asma. Tentu menyakitkan.

Mata saya berkunang-kunang, rambut saya mengeras, pipi saya...ah, seperti menggelembung. Belum lagi hati saya yang sudah pasti morat-marit.

Ada kalanya sahabat, ruang kosong, dinding, jurang yang dalam, air laut, kupu-kupu atau apa saja terkadang tidak sanggup mewakili hasrat rindu itu. Akhirnya saya sering lemah. Tidak berdaya. Lantaran dikalahkan rindu.

Sebut saja ketika saya rindu dengan seorang gadis yang saya puja itu. Untunglah, saat itu saya berani mengacungkan nyali hendak mengatakan rindu itu padanya. Dengan segera saya mengambil ponsel, memilih beberapa kata yang menurut saya romantis, mengetikkannya maka jadilah pesan itu hendak saya kirim.

“Hai, Gadisku ! Tahukah kau bahwa betapa hari ini saya sangat merindukanmu ?”

Ah, itu isi pesan singkat saya pada seorang gadis yang saya puja.

Apa yang terjadi ? Wow, ternyata hati saya riang sangat. Seperti ada reruntuhan embun yang menetes begitu sejuk dalam sanubari saya. Dalam renungan saya, pastilah gadis itu bersemi-semi wajahnya. Merah dadu pipinya. Serta meriah pula gedebar hatinya. Ahai, malang-melintang perasaan saya waktu itu !

Tapi sayang, terkaan saya tentang itu tidak tepat. Gadis itu sepertinya kecewa. Sama sekali tidak senang. Sapaannya pesimis. Dia malah membalas dengan pesan yang membikin rindu saya terjungkal nestapa.

“Jangan dibilang-bilang !” Kata gadis itu selanjutnya

“Kenapa ? Kamu tidak suka ?” Tanya saya

“Kira-kira begitu, tidak semua rasa harus diungkapkan.” Balasnya pula.

Oh, Tuhan !

Rontok rindu saya mendengar ucap itu dari gadis yang saya rindui. Entahlah! Malu, bingung, was-was, panik, semuanya campur aduk dalam benak saya. Sampai sekarang pun sms itu selalu saja saya timang-timang. Belum saya hapus. Nyaris tiap malam ketika rindu saya mulai muncul lagi, mulai tampil lagi, saya sering membaca pesan itu dari ponsel saya.

Tidak mesti rindu itu tentang apa, tentang siapa. Saya sering menidurkan semua rindu saya melalui pesan dari gadis itu. Sejak itulah, sering saya temui dada saya dikepung derita. Saya harus belajar menjinakkan ribuan rindu yang saya punya.

Dan esoknya, saya diajari teman saya bahwa mengendalikan rindu ternyata tidak sulit. Tidak butuh energi banyak. Cukup dengan kata-kata saja. Karena katanya, yang paling penting dari semua itu bahwa logika kita harus tetap terjaga. Bukan emosi semata.

“Mulai sekarang katakan pada dirimu bahwa kau memang sungguh-sungguh mencintai gadis itu. Namun saat ini, hari ini, kondisi tidak memungkinkan untuk dirimu dan dirinya bisa saling melepas rindu.”

Benar, kala itu nasihat teman saya teruji ampuh. Rindu saya langsung sirna. Hilang. Berganti entah apa namanya. Akan tetapi, selang beberapa menit kemudian, rindu itu pelan-pelan datang lagi.

Ah !



Medan, 18 Maret 2009

Minggu, 15 Maret 2009

Misteri Kelengangan Epri Tsaqib

Oleh : Sukma


ada ruang kosong di hatiku
yang selalu menunggu KAU isi

tapi selama ini
sesungguhnya aku lupa
pintu ruang itu selalu terkunci

kuncinya tertinggal
di rumahMu



Ada rasa yang berbeda dari puisi karya Epri Tsaqib yang berjudul Ruang Kosong tersebut. Rasa itu tidak sendiri. Epri Tsaqib seolah ingin mengenalkan sebuah misteri yang dirasanya, dipikirkan serta ditemukannya. Walau sebenarnya misteri itu tidak selamanya bernilai misteri. Malah pun sesudahnya ketika sesuatu dilabelkan misteri, pasti lah ada misteri lain di dalam kata “misteri” itu.

Pada Ruang Kosong di atas misalnya, kekosongan yang hendak dikenalkan Epri memberi semacam argumentasi bahwa apa sebenarnya yang ruang kosong itu. Kekosongan yang menimbulkan ruang itu menjadi kosong serta kondisi dimana kekosongan itu lamat-lamat mengarah pada sebuah objek bernama hati.

Maka sepertinya kekosongan ruangan bernama hati itu tidak pula dialami Epri dalam sajaknya kali ini. Berdiri di antara 3 jembatan/sepotong kain putih tanpa kancing/sebuah buku diari/sesobek alamat/ dan petunjuk jalan. Adalah isi sajak baru berjudulkan Kematian 4 turut pula makin memperjelas kekosongan tempat itu dalam ruang bernama hati.

Tentulah hubungan yang jelas antara hati dan kematian tidak bisa disepelekan. Rasa yang dimiliki hati, penilaian yang dimiliki hati tentang mati dan kematian bukanlah hal yang bisa dirumuskan dalam sebuah perdebatan tanpa makna. Justru mati dan kematian adalah sahabat hati yang paling dekat.

Mumpung ruang kosong bernama hati itu belum benar-benar dihancurkan, maka sepertinya Epri hendak mengkisahkan betapa gelisahnya hati tatkala ia kosong, tatkala ia sepi dan tatkala itu pula misteri mulai muncul.

Ah, itu pula Ruang Lengang yang hendak Epri paparkan dalam antologi sajaknya terbitan Pustaka Jamil pada Juni 2008 lalu. Kelengangan yang berbuih pada sajak-sajak telah mengental dalam diri Epri (mungkin) terutama hati.

Ia-nya seolah menikmati perrsenggamaannya dengan lengang layaknya ruang kosong, mati dan misteri. Hanya saja, dalam sajak berikutnya Epri makin tak gamang menunjukkan kesetiannya pada lengang untuk terus ditimang-timang dalam hatinya.

Tiup lilinmu, nak
Ambil nafas
Sisipkan sebaris doa
Untuk teman-temanmu di luar sana
Yang tak bisa tidur
Karena lapar
Malam ini

Tiup lilinmu, nak
Ayah titip adikmu
Jaga ibu
Jangan buat airmata dukanya
Tumpah karenamu


Sajak bertajuk Tiup Lilinnya Nak pun memberikan penjelasan yang tiada berbeda jauh sebagai simbol pengharapan Epri. Simbol itu berwujud pada ulang tahun. Pada pesta kecil yang tiap tahun terbiasa digelar. Bukan pestanya, bukan hadiahnya, bukan lilinnya, bukan pula hari ulang tahunnya melainkan sebaris doa yang diselipkan Epri pada anak-anak sajaknya.

Pengharapan dan doa merupakan simbol dari pesta kecil bernama ulang tahun. Padahal jauh dari itu, penyair tidak jengah meletak lengang diantara harap dan doa itu. Lagi-lagi semua tetap bermuara pada titik kelengangan yang akhirnya melebur menjadi sebuah misteri yang terus dikumpul Epri di dalam hatinya.

Menimbang-nimbang tentang kelengangan sepertinya Epri tidak mau sendiri. Kelengangan itu selalu saja dia temukan dimana hatinya berada. Jauh dari itu semua, harapan akan kelangan jatuh pula pada Perjalanan Celanadalam¬-nya. Setelah berkelana kesana-kemari/celanadalam itu merasa lelah, ia begitu rindu ingin pulang.

Dalam sajaknya yang satu ini, penyair lebih memilih ruang lengang lewat pemotretrannya terhadap apa yang biasa disebut kegundahan sosial. Kaca mata sosial lebih banyak berucap macam-macam tentang perjalanan panjang celana dalam. Di angkot, di pasar, di mall, di ruangan terbuka, di ruang sempit, di taman, di kantor-kantor dan kesemuanya itu membikin ruang kosong Epri makin terasa kosong. Pantas saja, pintu ruang itu selalu terkunci/kuncinya tertinggal/di rumahMu.


Kunci itu yang tak pernah atau sederhananya kita tak mau menemuinya. Bilanglah Epri, saya, kalian dan si pemilik celana dalam selalu alpa merasa ruang kosong itu tetap tidak pernah untuk diisi. Dalam sajaknya ini Epri menautkan satu dengan lainnya sebagai sebuah keadaan dimana kita telah jengah, kita tengah bosan mencari, menemukan kunci yang ada di rumahNya untuk kemudian mengisi sesuatu di dalam ruang kosong itu. Atau malah sebaliknya, ruang kosong itu, menurut Epri, kita tidak pernah merasakannya sama sekali.

Selanjutnya, bisa jadi Epri tidak hanya memberi jejalan emosi yang menuntutnya untuk terus gelisah dengan kekosongan hatinya. Melainkan dalam konteks Azan Jum`at, tentulah sajak ini lebih dari sekedar kritik belaka.

PintupintuMu terbuka
Sajadasajadah tergelar

:menunggu kening-kening angkuh.


Bayangkan betapa gelisah, kekosongan hati, kematian, dan misteri tetap dituangkan Epri terhadap satu penghambaan yang teramat dahsyat sebagai sebuah tawaran yang tidak main-main. Kening-kening angkuh masih saja setia dirindukan oleh sajadah-sajadah lusuh yang tiap kali kit memasukinya akan terbentang sebuah misteri baru dalam kekosongan hati yang terus berharap diisi.

Kumpulan puisi Ruang Lengang kali ini, justru tidak pernah sepi dari elaborai Epri terhadap bentuk sajak-sajaknya yang padat dan meriah terhadap ragam pemaknaan. Aku berlari pada puisi/lalu kami saling mengurai nyeri/dan begitu sibuk mengumpulkan air mata. Permainan Epri dengan sajak-sajaknya membuat sebagian orang terus merasakan kelengangan yang dikemasnya secara memesona. Nyata sudah perihal air mata, mengurai nyeri, berlari pada puisi adalah semenanjung konflik hati yang lagi-lagi tiada luput dari misteri.

Itulah hati !

Ketenangan batin dalam sosok hati makin mantap diminati siapa saja. Selain Epri, ternyata apa yang ditulisnya saat ini juga mengupas tampilan umum bagaimana hati-hati kita hari ini terus merindukan kedamaian yang diseret Epri dalam kelengangan tanpa tepi.

Begitupun wajah ibu selalu menjadi sorotan penting dalam Ruang Lengang kali ini. Engkau adalah jutaaan dongeng/yang mengantarkan malamku dari bintang ke bintang. Siapa saja, apa saja, dan dimana saja selalu saja dijelaskan Epri sebagai perwakilan rasa yang diramunya menjadi sebuah sajak-sajak penuh kekhasan.

Tidak menumpuk pada satu titik. Apa yang dipandang, dirasa, dilakukan, dan dipikirkan selalu penting untuk dinamai Epri dengan kelengangan. Dan itu, tentunya menimbulkan efek misteri bagi siapa saja yang merindukan iklim kelengangan seperti dirinya.

Setelahnya, selamat menikmati misteri yang dikemas Epri dalam sajak-sajak lainnya bernama Ruang Lengang itu.

Menyimak Cleopatra Buatan Kang Abik

Oleh : Sukma


Pudarnya Pesona Cleopatra, inilah karya keempat Habiburrahman El-Shirazy sebelum Ayat-Ayat Cinta meledak di pasaran. Karyanya ini diterbitkan oleh Penerbit Republika pada Nopember 2005 lalu. Kang Abik, begitu beliau biasa disapa, sangat luwes menyajikan fakta dalam dunia rekaannya kali ini. Setelah beberapa buku kumpulan kisah islami penyejuk jiwanya berhasil menembus angka best seller dalam proses penjualannya. Sebut saja bukunya yang berjudul Bercinta Untuk Surga (terbitan Grenada Busur Budaya, Jogjakarta 2003), Di atas Sajadah Cinta (Basmala Press, Semarang 2004), Ketika Cinta Berbuah Surga (MQ Publishing, Mei-Bandung 2005).

Kang Abik memang terkenal dengan ikon “Cinta” dalam tiap judul yang ia bubuhkan. Bisa jadi, ini yang membuat tiap karyanya begitu menggoda. Bukan hanya membius kalangan anak muda, ibu rumah tangga, pekerja kantoran, hingga para ulama juga turut menikmati suguhan demi suguhan karyanya.

Hebatnya pula, Pudarnya Pesona Cleopatra juga mampu menyamai Ayat-Ayat Cinta yang meledak di pasaran hingga mengalami cetak ulang beberapa kali. Buku yang dikemas dalam bentuk novel mini ini terhitung hingga Maret 2007 saja sudah mencapai cetakan ke-IX. Waw.. hebat bukan !

Novel mini racikan kang Abik ini memberikan semacam pencerahan bagi para siapa saja yang begitu memuja keindahan, kecantikan, dan kemolekan fisik belaka. Layaknya Ayat-Ayat Cinta, buku keempatnya ini tidak kalah mengasyikkan dengan buku-buku setelahnya. Kita bisa meniliknya dari alur cerita yang sengaja disajikan begitu meliuk-liuk hati.

Tokoh yang diangkat dalam ceritanya kali ini mengkisahkan bagaimana seorang anak lelaki yang hendak dijodohkan oleh ibunya dengan seseorang, yang menurutnya, termasuk perempuan biasa.
Setting tempat yang digambarkan Kang Abik sebenarnya terbilang sederhana yakni meliputi kondisi sosial masyarakat Indonesia biasa. Hanya saja, tokoh aku yang dikemas oleh penulis cukup memukau. Pergolakan batin yang cukup hebat begitu detil dipoles oleh Kang Abik.

Bagaimana tokoh harus menolak harapan ibunya untuk menikahi Raihana yang hanya perempuan biasa. Dari keturunan orang biasa, muslimah biasa dan tiada yang istimewa dalam pandangan tokoh aku yang sengaja diciptakan si penulis.

Namun dari hal-hal yang biasa ini, si penulis berhasil menciptakan konflik yang tiada henti untuk kita nikmati. Meski konflik tersebut menyita keresahan batin si pembaca. Maka saya sangat yakin, tulisan Kang Abik ini akan lebih mendekatkan kita pada apa yang namanya kegundahan, kebimbangan dan kepasrahan.

Cleopatra atau Raihana

Tokoh aku yang diciptakan kang Abik begitu menggoda. Ketika ia harus membayangkan bagaimana seorang perempuan sekaliber Cleopatra, bakal menjadi istrinya kelak.

Tapi seleraku lain. Entah mengapa. Apakah mungkin karena aku telah begitu hanyut dengan citra gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra yang tinggi semampai ? Yang berwajah putih jelita dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas Arab, dan bibir merah halus menawan. Dalam balutan jilbab sutera putih wajah gadis mesir itu.

Jika tersenyum, lesung pipinya akan menyihir siapa saja yang melihatnya. Aura pesona kecantikan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra itu sedemikian kuat mengakar dalam otak, perasaan dan hatiku.


Kalimat itu yang diukir penulis dalam mendeskripsikan bagaimana takjubnya ia pada gadis-gadis Mesir secantik Cleopatra. Bukan seperti Raihana yang keturunan Jawa. Hanya orang biasa. Tiada menggoda hati kala memandangnya.

Namun, apa yang bisa dilakukan tokoh aku kala pilihan ibunya lebih memutuskan untuk ia harus menikahi Raihana, teman ibunya itu. Tokoh aku merasa dalam kebimbangan yang amat dahsyat. Di sini kang Abik tidak kewalahan dalam mengobrak-abrik hati pembaca dengan konflik yang terus-menerus dibangunnya.

Walau menurut, si adik tokoh utama, Raihana memang terlihat cantik dan baby face. Tetap saja si aku lebih menyukai gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra itu sendiri. Hmm, bukan pilihan yang gampang. Bahkan ketika khitbah hingga menjalani rumah tangga, Raihana tetap menjadi tokoh yang layak untuk terus diamati.

Bagaimana Raihana seorang muslimah yang taat beragama melayanai si tokoh aku sebagai suaminya dengan baik dan santun. Walau sebenarnya hati Raihana sudah menerka kalau suaminya itu sekalipun tidak pernah mencintainya.

Yah, itulah Raihana dengan karakternya. Pantas saja ibu si tokoh utama tetap ngotot menikahkan Raihana dengan anaknya itu. Karena bisa jadi tokoh si ibu yang dibangun penulis sudah didesain sedemikian rupa bahwa Raihana lah yang pantas menikahi seorang pria seperti tokoh aku tersebut.

Dari cuplikan dialog berikut betapa kita bisa merasakan bahwa Raihana adalah perempuan yang begitu taat dan sayang pada suaminya.

“Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa Mas. Pakai balsem, minyak kayu putih atau pakai jamu ?” Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar.

“Mas jangan diam saja dong. Aku kan tidak tau apa yang harus aku lakukan untuk membantu Mas.”

“Biasanya dikerokin.” Kataku lirih

“Kalau begitu kaos Mas dilepas, ya. Biar Hana kerokin.” Sahut Raihana sambil tanggannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan yang halus. Setelah selesai dikerok, Raihana membawa satu mangkuk bubur kacang hijau panas untukku.

“Biasanya dalam keadaan meriang makan nasi itu tidak selera. Kebetulan Hana buat bubur kacang hijau. Makanlah Mas untuk mengisi perut biar segera pulih.”


Memang, tokoh aku yang diciptakan kang Abik adalah tokoh aku yang sengaja disetting dengan karakter santun, berbudi, taat ibadah dan yang tak kalah hebatnya, kang Abik menjadikan tokoh aku sebagai orang yang sudah lama hidup di Mesir. Tentu dengan cita rasa negeri Piramid itu pula. Kekentalan watak Mesir dan Cleopatra pada tokoh aku cukup signifikan dijelaskan oleh penulis dalam novel mininya ini.

Pilihan Hati yang Sulit

Tidak hanya pada titik perseteruan tokoh aku yang diceritakan begitu memesona hati. Raihanah, sebagai tokoh kedua dalam novel mini ini memberi semacam asupan gizi yang tak kalah penting dari seorang manusia bernama perempuan.

Tatkala hati begitu bergelimang bahagia lantaran telah mendapatkan suami yang selama ini begitu diharapkannya. Namun, perjuangan Raihana tidak boleh berhenti setelahnya. Perlakukan dingin dari suami membuat ia kian pasrah bahwa Tuhan tetap memiliki skenario terbaik untuk dirinya.

Raihana malah bertambah susah hatinya, meski dalam konteks susah yang dialami Raihana tidak pernah menelungkupkan rasa bosan, benci apalagi amarah untuk sang suami. Hingga akhirnya berbulan-bulan ia harus menahan diri dari pelukan, ciuman, ucapan mesra bahkan ah, hubungan intim sekalipun.

Namun tetap dalam keputusan semula, tokoh aku tak pernah letih mengkhayalkan bagaimana gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra sanggup menikahi dirinya. Angannya tentang Raihana cuma sebatas pelengkap saja. Tidak lebih.

Hingga pada suatu ketika, kehamilan Raihana tanpa cinta, kandungannya membesar tanpa butuh kasih sayang si suami, tokoh aku tetap saja tidak membubuhkan setitik cinta untuk Raihana pula.

Dramatis memang, namun Kang Abik tidak gagal melepaskan dirinya dari karya yang bersifat klise. Masa usia kandungan Raihana makin uzur, disitu pula Kang Abik tidak begitu buru-buru memukul para pembaca untuk lekas memecah air mata.

Kang Abik menghadirkan konflik yang begitu mengharu-biru. Raihana meninggal bersama bayi di dalam kandungannya. Saat itu tokoh aku tengah mengikuti pelatihan di daerah puncak yang cukup jauh dari Raihana.

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku sesak oleh dada yang haru luar biasa. Tangisku meledak. Dalam isak, tangisku tentang semua kebaikan Raihana selama ini terbayang. Wajahnya yang teduh dan baby face, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tangisnya saat bersimpuh dan memeluk kedua kakiku, semua terbayang dan mengalirkan perasaan haru dan cinta. Ya, cinta itu datang dalam keharuanku.

Seketika itu, pesona kecantikan Cleopatra memudar, berganti cahaya cinta Raihana yang terang di hatiku.

Tokoh aku melembutkan cintanya untuk sang istri yang telah tiada. Meski cinta itu datang terlambat, Kang Abik seolah ingin menawarkan suguhan baru terhadap mereka yang selalu memuja cinta lewat kecantikan fisik belaka.

Cinta yang dikemas Kang Abik kali ini, benar-benar menjanjikan sebuah kenikmatan dahsyat. Sebuah pengorbanan demi cinta, sebuah makna perjuangan mempertahankan cinta untuk cinta. Dan setelahnya, cinta kepada apa-apa yang dicintai akan lebih menghantarkan kita untuk kerap terdampar ke dermaga surga.

Lalu, kenapa kita masih juga mengotori rasa cinta itu ?

Sastrawan Memosisikan Diri Sebagai Dai, Kenapa Tidak ?

Oleh : Sukma


Apakah beda antara sastrawan dengan dai, ulama atau dengan ustadz ?


Kiranya itu pertanyaan yang sangat menarik untuk dijawab. Ya, tentu kalau diamati secara sepintas barangkali keduanya memiliki status yang berbeda. Namun dalam tulisan Helvi Tiana Rosa yang berjudul Lagi, Soal Sastra Islam bahwa keduanya kerap tidak memiliki perbedaan signifikan.


Lahirnya seorang sastrawan pastilah diawali dengan sebuah proses dimana individu tersebut menekuni, memahami, mempelajari dan mengaplikasikan sastra sebagai jalan hidupnya. Hanya saja persoalannya, apakah sastrawan tersebut merasa perlu untuk mengkaji ulang nilai-nilai sastra yang ditulisnya dalam tiap karyanya tersebut ?


Tentu pengkajian ulang terhadap nilai-nilai sastra tersebut bukanlah dimaknai sebagai proses pembelajaran dalam hal tekni penyajian cerita semata. Melainkan bagaimana ruh sastra yang dibubuhkan dalam tiap karya haruslah benar-benar nyata, hidup dan ada dalam diri individu tersebut.


Walaupun secara konsep hal ini tidak menjadi sebuah keharusan. Akan tetapi, bisa jadi ini pula yang menjadi titik perbedaan secara jelas antara sastrawan dan dai. Dai dituntut menyampaikan, melakukan dan berpikir secara kontekstual pemahaman keagamaannya. Ritual kedaiannya haruslah senantiasa hidup menjadi sebuah aktifitas kerohanian yang utuh.


Hal ini yang semestinya menjadi sebuah keharusan menjadikan dai haruslah tampil sempurna. Walau setiap kita meyakini proses kesempurnaan tetap ada pada siapa saja dan kesempurnaan secara menyeluruh tiada pernah kita dapati.


Nyaris tiada berbeda dengan kegiatan bersastranya para sastrawan. Harun Daud pernah menyampaikan bahwa tujuan kesusasteraan adalah untuk mendidik dan membantu manusia ke arah pencapaian ilmu yang menyelamatkan, bukan untuk membentuk manusia yang spekulatif.


Sementara tujuan dai tercipta sebagai penyampai dakwah. Secara jelasnya dakwah tentu diartikan sebagai bentuk kegiatan penyeruan kepada orang banyak tentang nilai-nilai kebenaran ilahiah.


Sastra Dai, Sastra Islam

Dalam konteks ini (mungkin) dai dan sastrawan akan ditemukan pada satu titik. Walau polemik tentang sastra Islam hingga kini tetap saja tidak pernah berujung. Belum lagi secara definisi sastra Islam sejauh ini tidak memiliki standar pemaknaan yang cukup jelas. Helvi juga menjelaskan bahwa polemik sastra Islam bukan hanya pada definisi belaka melainkan lebih kepada ketidak-setujuan mengenai apa yang disebut sebagai ‘pengotak-otakan sastra’.


Letak sastrawan dan dai dalam pembahasan kali ini akan semakin kita perjelas. Namun Abdul Hadi W.M. Dalam sebuah seminar tentang sastra profetik yang menghadirkan Suminto A. Sayuti, Helvi dan Kuntowijoyo sebagai pembicara ada Mei 2000 lalu di Yogya, mengatakan bahwa sastra Islam itu ada, bahkan eksis. “Sastra Hindu aja ada, mengapa sastra Islam tak ada ?” katanya.


Maka peletakan mana sastrawan dan dai sudah harus semakin dikarekterkan. Dai yang secara prinsip mengambil ranah penyampaian kebenaran lewat praktik-praktik, ritual-ritual serta aneka tabligh yang dikelola secara baik dan sistematis lewat majelis yang telah jelas tempatnya. Begitu pula dengan sastrawan, bentuk kegiatan bersastra yang dikelola kerap selalu dipisahkan dengan kegiatan bertabligh yang diampu oleh para ulama dan dai itu sendiri.


Hanya saja dalam pembahasan kali ini saya tidak bermaskud membeda-bedakan mana profesi ulama (dai) dan mana kegiatan bersastranya para sastrawan. Berangkat dari tulisan Helvi T. Rosa sebagai pendiri Forum Lingkar Pena, sebuah wadah kaderisasai penulis muda Indonesia, yang berusaha terus-menerus untuk menciptakan iklim penulis (sastrawan) yang berlabel ulama.


Karena dalam konteks Islam, semua yang dilakukan seorang muslim sudah seharusnya merupakan manifestasi dari bagaimana aktifitas hidupnya tidak lekang dari ibadah kepada Tuhannya.

Inilah yang kemudian merasuk dalam kehidupan bersastranya setiap muslim. Menurut Shauqi Dhaif, sastra (adab) adalah karya yang dapat membentuk ke arah kesempurnaan kemanusiaan yang di dalamnya terkandung ciri estetika dan kebenaran.


Kebenaran yang dikemas dai sebenarnya selalu berwajah kembar dengan kebenaran yang disampaikan kaum sastrawan. Proses tampilan, teknis dan muatannya saja yang berbeda.

Inilah yang kemudian menuntut siapa saja, baik itu dai dan sasrawan, tidak perlu repot-repot menterjemahkan proses kreatif menyampaikan kebenaran secara teknis.


Membeda-bedakan antara ranah sastarawan dan dai inilah yang menuntut kita pada sebuah gerbang bernama perpecahan. Islam sebagai agama kebenaran selalu mengajarkan keuniversalan dalam hal pemaknaan aplikasi di kehidupan nyata.


Meski menurut Helvi dalam sebuah esainya, Lagi, Soal Sastra Islam¸ menganggap bahwa sastra Islam berbeda dengan sastra yang bersumberkan Islam. Jelas, dalam karyanya selalu saja selain tampilan dakwah yang diusung dalam tema tulisannya, jauh dari itu sastrawan tersebut harus Islam dan benar-benar memahami kontekstual Islam secara utuh.


Arahan dai dan sastrawan dalam tulisan ini memang dituju pada mereka yang masih sungkan meneruskan karyanya pada genre sastra Islam yang sejak masa Amir Hamzah telah dimulai. Sebagaimana Buya Hamka, seorang ulama dan sastrawan yang sekaligus membingkai nilai dakwah dalam tatanan yang seiring sejalan.


Keberadaan Buya Hamka telah menjadikan wacana baru bagi kita bahwa dakwahnya seorang sastrawan adalah ruhnya sebagian para dai di dalamnya. Maka, bersyukurlah kita yang saat ini tengah menjalani proses keduanya.


Karena sastra dan dakwah adalah serangkaian nilai-nilai luhur yang secara berbarengan menjadi sarana untuk perbaikan moral masyarakat ke depannya.


Semoga !

Minggu, 08 Maret 2009

Sungkem

Oleh : Sukma



“Kapan akan pulang, Mas ?” Nada suaraku sedikit mendesak

“Belum tau, Nom ! Kemarin si Bos nawarin kerja tambahan pas mau lebaran nanti,”

“Jadi, tidak sempat pulang ?!” Tanyaku makin menjurus

“Oh, jangan kuatir, aku tetap pulang bahkan sangat ingin,”


Ada yang mencekik di leher suaraku. Aku diam. Hening pembicaraan sekejap.


“Bagaimana kabar Nadin ? Masih suka menjerit-jerit dia ? Sudah pandai apa lagi dia ?..”

Masih terdengar suara tegas suamiku di ujung sana. Ia seperti memutar isi cerita.


“Nom, kau masih di situ ?”


“I-iya, Mas. Aku mendengar suaramu.”

“Kau menangis ?”


Mas Wira masih tanggap dengan urusan yang satu ini, soal tangisan aku memang tidak bisa sembunyikan darinya. Meski nyaris enam bulan sudah ia tidak lagi singgah ke alamat rumah. Namun tak alpa juga Mas Wira menerka seberapa deras air mataku mengalir. Yang kuingat, sebelum berangkat ke Batam lalu, disitu terakhir ia usap air mataku dengan telapak tangannya.


“Tersenyumlah, Nom ! Aku butuh senyummu sekarang. Aku pun sudah sangat rindu denganmu. Aku janji, aku akan lekas pulang. Nanti akan kubawakan manisan kesukaan untukmu, ya.”

Pembicaraan siang itu usai. Aku terus digerus sedih, rindu dan gelisah yang mendalam hingga membuatku tak tentram rasa. Disaat begini, air mata tentunya menjadi sahabat yang paling setia. Apalagi setelah Nadin, anak perempuanku yang pertama, mulai tidur. Lamat-lamat sepi yang tertabung dalam angan-anganku pasti mengail-ngail lagi.


Sehabis mengantarkan Nadin bertemu mimpinya, aku beranjak ke ruang tengah. Mengambil fotoku, Nadin dan Mas Wira yang tergeletak di atas lemari seukuran pinggang. Nyaris kalau sudah begini, aku seperti lupa dengan wajah suamiku. Wajah yang lima tahun silam menikahiku, berjanji untuk setia. Apalagi dulu ketika ayah mulai tidak menyukai Mas Wira saat ia mulai rajin berkunjung ke rumah keluargaku. Ayah sontak mencak-mencak.


Maklum saja, aku memang anak perempuan satu-satunya. Entah mungkin karena itu, aku kerap ditawan oleh ayah. Hampir diterali peraturan yang amat ketat. Tidak boleh sembarang berkawan, apalagi dengan lelaki !


Lain ayah, lain pula ibu. Ibu sendiri sejak 20 tahun usiaku, ia malah sibuk mendekatkan aku dengan anak-anak Bude Ratmi, Pakde Jar, dan Mang Dur. Semuanya sibuk ibu data, mengajakku ke acara keluarga mereka, memenuhi undangan mereka. Dan herannya, ibu begitu mesem-mesem sumringah saat mengenalkanku dengan putra-putra mereka.


“Hmm, Ratmi mana anakmu, si Jaka ? Ini Anom mau ketemu, katanya mau ngobrol-ngobrol. Biasalah, anak lajang !”


Ahai, ibu !


Aku bingung sendiri. Ada yang lain dari gelagat ibu, padahal sejak di rumah, ibu tak pernah cerita apa-apa. Bahkan untuk kunjung-mengunjung begini. Duh, ibu ternyata punya seribu rencana. Sebagai anak perempuan, aku menyerah saja. Patuh. Takut dikira melawan.

Padahal, anak Bude Ratmi, Pakde Jar, dan Mang Dur nyaris semuanya masih pada kuliah. Apalagi Jaka, SMA saja belum kelar.


Begitupun soal Mas Wira, ayah dan ibu tetap tak berpihak. Memang kedatangan Mas Wira sering tak dianggap halal oleh kedua orangtuaku. Kerap mereka menganggap Mas Wira bukan orang berpendidikan dan ningrat seperti aku.


Tapi bukan itu yang membuatku menabung suka dengan Mas Wira. Lain hal, aku suka dengan kewibawaannya, cara bicaranya yang bijaksana, serta keberaniannya pula. Meski berulang-kali tidak bersipaham dengan ayah kalau Mas Wira datang bertandang, ia tidak pernah surut untuk menjengukku dan mengatakan satu hal yang paling membuatku berputar-putar di hembus angin.


“Makin ayahmu melarang, justru itu yang kian membuatku suka datang kesini, Nom.”

Juga saat aku dimarah ayah, Mas Wira malah menyatakan dirinya siap menikahiku. Ayah seperti mendengar halilintar yang mencakar telinganya, membakar dadanya dan menghanguskan seluruh darahnya.


“Jangan kau kira saya menerima pintamu itu, hah ?! Sontoloyo, tidak kuusir saja kau semestinya sudah bersyukur. Dasar gemblong !!”


“Tapi, Pak. Saya sungguh-sungguh !!”


“Sungguh-sungguh apa ?! Mau membuat anakku sengsara, iya ?! Kerjamu saja luntang-lantung, ndak jelas begitu. Apa yang bisa kamu banggakan ?”


Saat-saat begitu aku hanya bisa menangis. Menatap liar mata ayah seperti menatap mata iblis yang mengelegakkan bara nereka di dalamnya. Sesekali mata Mas Wira juga memerah, tapi berbeda dengan tatapannya. Aku seperti begitu tentram melihat seraut wajahnya yang sayu ketika itu.


“Saya punya semangat, Pak ! Semangat itu yang akan membuat saya tak henti mencintai putri bapak, Anom…”


“Semangat saja tidak cukup, tau !”


“Tapi…”


Oh, Mas Wira !


Ia membara membelaku. Aku makin kagum. Ini pula yang makin membedakan ia dengan lelaki-lelaki yang pernah ibu kenalkan padaku. Tidak ada yang seberani ini, setangguh ini dan setegar Mas Wira.


***


Belum juga tamat mendung yang menggantung di mataku. Kadang petirnya memecahkan bulir-bulir air yang membebaninya. Kadang pun masih mengundang untuk mendung yang berikutnya. Alai, ini semua karna Mas Wira !


Foto itu masih di tanganku. Kubelai wajahnya yang persegi itu, senyum khasnya, barisan giginya, terang tatapan matanya. Aduh, indah nian kalau Mas Wira bisa pulang lebaran ini.

Maka, siapa lagi yang paling senang dibuatkan pecal pedas bercampur sate kalau sudah lebaran tiba, siapa lagi yang paling gemar mengemil peyek dan lumpia selain Mas Wira, siapa juga yang khatam merangkai ujung jilbabku hingga indah di dasar kepala saat berangkat solat Ied ke mesjid. Sungguh, cuma itu yang tidak sanggup aku mengenangnya.


Hingga beberapa hari menjelang lebaran. Kabar Mas Wira tak juga kudengar sampai ke telinga. Aku pun tak tau harus menelpon kemana. Sempat beberapa kali aku menghubunginya, Mas Wira berpindah ke tempat kerja yang baru. Sudah sama bos lain, kata temannya. Tapi biasanya, setiap sepekan sekali ia pasti menghubungiku. Namun ini sudah empat pekan berlalu, Mas Wira tak kunjung memberi kabar.


Aku kembali mengutik ucapan terakhir Mas Wira, ia mungkin tak sempat pulang lebaran ini. Tapi mungkinkah Mas Wira tak menyempatkan diri untuk pulang ? Benarkah ia tidak rindu dengan aku dan Nadin di hari penting begini ?


Meski beberapa kali kiriman uang dan paket lebaran tidak alpa Mas Wira mengirimnya tapi justru lain dari itu, aku sungguh butuh kehadirannya. Aku ingin kita merayakan lebaran bersama, berziarah ke makam ayah bersama Nadin, bertandang ke rumah ibu sambil menenteng ketupat dan panganan lainnya. Tapi kenapa Mas Wira tak juga menyempatkan pulang ? Apa Mas Wira sedang sakit ? Sedang kena musibah ? Tertangkap pihak polisi di pelabuhan seperti waktu silam ? Atau, ada perempuan lain yang kini menemaninya ?


Ya, Tuhan ! Riak gelombang seperti apa yang menerjang pikiranku ini. Tiba-tiba saja seperti ada awan yang menimpaku, gelondongan kayu besar yang datang menggilasku. Tidak mungkin ! Mas Wira pasti baik-baik saja.


Segera kusingkap mukena yang tersangkut dipinggir pintu. Aku dan Nadin segera beranjak hendak menunaikan solat Ied tanpa Mas Wira. Beriring derai tangis yang berjatuhan di pipi, bersama pekik takbir, orang-orang sekeliling berhamburan hendak menuju fitri. Semua berbusana rapi, beriring berjalan satu keluarga. Aku mengenang Mas Wira yang tahun kemarin masih bersamaku pergi ke mesjid pagi-pagi begini.


Begitupun sampai solat usai, aku tetap tak mendengar kabar dari Mas Wira. Setengah hari duduk di depan telepon sudah pun aku lakukan sekedar menunggu dering darinya.

Nadin sudah berbaju baru, aku pun sama. Menunggu Mas Wira datang, memungut tangannya dan bersungkem panjang di punggung tangannya. Tapi Mas Wira kerap tak juga mengetuk pintu, memberi kejutan seperti yang sudah-sudah.


“Kalau belum sungkem dengan suami maka jangan dulu sungkem ke yang lain, ya Nom!”

Itu pesan yang pernah diucap Mas Wira. Duhai Allah ! Aku begitu mengkhawatirkan kabar suamiku. Apa yang dilakukannya sekarang ? Mengapa ia juga tak rindu pulang ke rumah ?


“Kita kok tidak ke rumah nenek, Bu ?” Aku kembali menyeka air mata sambil mendengar Nadin bertanya.


“Iya, kita tunggu ayah pulang dulu, ya.”


Nadin mulai heran. Seperti ada yang menjerat pikirannya. Tidak biasanya wajah Nadin berubah begitu panik seperti sekarang.


“Jam berapa ayah pulang ?”


Aku berpaling, mencoba menghindari matanya yang lembut itu. Mata yang penuh kepolosan dan mata, ai, itu jelas mata Mas Wira.


“Sabarlah, pakai dulu jilbab barumu ! Kita tunggu saja, sebentar lagi ayah pulang.”


“Ayolah, Bu ! Aku mau ke rumah nenek,” rengeknya mulai membuatku gerah. Nadin mulai jingkrak-jingkrak. Jilbabnya dihempas, ia ngelesot berhamburan di lantai, rambutnya mulai kusut, wajahnya ditekuk, ada serat amarah yang membingkai dadanya, tidak lagi terlihat Nadin yang manis rupanya.


Justru ini yang tempo hari ditanya Mas Wira. Prilaku nakalnya yang suka mengulah kalau tak berwujud pintanya, suka menjerit dan jingkrak-jingkrak.


“Eh, jangan begitu. Kalau tau ayah, nanti Nadin kena marah !” Aku mengingatkannya.


“Tidak ! Ayo, ke rumah nenek !”


Alah, ini yang makin tak enak hati aku membujuknya. Ia kalau merajuk begini cuma Mas Wira yang sanggup menundukkannya. Mendung di mataku kembali bergelantung. Seperti ada petir yang tak lama lagi akan mengundang hujan di mataku.


Mas Wira, datanglah ! Lihat, Nadin mengamuk lagi, hatiku bergetar.


Medan, 03 Oktober 2008


Dimuat di harian ANALISA, pada Minggu, 8 Maret 2009