Kamis, 09 Juli 2009

Nyali Berpuisi diuji Lagi

Sukma

Bermain-main dengan kata umpama menikmati kolak dingin yang menggigil. Beku. Apalagi disantap kala musim panas tiba juga saat haus meradang. Bukan, bukan itu. Tapi yang pas ibarat makan kurma ketika buka puasa. Ya...juga kurang tepat! Yang cocok mungkin santapan siang saat lapar-laparnya ditraktir teman kerja. Yah, itu lebih mungkin.

Namun menurut saya, mengais kata-kata yang biasa kemudian mengubahnya menjadi rangkain cerita atau embel-embel tulisan yang apik (kalau salah seorang teman saya bilang, kata yang dibuang sayang, diberi ke orang lain juga takut) maka ini yang saya sebut sebagai sebuah kenikmatan.

Apapun namanya justru itu tidak penting dipusingkan menurut saya. Karena bisa jadi sesuatu yang saya anggap nikmat pastilah tak sama nikmat dengan kenikmatan yang dirasakan oranglain, begitupun sebaliknya. Kolak dingin, kurma, dan ditraktir makan siang di kala lapar adalah sebagi bonus yang dapat kita dirasakan. Itulah perumpamaan yang bisa saya ungkap seputar keasyikan merangkai kata-kata yang berserakan tepat di laci pikiran kita.

Maka, inilah kata-kata itu. Yang minggu lalu dalam kelas menulis fiksi FLP Sumut disajikan dalam menu, yang sebenarnya, tidak jauh beda lantas didesain sedikit dengan kemasan yang tidak mengurangi cita rasanya. Kata-kata itu ialah riak, buih, baju, kristal, peri, luka, gemerlap, rumah, cumbu dan darah.

Adegan Uji Nyali
Tentulah siapa saja sepakat bahwa sepuluh kata tersebut bukan kata-kata istimewa. Justru kita teramat sering mendengarnya dalam hidup keseharian ini. Kata-kata itu dibagi ke tiap orang satu persatu. Kemudian dirangkai menjadi sebuah sajak yang lepas, lewat kata-kata yang sepuluh itu diputar untuk melewati setiap anggota dan menjadilah kata-kata tersebut digubah sesuai keinginan.

Tantangan !
Saya suka dengan ucapan itu. Melewati tantangan kadang membuat saya begitu ambisi. Maka pusing, bingung, panik kalau-kalau kata tersebut entah jadi apa nantinya. Namun saya tetap yakin, teman-teman yang lain juga tetap yakin tentang mau jadi apa tulisan itu, berwujud apa dia, entah pun tidak berkelamin, maka sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh saya dan teman-teman.

Untuk sebuah proses kreatif, tidak penting hasil yang berwujud. Jauh lebih kepada keberanian mengobok-ngobok, mendesain, menata, bahkan menghias kata-kata mentah yang dilempar menjadi semacam hiasan dinding untuk di tempel ke hati khalayak pembaca.

Karya-karya Mutakhir
Dan terkaan tentang itu semua menurut saya sama sekali keliru. Termasuk pada diri saya sendiri. Kebebasan berekspresi yang dilepaskan dalam anak-anak kata yang menjadi bagian terkhusyuk saat games ini dimainkan.

Ada racikan kata yang mutakhir dalam kesempatan tersebut. Racikan itu memberikan aroma yang mengulik hidung saya untuk mendengus dan memberikan rasa lapar di lambung benak saya.

Hmm, coba lihat saja karya Nurul Zee dengan judulnya Padamu Jua. Kata-kata mutakhir yang sempat cek-cok saya rasakan diawali dengan lead yang memukau. Terlihat gemerlapmu di sudut malam/Lupakah kau pada rumah penuh kasih itu ? Ada riak-riak bahagia antara kita di sana/Aku tau tak mudah sembuhkan luka ...Meski lirih tapi itu cukup mengulik rasa.

Bejana Buih Tangis dalam Genggaman ialah potongan dari sajaknya Sitha Muriani juga memberi efek tanya yang tak henti. Bejana buih yang mana yang bisa menangis ?

Begitupun denyut-denyut kearifan tuhan muncul sepintas dalam sajak Eka Dyah yang berkecipak ilahiah di dalamnya. Karena Gemerlap Tasbih Jiwa-nya seolah memberi isyarat bahwa apa saja yang terasa dan terjadi adalah sekumpulan anak-anak resah untuk dimuarakan pada satu titik bernama mushaf putih. Yang mungkin kelak esok hari kita makin sering melupakannya. Kurang lebih begitu Eka Dyah menuturkan.

Hawa kedamaiaan, kerinduan pada ilalang sepi, kepasrahaan serta kasih sayang untuk pulang dan mengabdi begitu jelas diombang-ambing para penyair dalam sajak-sajak kreasi mereka. Seperti MN. Fadhli dalam sajaknya Di Gerbang Penantian. Penyair Selvi Rani, yang lebih berbisik kepada simbol-simbol benda hidup umpama nadi-nadii kehidupan yang bergerak lewat aktifitas manusia secara utuh.

Begitupun keresahan, rasa tidak berdaya, serta keharusan untuk mendermakan diri kepada titik dimana kita telah menghabiskan banyak masa, banyak waktu untuk sejatinya kembali kita hadirkan ke masa depan. Yaitu Annisa HD kerap bermain-main dengan pengharapan seperti itu. Aku masih ragu bercumbu dengan perasaan ini/Masih tak banyak baju yang kukenakan/Kusam/Mungkin harus mengkristalkan diri/Mengendapkan sampai satu purnama lagi.

Terbilang unik, juga tampak asing, ketika Chairani—seorang guru asal SMA Dharmawangsa—menjelmakan kata-kata itu menjadi sajak yang ranum bagi saya. Sajak yang tak cukup mewakili hasrat seorang guru yang tengah belajar mengukir kata. Inilah sajak yang terbit dari kemurnian rasa sebab kadang kala, sadar atau tidak, keingginan yang bergejolak itu sering kali menghilirkan denting-denting kelembutan pada apa saja yang kita sebut sebagai kepolosan. Tak ada lagi gelombang di laut mati/Walau angin menghembus pedih/Riak pun tak tampak lagi/Hanya darah yang berserak/Membenam di kegelapan.../

Kucicip luka kemarin.../, tentu menjadi lead yang menghentak dari sajak Silfa Humairah. Apalagi ketika Silfa tetap mengambil jalur penyair yang setia bergerilya pada lead dan ending-ending yang terkadang menjebak. Ditambah lagi ketika pertengahan sajak, Silfa berani mengatur irama tulisan lebih bergerak, Sudahlah../Bukannya hidup memang mencerna buih/Sesekali bercumbu masa lalu/Menapaki masa depan.../


Mantap ! Mencerna buih sebagai sebuah pemaknaan dalam menggapai hakikat kehidupan bagi kita. Bagi saya, ini patut kita pikirkan masak-masak.

Sementara Sayap-sayapnya bikinan Intan HS sudah mengajak kita untuk tidak tanggung-tanggung terbang mengangkasa tanpa jejak, tanpa batas. Entah berapa kali ia menukik/Atau kadang merosot terlalu jauh/Langkahku juga terasa di atas buih/Pada tanah yang terhentak sebelum mimpi habis/belum lagi selesai .

Sementara puisi saya yang terakhir berjudul Darahmu, Darahku malah memberikan keterkejutan ketika dibaca di depan rekan-rekan yang lain. Hmm, mungkin itulah puisi terpanjang hari itu. Dan begitupun, saya tetap menggangap bahwa kekuatan penulis kadangkala akan tampak dan muncul saat nyali kepenulisan itu kian ditantang.

Maka, untuk selanjutnya mari kita saling menantang. Supaya terasah nyali menulis kita. Selamat membaca !

Medan, 6 Juli 2009

1 komentar:

  1. weleh...weleh, knp gk dari dulu diriku belajar mencoba mengasah kemampuan q bermain kata, meraciknya, meramunya dan mengadonnya, dan ternyata aku bisa, Itu puisi ku ya yg berjudul Padamu Malam???, (masih syok gk percaya gitu)--lebay woi :P, selalu bimbing aku ya kawan2 dlm memasuki dunia makna lebih dalam, lebih dalam dan lebih dalam lagi, (tatap mata saya)

    BalasHapus