Rabu, 18 Februari 2009

Menimang Takbir

Oleh : Sukma

Mak, tak lagi aku kenal apa itu takbir ?
Yang pernah menyelematkan aku
dari rimbun suka cita
Padahal bukan sekali dua kali aku berkunjung
ke simpang maghrib hingga ke sudut subuh
kelak kuingat bagaimana mengayuh sajadah

Mak, kenalkan ulang padaku apa itu takbir ?
Lama sudah tak kulihat anak-anak berselempang sarung
Berselendang mukena, membawa kitab suci hendak berangkat ngaji

Mak, bagaimana caranya menimang takbir ?
Agar aku bisa bedakan, mana syukur mana kufur
Supaya lihai menjejak tasbih sampai ke dasar rakaat

Aduh, Mak !
Lekaslah, ajari aku meletak takbir
Aku sudah lupa, Mak.

Medan, 04/08/08

Anggrek

Oleh : Sukma

sudah lelah aku berdiri
selama tujuh senja
tidak lagi rekah anggrek itu
sesaat kau mengajarinya
sebulan lalu

“mungkin kurang siram atau
mungkin tidak kena mentari,” begitu katamu

tapi,
kupikir bukan itu
karena rekah anggrekku
sudah berpindah pada rekah senyummu


Medan, 18/2/2009

Senin, 16 Februari 2009

Anak Tangga

Oleh : Sukma

menuruni hatimu
tak semudah menuruni anak tangga

sering aku terkilir
sering aku tergelincir
namun aku,
tak kan memilih
untuk segera berubah pikir

karena itu
semakin anak-anak hatimu kuturuni
semakin kutemui
sekumpulan kupu-kupu beterbangan
satu persatu
bermain dan berlarian di gubuk hati

maka,
anak hatimu
ibarat anak tangga
yang tak lelah aku menuruninya


Medan, 09/02/2009

Kamis, 05 Februari 2009

Sketsa Langit-langit

Oleh :Sukma

Nanti sore, maukah kau menemaniku ?
Duduk di beranda senja
Kita menanti si jingga tersenyum
Redup dalam kenangan angan-angan kita


Nanti sore, maukah kau menemaniku ?
Sambil memetik mawar kesukaanmu
Ada sepenggal lagu yang dinyanyikan camar-camar beterbangan
Di situ aku mencurahkan isi hati kalau aku sedang jatuh hati
Lagi-lagi kau akan termenung menatap tempias awan pada serambi langit
Aku diam

Sementara di sana sore tetap akan jatuh
Menghilang dalam sunyi malam



22/10/07


Ayah, Jangan Kasari Adikku

Oleh : Sukma

Yah,
Jangan pukul adikku !
Adikku tak pandai menerka pukulan

Jangan tendang adikku !
Dia pun tidak mahir mengeja tendangan

Lalu, Yah..

Jangan marahi adikku !
Karena dia nyaris sunyi dari senyum

Jangan, jangan kasari adikku !
Karena adikku masih perempuan

Medan, 07/08/08

Kupu-kupu Tak Berkepak

Oleh : Sukma

Kita adalah sepasang kupu-kupu

Yang terus terbang, kemudian hinggap

Terbang lagi dan hinggap lagi

Kau dan aku ialah sepasang kupu-kupu

Kita sering menjelma menjadi mawar,

melati, anggrek sampai ke bunga hati

Aku ingat,

Ketika kau tengah lelah

Wajahmu serasa linglung

Napasmu naik-turun

Kemudian kuambil reranting patah

lalu, kududukkan kau di sana

Kau ingat yang terjadi ?

Tubuhmu tetap memaksa terbang

diantara sela-sela waktu

Berkepak-kepak

Menari-nari

terus terbang, terbang lagi

hinggap lagi, lagi hinggap

Padahal kulihat

sayapmu waktu itu telah patah sebelah

Medan, 28/11/2008

Selasa, 03 Februari 2009

Gubuk Bapak

Oleh : Sukma

Dulunya bapak orang yang taat. Ia rajin datang ke wirid-wirid kaum lelaki. Bapak dikenal orang yang murah senyum. Karena seringnya itu, tidak sekali dua kali teman-temannya pula bertandang ke rumah kami. Mak juga begitu. Ia merasa senang sekiranya bapak mulai bisa bergaul lagi. Cerita silam soal bapak memang sempat tidak mengenakkan. Bapak dianggap orang-orang sudah tak waras lagi.

***
Hampir tiga bulan bapak menghilang. Sepak terjangnya ia simpan rapat-rapat. Bapak tidak lagi sudi mengikut kajian fiqh atau tarikh di areal mesjid. Padahal emak tak jarang mendapati bapak hanya duduk-duduk di belakang rumah bertemankan sebotol lampu minyak di hadapannya.

Memang, di belakang rumah ada gubuk setengah reok. Dulu seingatku memang aku, bang Burhan dan bapak membangun gubuk itu bersama.

“Di sini, kalau sore hari kau bisa santai-santai. Dan di gubuk ini kau juga bisa mengaji.”

Bang Burhan hanya mengembang senyum melihat bapak berucap begitu. Seraya diayunkan parang ke batang bambu pas di depannya kini, ia terus saja memerhatikan belahan demi belahan yang tergolek di samping kanan dan kirinya.

“Tapi kalau malam, pasti nyamuknya banyak,ya kan ?”

Saat bertanya begitu, emak masih setia menyuapi makan siangku. Kalau tidak begitu maka mungkin di usia yang sama, aku tidak akan mungkin menelan nasi. Berlarian ke sana kemari, mengangkat batang bambu yang sudah dibelah bang Burhan kemudian meletakkanya di sisi bapak. Selanjutnya, mak akan terus mengejarku sambil menjumput nasi bercampur lauk kemudian mendaratkannya tepat di mulutku. Hal itu berlanjut hingga aku duduk di bangku SMP.

Yang paling kusenangi dari gubuk bapak waktu itu tidak lain yakni duduk-duduk sore. Angin sore yang sejuk akan sering mengundang hawa kantuk yang sangat hebat. Apalagi selepas makan siang. Untuk itu, beranjak besar tubuhku, mak sering menaruh lauk, nasi, dan air putih di gubuk itu. Tahulah aku, kalau sudah begitu pasti nafsu makanku langsung bergeliat.

Mak hanya tersenyum kalau sudah aksi makanku bertambah semarak. Ia tidak peduli telah berapa piring nasi itu bertukar.

“Yang penting kau mau makan, Min !” Kata emak melepas senyum

Begitupun dengan bapak. Ketika petang datang, bersama sebatang tembakau, bapak asyik mengunyah goreng pisang dan secangkir kopi panas di gubuk itu.

Namun seiring waktu bapak sering berubah tingkah polanya. Diam merupakan teman bapak yang paling setia. Mak pun resah ketika mendapati bapak sering dipukul sunyi. Alih-alih, sandaran gubuk itu yang kerap dijadikan bapak menabung sepi.

Tak seorang pun paham gerangan apa yang membawa bapak pada ulahnya begitu. Seperti angin yang dirasa bapak sesaat duduk-duduk menghabiskan sore di gubuk itu. Sepi, tiada suara namun rasa sejuk kian saja memeluk tubuh damai bapak.

Sejak itu ada yang sepintas tak lazim dari cara memandang bapak kini. Ia yang dikenal orang-orang murah senyum tak lagi berani memamerkan barisan giginya yang rapat itu. Sejak beberapa orang datang ke gubuk buatan kami beberapa waktu lampau, tutur bapak mulai lain-lain. Padahal orang yang datang itu, bisa dibilang karib dekat bapak.

Mereka sering terlihat sama kalau datang ke wiridan kaum lelaki. Namun, seminggu itu pula, obrolan mereka terlihat misterius. Di gubuk itu, akhirnya bapak banyak menghabiskan sisa malam bersama botol kecil lampu minyaknya. Kadang mereka berdua, kadang terlihat berlima.

Itu yang kemudian ditakutkan emak. Dari balik jendela kamar, aku, bang Burhan dan emak sering mengintip aksi mereka mengunyah dingin malam. Kalau mereka berlima, dua diantaranya selalu terlihat terjaga. Bapak yang termasuk orang baru di kalangan mereka sering memasang tampang tunduk dan terpenjam.

Kalau yang dua diantara mereka terlihat awas, sementara itu bapak dan yang lainnya akan menggeleng-geleng, menganguguk-angguk dalam ritual yang khusyuk. Makin malam, ritual itu makin meriah. Tapi anehnya, mereka tidak terlihat lapar atau mengantuk. Sementara aku dan bang Burhan yang semula tidak tahan menahan kantuk, segera saja mengulum mimpi di atas kasur. Dan emak tetap saja memaksakan diri untuk terus memerhatikan ritual itu sampai selesai.

“Ada yang aneh kulihat di gubuk itu semalaman, Pak ?”
Setelah direnung-renung, dipilih pula tanya halus dari ucap emak barusan.

“Ah, tidak ada ! Bapak hanya ngobrol soal ladang saja dengan mereka.” Mata bapak diliputi kebohongan.

“Jujur itu lebih baik, Pak. Ada anak-anak disini. Kalau sekedar ngobrol biasa, kenapa sampai menjelang subuh ?”

Aku dan bang Burhan lekas beranjak mendekat ke sisi emak. Bapak meneguk kopi yang mulai dingin sejak disuguhkan emak beberapa menit lalu.

“Sudahlah, bapak tidak mau bicara itu. Tidak ada apa-apa. Ayo, kalian kenapa belum juga berangkat ?” Kata bapak sambil melepas pandang ke arahku dan bang Burhan.

Tapi, tidak sekedar disitu saja. Makin malam bertambah, makin berulah pula tingkah bapak. Bapak mulai payah ke areal mesjid. Bapak mulai jarang pula hadir di wirid-wirid malam jum`at. Ia lebih sering mengunci diri dari aneh ritualnya kini. Itulah yang makin menambah berang emak. Sering diurung emak hawa membara itu kalau ritual aneh-aneh bapak hinggap pula ke dalam rumah.

“Mak harus sabar. Jangan sekarang mak labrak bapak, nanti dia marah. Besok pagi saja ya, Mak !” Ucap bang Burhan memberi saran

Kalau tidak ditahan-tahan mak akan langsung menghardik kesemua teman bapak yang datang itu. Sebab mereka lain-lain ulah bapak. Bukan sekedar jarang mengaji, jarang wiridan, terakhir bapak jarang pula bersentuhan dengan sajadah. Aduh, siapa yang tak emosi melihat itu. Aku pun mulai sedikit gerah dengan semua aksi bapak kini.

Pernah suatu sore, sengaja kuajak bapak bersenda gurau di dalam gubuk. Membawakannya sepiring gorengan dan secangkir kopi hangat. Lalu aku mengadu pada bapak.

“Mau bapak menemaniku mengaji disini ?” Tanyaku cepat. Lantas bapak mengernyitkan dahi. Wajahnya merah. Ia mulai bimbang. Maka setelah itu, diamnya bapak makin bertambah pula. Ia lebih sering bersunyi diri.

Namun, ketika kawanannya itu datang malam-malam. Bapak terlihat melarang dengan aksi diamnya. Sejak itu pula, bilal mesjid silih berganti datang menjenguk kabar bapak. Beberapa mereka bertanya perihal bapak yang mulai jarang hadir ke mesjid apalagi wirid-wirid yang digelar. Mereka pikir bapak sakit hingga terlihat beberapa dari mereka turut pula membawa aneka buah.



***
Untunglah, sejak Haji Purna —bilal mesjid itu— datang ke pinggang rumah, bapak mulai rajin lagi menuai senyum. Bapak diajak pula mengaji fiqh atau tarikh. Sebab itu bapak tidak pula lekas menolak. Sepertinya hawa sadar mulai datang lagi ke hati bapak. Sering rajin pula bapak hadir di wirid-wirid. Namun, sesaat aku terkenang kejadian tempo lalu, ketika bapak tidak lagi beranjak solat, tidak lagi beranjak mengaji. Bapak mulai tampak ceria.

Namun setelah semua itu berlalu, bapak berangsur-angsur pulih pula. Sepinya mulai bertepi. Akan tetapi, lain pula sekarang. Bapak lebih banyak tertawa sendiri. Yah, sesekali juga bicara sendiri.

Ah, bapak !



Medan, 2 Februari 2009

Bayang-bayang Malam

Oleh : Sukma


Bayangkan, kalau Anda melihat seorang gadis cantik. Sedang terduduk sendirian di bawah pohon asem di tengah malam yang gulita, dengan balutan pakaian yang indah di tubuhnya tiba-tiba ia melempar senyum ke arah Anda. Maka apa yang akan Anda lakukan ?

"Ya, aku godain dong,” kata Herman teman sekelasku

Eh, jangan ! Lihat dulu deket-deket. Sapa tau dia hantu. Werrr...Kan serem !!” Itu tambah Dandi, bocah penakut yang duduk sebangku dengan Herman.

“Ah, kamu sih memang penakut. Kalo aku, kasih coklat aja. Lalu tanya ke dia kenapa sendirian. Dan ajak dia pulang. Besoknya baru aku tembak. Dorrr...!! Kamu mau jadi pacar saya ? Begitu, Man !” Kini suara Nanda, si lelaki parlente yang paling keren gayanya diantara kami.

Semua pendapat itu berhasil aku dengarkan satu persatu. Ada yang amat semangat seperti Nanda dan Herman, juga tak kalah ciut seperti celoteh Dandi. Tapi semua itu tetap tak kugubris. Mereka memang selalu tak serius kalau bicara soal cewek. Otaknya selalu ngeres.

“Sudah-sudah, kalau kalian mau, nanti malam datang ke rumahku. Kita akan ajak kencan itu cewek kemana kita mau. Tapi ingat, jangan macem-macem. Kita masih sekolah sebentar lagi ujian nasional. Setuju ?” Kataku dengan suara memberi tantangan.

"Oke, siapa takut !” Jawab Herman

“Iya, aku juga tidak takut,” begitu juga dengan Nanda

Lalu mata kami menatap Dandi serentak, bocah yang dikenal paling pengecut itu diantara kami. Seolah memberi isyarat agar ia lekas memberi jawaban. Lalu dengan mata tertunduk Dandi menggeleng pelan.

“Hhuuu...Kamu payah, Dan !” Kata Nanda dengan nada memburu.

“Pokoknya, kalau satu ikut semua harus ikut. Kalau tidak, nanti aku disangka malah mengada-ada sama kalian. Bagaimana, Dan ? Kamu ikut kan?” Kataku sedikit mendesak
Ia terdiam. Sesekali celingukan ke kiri dan ke kanan. Menatap mata kami satu persatu dengan mantap seolah memberi sinyal agar kali ini ia diberi dispensasi.

“Baiklah, Aku mau. Asal... aku di rumah saja, ya ?”

“Tidak masalah !! Kalau begitu kita sepakat. Jam sebelas tepat aku tunggu di depan rumah,” aku mengakhiri perbicaraan siang itu dengan kawan-kawan di sekolah.

Antara mimpi dan tidak, tadi malam aku melihat seorang gadis cantik tengah duduk terdiam di bawah pohon asem tepat di ujung gang. Malam itu, aku melihatnya secara tak sengaja. Aku ingat betul bahwa saat itu aku baru saja pulang dari rumah Wak Nur untuk mengambil teko besar milik ibu, yang sempat tertinggal saat arisan minggu lalu.

Aku pun tak tau mengapa ibu menyuruhku malam-malam begitu, yang kutau besoknya memang teko itu harus dibawa. Katanya, untuk dipinjam oleh anak Ibu Dar, tetangga sebelah rumah yang hendak syukuran di sekolahnya.

Tapi sial, di jalan aku bertemu dengan gadis cantik nan rupawan itu. Dengan gaun tipis yang melekat di tubuhnya itu, kian sempurna kutatap seluruh liku-liku bodinya. Mungkin karena aku tak berani menegurnya, hingga perasaan itu yang membuatku terhukum sial. Aku sangat yakin, setiap lelaki yang memandangnya akan lekas jatuh cinta. Wajahnya rupawan bak putri raja. Juga dengan senyumnya, sungguh memikat hati. Sempat malam itu ia melempar senyum padaku. Entah kenapa malam itu pula aku tak menggubrisnya, aku langsung mengayuh sepeda dan segera tiba di rumah.

Wajahnya cantik, kulitnya putih, dan posturnya yang semampai kian membuatku menyangka, dia tipikal perempuan ideal. Aku jadi tak habis pikir apa sebab ia begitu tiba-tiba saja menyapaku dengan senyumnya yang khas. Padahal kata orang-orang yang tinggal di dekat pohon besar itu, mereka tidak pernah sekalipun menjumpai sesosok manusia kalau malam-malam begitu, apalagi seorang perempuan.

“Jangan ! Jangan bicara soal itu, Anak Muda !” kata Pak Ngadimun, seorang lelaki tua yang tinggal di dekat pohon asem itu.

“Kenapa, Pak ? Tadi malam saya baru saja berjumpa dengan gadis cantik itu. Saya sempat bingung, setahu saya tidak pernah ada perempuan secantik dia di kampung kita. Apalagi keluyuran malam-malam begitu.” Kataku mantap

“Sudahlah, aku tak mau membicarakan soal itu lagi. Aku banyak kerjaan, kau pergi saja. Ntah-ntah, kau sedang ngelantur,” tambah Pak Ngadimun dengan wajah sedikit melongos.

Perbincangan sore itu membikinku kian semangat untuk menyelidiki siapa perempuan itu sebenarnya. Padahal, bukan cuma aku saja yang pernah lewat di bawah pohon asem itu malam-malam, tapi banyak pula anak muda kampung yang juga keluyuran di tengah malam. Namun mereka tidak pernah sedetik pun mendapati gadis cantik itu terduduk di sana. Dengan gaun indah, wajahnya bersih, dan rambutnya yang terurai. Plus melempar senyum ke arahku. Aduh, aku jadi makin pusing saja.

Kepalaku makin nyut-nyut, terus ada pertanyaan yang berjejalan ingin segera dijawab. Ada apa dengan pohon asem itu ? Siapa perempuan cantik itu ? Lantas, mengapa hanya aku yang jadi sasaran ?

“Her, bagaimana kalau kita batalkan saja janji yang tadi pagi?” Kataku tidak semangat.

“Ah, ada-ada saja kau, Bud ! Mana mungkin kita batalkan, kan kau yang sudah buat janji sendiri. Atau, jangan-jangan kau pulak yang jadi takut sama cewek itu, iya ?” Herman menyeringai.
Lantaran bingung, Aku segera mendatangi Herman untuk minta pendapat soal perempuan cantik tadi malam itu. Bukan sebab aku takut, tapi karena memang aku tidak biasa melihat perempuan cantik. Aku paling tak tahan lama-lama melihatnya.

“Bisa basah celanaku nanti,” aku menjawab jujur.

“Nah ini, kau cari pekara namanya. Aku takut, kau sengaja mengarang ?” serang Herman mendadak.

Aku menggaruk kepala. Bukan karena gatal tapi makin tak tentu otakku berpikir. Herman tidak setuju dengan ideku untuk membatalkan hal itu. Begitu juga dengan orang-orang seisi rumah. Adik, abang dan kedua orangtuaku menganggap bahwa itu cuma penglihatanku saja.
Memang sejak aku kecil, ibu pernah bilang bahwa aku sangat pendiam dengan anak perempuan, termasuk dengan Warsinah, adikku sendiri. Tidak tau aku apa sebabnya, hingga mau tamat SMA begini aku juga tak tau kenapa hal itu terjadi. Yang kurasakan cuma biasa-biasa saja. Soal cantik atau tidak aku memang secara laki-laki bisa menilainya dengan normal. Tapi soal apakah aku minat atau tidak, jelas saja tidak masuk dalam pikiranku.

Namun yang satu ini, aku benar-benar seperti dirasuki hawa gaib dari perempuan itu. Meski terbilang baru sekali bertemu, tiba-tiba saja aku amat tertarik mengenalnya. Itu sebab aku mengajak beberapa teman, termasuklah Dandi, temanku yang paling penakut.

Alhasil, hingga kini aku malah putar arah. Tak lagi berniat ingin menjumpainya apalagi menyelidiki soal itu. Tapi sekarang yang benar-benar membuatku telah gila adalah teman-temanku itu. Sungguh, ceritaku tadi pagi sudah membikin mereka sedikit edan.

“Kok kalian yang jadi bernafsu sekali ingin ketemu dengan cewek itu. Aku malah jadi curiga sama kalian, jangan-jangan...” kataku putus

“Bukan begitu, Bud ! Kami hanya pingin tau saja. Kan kami sering juga lewat di dekat pohon itu. Tapi toh, tidak pernah melihat ada siapa-siapa di bawah pohon asemnya.”

“Pokoknya tidak ada cerita, kau harus tepati janji ! Kalau kau tak mau, kau harus temani kami. Supaya kami bisa melihatnya juga. Siapa tau, kalau ada kau dia mau menampakkan diri.”

“Ya, saya sepakat itu !” Kini Dandi malah jadi berani.
Semua mata menatap mantap ke arah Dandi. Seolah tak menyangka kalau Dandi, anak lelaki yang penakut itu tiba-tiba saja berubah berani.

Melihat mereka begitu semangat, segera muncul semangatku balik. Tidak ada rasa takut, tidak juga ada bimbang. Yang tinggal cuma rasa was-was. Tidak tahulah aku apa alasannya. Mungkin sudah tak sabar ingin kembali melihat wajahnya, menikmati senyumnya yang indah dan memandang rambutnya terurai disisir angin malam. Ah, aku jadi menghayal.

***

Bayangkan pula, kalau Anda melihat seorang gadis cantik. Sedang terduduk sendirian di bawah pohon asem di tengah malam yang gulita, dengan balutan pakaian yang indah di tubuhnya tiba-tiba ia melempar senyum ke arah Anda. Maka apa yang akan Anda lakukan ?
Yah, setiap lelaki pasti akan tergila-gila padanya. Seperti malam ini yang kulihat di mata Dandi, Herman, dan Nanda. Mereka sudah sangat gila !

Lihat saja cara mereka berdandan malam ini, aku cuma geleng-gelang saja. Mereka berbusana seperti para penjaga malam. Lengkap dengan senter dan pentungan. Sedikit sentuhan topi koplo di kepala, juga dengan kain sarung melingkat di leher.

“Untuk apa bawa pentungan, Dan ?” Aku penasaran

“Buat jaga-jaga, siapa tau itu hantu. Hi…Hi..Hi…” Balas Dandi enteng

“Ssstt…Jangan berpikir yang tidak-tidak ! Nanti benar-benar hantu baru nyahok…!” Herman menjawab kemudian.

Tanpa hitung-hitungan lagi, segera aku dan yang lainnya bergegas berangkat. Hawa dingin pelan-pelan mulai menyergap tubuhku dan tubuh kami semua. Sepertinya hujan sebentar lagi akan turun, kulihat angin kencang sudah berarak hebat. Daun-daun pohon asem itu tampak berguguran menerpa tubuh-tubuh gontai kami. Kami bolak-balik melewati pohon asem itu, tapi tak ada sosok apapun yang terlihat. Apalagi wanita cantik. Sama sekali tidak ada.

Namun tiba-tiba saja, seorang lelaki tua datang menghampiri kami.

“Ngapai kalian di sini?” Kudengar suaranya berat

“Kami mau jumpa dengan gadis itu, Pak,” kata Herman sambil membetulkan letak sarungnya.

“Sebaiknya, kusarankan kalian pulang saja sebelum terjadi hal-hal yang tidak baik.”
Aku dan ketiga temanku menatap tajam ke arah Pak Ngadimun.

“Memangnya ada apa, Pak ?” Nanda yang sedari tadi diam, kini angkat bicara.

“Sudahlah, kalian lekas pulang saja. Ini sudah malam, nanti....”

Gerrreebakkk....

Belum pun Pak Ngadimun usai bicara, sebatang kayu besar jatuh tepat di belakang kami. Aku dan yang lain kaget bukan kepalang. Sementara petir mulai berhamburan, teriakan dan cahayanya berkelebat di atas langit. Angin terus saja kencang.

“Saya pulang duluan, hujan sepertinya sebentar lagi turun.” Pak Ngadimun segera beranjak pergi. Tanpa basa-basi, kami biarkan saja ia pulang.

Kini, aku dan teman-teman tetap tak surut menanti gadis cantik yang kulihat malam kemarin muncul. Jam sudah bergerak tepat pukul 00.00. Sebenarnya aku pun sudah ingin sekali pulang, tapi kalau aku yang mengajak, nanti disangka aku yang pengecut. Biar saja mereka yang mengajak pulang.

Hujan rintik-rintik mulai turun, dingin terus saja membalut tubuh kami. Tak juga perempuan itu muncul. Ah, kini aku mulai jenuh. Dengan nada pelan, aku seperti mencoba memanggilnya.

“Ayolah, keluar gadis cantik ! Dimana kau ? Tunjukkan wajah indahmu itu, aku sudah tak sabar melihat senyum indah darimu.”

Dan, tidak satupun dari kawanku mengajak pulang. Mereka tetap ngotot bertahan. Entah apa yang sekarang mereka pikirkan. Meski kulihat kaki Dandi mulai gemetaran.

Aku terus memanggil. Kelak gadis itu akan keluar. Sebab kalau tidak, kawan-kawan akan menganggap ceritaku kemarin hanya rekayasa belaka. Padahal sebenarnya aku pun tidak tau, apakah gadis itu ada atau tidak? Atau benar kata ibu, itu cuma penglihatanku saja. Tapi tidak, mengapa pula Pak Ngadimun seperti menyembunyikan sesuatu dariku tentang gadis itu dan tentang pohon asem ini ?

“Mana, Bud ? Ah, aku sudah ngantuk, nih.” Akhirnya Nanda mulai bertanya. Aku terdiam.

“Iya, jangan-jangan benar kataku, kau bohong !” Balas Herman

Lantas, aku masih saja diam. Kulihat Dandi mulai menatap wajahku seperti ada yang hendak ditanyanya pula. Aku lekas berpaling dari tatapannya. Tanpa henti mulutku tetap komat-kamit.
Masih dengan nada pelan aku terus memanggil-manggil perempuan itu.

“Ayolah, tunjukkan rupamu, Gadis Cantik ! Keluarlah !”
Dan tiba-tiba saja, aku melihat awan gelap itu serasa menimpaku.




Medan, 4 Maret 2008
Cerpen ini pernah dimuat di harian ANALISA
Rabu, minggu ke-2 bulan puasa 2008

Senin, 02 Februari 2009

Kenapa Orang Cina Bisa Kaya ?

Oleh : Sukma


“Di dunia ini tiada yang lebih kaya selain daripada orang cina !” Begitu Ibnu Batutah pernah menuturkan. Sepertinya kita memang harus percaya dengan perkataan Ibnu Batutah barusan. Kenapa ? Lihat saja, Indonesia yang mayoritas masyarakatnya pribumi asli tidak mampu menunjukkan taringnya dalam hal kegiatan ekonomi. Kebanyakan kita cenderung menjadi “orang kedua” yang mampunya hanya pekerja bukan pemilik.

Berbeda dengan masyakat etnis Tionghoa yang bermukim di Indonesia. Mereka yang semula hanya perantau, sekarang telah mampu memegang peranan di bumi nusantara ini terutama dalam bidang ekonomi. Nuansa bisnis yang mereka dominasi kebanyakan memiliki ciri khas yang sama dan gaya yang sama pula.

Tidak hanya dalam hal produksi, pengadaan bahan baku, hingga sistem marketing yang sengaja mereka ciptakan telah menyeret mereka dalam satu gerbang yang sejenis pula yakni kesuksesan.

Untuk itu, buku karya Thomas Liem Tjoe yang hadir kali ini dengan judul Rahasia Sukses Bisnis Etnis Tionghoa di Indonesia sepertinya telah memberikan bocoran bagi kita untuk (setidaknya) belajar banyak hal dari cara orang cina meraih sukses dengan cara yang mereka miliki.

Dalam buku ini banyak hal yang diungkap, mulai dari sejarah bagaimana orang cina sendiri masuk ke Indonesia (pada bab II) hingga trik-trik rahasia yang mereka punya untuk menjalankan roda bisnisnya (bab VI).

Selain persoalan trik yang dipaparkan dalam buku ini, Liem Tjoe juga menjelaskan perihal karakter dan profil yang dipunyai orang cina dalam bisnis yang mereka gerakkan. Diantara profil dan karakter itu, orang cina memiliki semacam filosofi merasa tidak memiliki tanah air, cepat mengadaptasi bahasa dan cenderung mengikuti standar barat. Senada dengan ucapan Renald Kasali, Ph. D bahwa kesuksesan orang cina lebih disebabkan karena mereka tidak malas!

Filosofi ini yang kemudian diturunkan secara monarchi pada anak keturunan mereka (hlm. 43). Hingga wajar kita lihat, bisnis orang cina cenderung dikelola oleh anggota keluarga inti secara eksklusif.

Perasaan tidak memiliki tanah air dan sistem bisnis keluarga inilah yang sepertinya tidak dimiliki etnis lain di dunia ini (hlm. 45). Dari situ, orang cina lebih menghidupkan jaringan yang membuat bisnis mereka kian menyala. Nasib sesama anak perantau ini yang menjadi dasar berpijak mereka untuk terus saling membantu. Disaat bisnis yang satu ambruk, maka bisnis jaringan yang mereka punya akan cepat-cepat menopang bisnis yang ambruk tersebut.

Selain persoalan mental yang mereka miliki, orang cina kerap pula memiliki arah dan tujuan yang jelas dalam alur perjalanan bisnis mereka. Hingga ketika kegagalan menerpa mereka bukan disebabkan karena tidak tersedianya modal, salah perhitungan, timbulnya kompetitor lain tapi lebih karena tidak jelasnya arah tujuan dalam berbisnis, begitu mereka pernah menganalisis.

Persoalan lain yang mendominasi karir mereka adalah sistemik elemen alam yang dipercaya membawa hoki akan hidup dan cita-cita mereka (pada bab V).

Kehokian itu lebih dititikberatkan pada simbol-simbol atau tanda-tanda yang mereka gunakan melalui alat kalender Tiongkok berupa shio. Antara percaya atau tidak, orang cina memang menaruh perhatian besar pada hal ini.

Namun jauh dari itu, elemen alam yang mereka pakai tidak lain mengajarkan mereka untuk saling cinta kasih, sopan-santun, disiplin dan kejujuran yang diwujudkan dalam bisnis mereka (hlm.57).

Begitupun buku ini banyak membeberkan rahasia sukses orang cina di Indonesia, akan tetapi, buku ini terasa kurang ketika penulis tidak memberi contoh orang cina Indonesia yang sukses dalam bisnisnya yang kemudian mampu kita dijadikan figur dalam bisnis yang tengah kita garap saat ini.

Jauh dari itu, semua buku ini terasa klop ketika bab terakhir mengungkap beberapa trik-trik sederhana yang bisa kita aplikasikan dalam kehidupan bisnis kita sesuai dengan 16 prinsip berbisnis Tao Chu Kung

Maka kiranya selain penting untuk dibaca, buku ini penting pula dipelajari serta dipahami bagi siapa saja yang ingin sesukses dan sekaya orang cina. Kalau orang cina saja bisa kaya, lantas mengapa kita tidak ?



Medan, 06 Nopember 2008

Resensi Buku ini telah Dimuat di Harian ANALISA
Pada Rabu, 31 Desember 2008

Nek Maryam dan Narti

Oleh : Sukma

Orang-orang akan meletak pilu sesaat memandang tubuh Nek Maryam, begitu biasa perempuan tua itu disapa, harus menyeret kaki kanannya yang pincang hingga bermeter-meter jauhnya. Bajunya lusuh, hitam dan tak jelas warna rupanya. Nek Maryam hidup bersanding sepi, di rumahnya yang lengang hanya ada Narti, cucunya yang baru berusia lima tahun. Setiap akhir pekan, terkadang Narti sering pula diajak Nek Maryam jalan-jalan mengeliling pajak. Dan itu yang paling membikin Narti senang tinggal bersama Nek Maryam.

“Beli apa minggu ini kalau aku ikut ke pajak, Nek ?” Tanya Narti antusias

Maumu ?”

“Beli boneka, boleh ?” Usulnya

"Ah, itu terlalu mahal !”

Muka Narti sekejap berubah. Ditekuk dan melilitkan selembar kecewa di dalamnya. Murung pula dibuatnya.

“Kalau begitu, tak mau Narti ikut ke pajak !!” Tuturnya merajuk

“Macam orang kaya saja kau, Nar. Yang lain lah, tak ada uang nenek untuk beli boneka. Permen, roti, coklat atau ...”

“Bo..ne..ka. Titik !!”

Itu pula yang acap kali menambah gairah Nek Maryam datang ke simpang-simpang, membawa gayung, melilitkan seikat perban di kaki kanan yang bercampur obat merah, sering mengurungkan hatinya untuk tak lekas berhenti bekerja. Macamlah ulah Narti kalau pintanya itu tak berujung nyata.

Pernah dulu ketika Narti ingin dibelikan baju lebaran berwarna sepadan, atasan merah, roknya merah, selendangnya juga ikutan merah. Alahai, Nek Maryam kalang-kabut menyihir tenaganya untuk kerap mewujudkan inginnya itu. Yang ngerinya, Narti akan pasang aksi tak sudi makan, tak mau mandi atau pula tak pulang beberapa hari pernah jua ia lakukan supaya Nek Maryam mengabulkan pintanya seperti itu.

Alhasil, apa yang bisa Nek Maryam buat kalau bukan kerja setengah mati. Nek Maryam waktunya cuma habis di bawah matahari, berharap kasihan orang banyak yang seliweran di simpang-simpang. Melemparkan semacam recehan yang kadang tak seberapa. Apalagi untuk makan saja Nek Maryam tak jarang setengah-setengah. Namun untuk urusan Narti, Nek Maryam akan setia mengabulkannya. Meski entah darimana caranya.

Pernah suatu siang Nek Maryam nyaris di hantam truk. Sebabnya tidak lain, Nek Maryam lupa kalau kala itu, lampu jalan tengah berubah hijau. Panik nian ia, bersebab pinta Narti terus memartil kepalanya. Tubuhnya tergopoh-gopoh, suara-suara penuh histeris meneriakinya, cericit ban dan sengau klakson bertubi-tubi menghujam ke arahnya. Tapi apa hendak di kata, lari Nek Maryam jauh lebih lambat ketimbang truk tersebut. Dan sudah pasti...

Brakkk....!!

Truk menghantam sebuah kedai pangkas yang ada di bibir jalan. Roboh sebagian isi kedai itu. Ringsek pula moncong depan truk. Syukurnya, kedai itu sudah lama tidak berpenghuni. Bukan sekedar itu, Nek Maryam pun selamat pula !

Itu semua tidak lain, agar lekas berwujud pinta Narti yang sudah-sudah.
Yah, siapa lah yang mau menanggung beban derita hidup Nek Maryam. Kepling dan lurah saja tidak lagi bersemangat membantu bekal hidup Nek Maryam. Bisa dihitung pula berapa kali jatah raskin ia dapat, minyak goreng murah dibelinya, apalagi cek asam urat di puskesmas kelurahan terbilang pula nyaris tidak pernah lagi.

Hanya Narti yang kerap diurusnya. Itu pun sejak pincang sebelah kaki kanan Nek Maryam, tak punya nyali Narti meneruskan kelas SD-nya. Syukur-syukur Narti sehat, sudah hebat kali bagi Nek Maryam menjaga Narti.

“Sudah makan kau, Nar !’

“Sudah, Nek.”

“Dimana ?”

“Di rumah Ruminah, pas azan tadi.”

"Diajaknya kau ke sana atau kau yang minta ?”

Narti diam. Rambutnya yang ikal terus digulung-gulungnya tanpa henti. Nek Maryam marah besar kalau Narti tau ia makan di rumah Ruminah, anak kepling itu.

“Tidak.”

"Ah, bohong kau !!” Nek Maryam mulai pasang tampang curiga. Matanya hendak keluar, giginya gemeretak, wajahnya ikutan pula memerah. Mmhh, kalau begini Narti seolah tak bisa berpaling.

“Pas main boneka-bonekaan. Aku cuma bilang pada Rumi, kalau aku lapar. Lalu, ibunya Ruminah mendengar dan mengajakku sekalian makan bersama dengan mereka. Itu aja kok.”

“Kau tu, ya, sudah berapa kali nenek ingatkan, jangan makan di rumah Ruminah, hah ?!”
Narti diam. Wajahnya sunyi. Masih tertunduk. Dalam hatinya bergemuruh. Padahal, ia tak tau-menahu soal kenapa Nek Maryam melarangnya makan di rumah Ruminah. Setaunya, Nek Maryam sempat bertengkar beberapa bulan silam dengan orangtua Ruminah. Entahlah soal apa. Narti pun tak paham.

Seingatnya, Nek Maryam pernah memaki-maki ayah Ruminah sesiang bolong lalu. Nek Maryam melemparkan botol minyak lampu, karung beras dan kaleng tempat minyak makan. Mungkin sebab itu, Nek Maryam tak lagi sudi mengadu ke rumah kepling kurang ajar itu.

“Kurang ajar ! Itu bapaknya si Ruminah kurang ajar, tau kau ?!!” Masih dengan tatapan nanar, Nek Maryam bersumpah-serapah ke wajah Narti. “Yang kau makan itu jatah kita, jatah orang miskin. Biar tau kau, ya, sejak dia jadi kepling tidak ada lagi jatah beras miskin, minyak lampu dan minyak makan murah untuk kita.” Narti diam. Dia tidak mengerti apa itu beras miskin, apa itu minyak murah. Yang ada dalam pikirnya sekarang, ia sudah kenyang. Tinggal menunggu selesai saja repetan neneknya itu.

“Jatah kita semua diambilnya !!”

Sudahlah, Narti berharap neneknya itu lekas mengakhiri maki-makinya sekarang. Ia capek, ia pingin tidur.

Esoknya, bisik-bisik tetangga tentang Nek Maryam dan Narti makin deras mengalir ke telinga orang-orang. Desas-desus tak sedap hinggap di pelapah hati. Bahkan santer terdengar, celoteh orang-orang menghasut Nek Maryam dan Narti harus segera angkat kaki dari tempat mereka sekarang. Itulah, kalau orang sudah tidak suka. Macam ragamnya agar kita menjauh. Seperti
Nek Maryam kali ini.

“Apa-apaan kalian, ini rumah almarhum anakku dan sekarang ini rumahku, tidak ada hak kalian mengusirku, mengerti ?!!” Kata-kata itu ia lontarkan sepulang dari meminta-minta di tepian jalan, beberapa gang dari tempat tinggalnya.

“Jelaskan, apa alasan kalian mengusirku, hah ?!”
Orang-orang diam. Beberapa dari mereka, yang sebagian besar ibu-ibu, mulai tidak banyak cakap. Hanya berbisik-bisik saja.

“Kalau begitu, pergi kalian. Jangan datangi rumahku lagi. Sudah tak membantu, memfitnah pulak kalian. Ciihh !!” Katanya balas mengejek.

Gonjang-ganjing perihal ketidakamanan kampung lamat-lamat makin dahsyat terdengar. Semua gunjingan itu mengarah ke Nek Maryam dan Narti. Banyak tetangga-tetangga yang kehilangan baju aneka bentuk, mainan anak-anak hingga sampai pula pada peralatan dapur. Kebanyakan dari yang hilang itu persis dimiliki oleh Narti dan Nek Maryam sekarang. Orang-orang menaruh curiga. Mana mungkin Nek Maryam melakukan ini semua ? Tapi, kenapa barang-barang itu ada di rumah Nek Maryam ? Sebagian pula bahkan tampak dipakainya?

Aih, orang-orang ingin melabraknya tapi tidak kuat cukup buktinya. Perihal sakit kaki kanannya lagi, orang-orang pun mulai uring-uringan. Perbannya, obat merahnya, pincangnya, serasa dibuat-buat.

Begitu juga Narti. Beberapa mainan seperti boneka, alat hitung, dan gambar warna-warni sepertinya mulai tampak dimainkan Narti. Pantaslah, sejak Narti memiliki itu. Seperti lambat langkahnya untuk main pula bersama Ruminah, Dorli, Parga atau Surji.

“Iyalah, nenekku kan sekarang sudah baik. Dia rajin membelikanku mainan.” Ujar Narti penuh semangat.

“Duit darimana ? Kapan dibeli ? Dimana pula membelinya ? Kok mirip dengan mainanku ?” Tanya itu keluar dari bibir teman-teman Narti.

“Mana kutau ?!!”

Masih seperti biasa, Nek Maryam terus beraktifitas. Kecurigaan orang-orang kian memuncak. Sudah tiada ampun, barang-barang yang hilang sudah masuk pada taraf benda-benda mahal. Siang ini, Nek Maryam berencana akan dijegal orang-orang kampung agar terjawab pertanyaan mereka perihal Nek Maryam yang melakukan ini semua.

Tetap di simpang yang sama, Nek Maryam meminta-minta dengan tampang memelas. Kakinya berjalan pincang seolah asli. Wajahnya berakting sedih bak artis sinetron di teve-teve. Tidak jarang, orang-orang yang lewat melempar receh pula ke sisi kanan dan kiri.
Dan benar, seharian orang-orang yang menguntit macam gerak Nek Maryam mulai jengah. Mereka sudah pasrah, seolah memang bukan Nek Maryam pelakunya.

“Bagaimana, Yan ? Kita sudah seharian menunggu. Hasilnya nihil.” Kata Mang Pur, tetangga dua rumah dari Nek Maryam.

“Iya, aku juga udah capek.” Itu suara si Zul

“Tunggulah sebentar, nanti pun kita pulang tetap tak bawa hasil kan ? Tunggu saja! ”
Semua hening. Tampak beberapa pemuda lain sudah mulai beranjak pulang.
Hingga akhirnya, Nek Maryam beranjak juga dari simpang itu dan menuju ke sebuah warung nasi. Sengaja dibuka perbannya dan dirogohnya sesuatu dari saku pakaiannya. Sebuah handphone bertipe sederhana lihai dimainkan Nek Maryam sambil menunggu pesanan makan siangnya.

Padahal tiga hari yang lalu, orang-orang dibuat sibuk lantaran telpon selular kepling juga tak luput dicuri orang.



Medan, 07 Januari 2009
Tulisan ini pernah dimuat di Harian GLOBAL
Pada Sabtu, 31 Januari 2009

Minggu, 01 Februari 2009

Bermain-main dengan Hipnosis


Oleh : Sukma *

Judul Buku : The Real Art of Hipnosis
Pengarang : Hisyam A. Fachri
Penerbit : Gagas Media
Tahun Terbit : Cetakan 1, 2008
Ketebalan : + 236 hlm
Kategori :Non-Fiksi (Psikologi)





“Rilekskan diri Anda ! Bagus sekali, sekarang perhatikan titik ini, terus perhatikan dengan perlahan, sekarang rasakan mata Anda semakin berat, Anda begitu mengantuk, Anda ingin tidur, ingin sekali. Lalu makin tertidur, tidur yang dalam, dalam sekali dan tidur yang sangat nyenyak...dan tertidurlah !”


Bukan mantra, bukan sihir! Itulah yang terjadi dengan hipnosis. Fenomena hipnosis belakangan ini sudah berubah menjadi tren yang kian diminati. Bukan hanya dari kalangan para pakar akan tetapi para profesional, ibu rumah tangga hingga para supervisor dan manajer perusahaan besar di dunia pun tak luput memakainya.


Secara tidak langsung, keadaan hipnosis sering pula kita alami. Semisal menonton sinetron hingga membuat kita terhanyut di dalam ceritanya, berdoa dan berzikir kepada tuhan dengan begitu khusyuknya atau tatkala sedang bermain playstation hingga Anda lupa waktu.
Keadaan inilah yang dalam hipnosis disebut sebagai kondisi trance. Keadaan dimana kita fokus terhadap sesuatu dan ini keadaan yang cukup normal kita alami.


The Art of Hipnosis, sebuah buku karangan Hisyam A. Fachri ini memberi penjelasan yang cukup kental perihal dunia hipnosis. Secara tidak sadar, kita akan digiringnya pada sebuah tidur panjang yang menenangkan. Hipnosis yang kita kenal hari ini bukanlah semacam sihir atau mantra yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya ritual khusus semacam perdukunan. Namun, hipnosis adalah sebuah keilmiahan.


Walaupun menurut Ormond Mc. Gill, yang dijuluki Dekan Hipnosis Amerika, mengatakan “Tidak mudah memberi pengertian tentang hipnosis. Hipnosis tak ubahnya seperti listrik, sedikit orang yang bisa menjelaskannya dengan mudah. Tetapi yang jelas listriknya memiliki DAYA yang dapat dimanfaatkan.”


Dari pernyataan tersebut kita bisa memosisikan hipnosis sebagai sesuatu yang bukan mistis atau melibatkan sesuatu yang ghaib.


Keilmiahan hipnosis pun masih terus diperdebatkan sehingga cara kerjanya menuntut beberapa ilmuwan berspekulasi kalau hypnotherapy menstimulasi otak untuk melepaskan neurotransmiter, zat kimia yang terdapat dalam otak. Zat itu adalah encephalin dan endhorphin yang berfungsi untuk meningkatkan mood sehingga dapat mengubah penerimaan individu terhadap sakit atau gejala fisik lainnya.


Dan menurut Prof. John Gruzelier, seorang pakar Psikologi di Caring Cross Medical School, London, hipnosis berguna untuk menginduksi (menurunkan daya kerja) otak. Hal itu dilakukan untuk memprovokasi otak kita agar non-aktif dan memberikan kesempatan otak kanan untuk bekerja secara keseluruhan. Hal itu bertujuan untuk mengambil kontrol atas otak fokus pada suatu hal secara monoton.


Sugesti dalam Hipnosis

Konsep hipnosis sebenarnya adalah konsep yang sangat sederhana. Lagi-lagi, tanpa kita sadari konsep hipnosis sendiri sering kita lakukan. Seperti contoh ketika seorang ibu yang tengah menidurkan anaknya sambil ia menyanyikan lagu-lagu yang syarat dengan pesan-pesan moral. Kemudian pula, ketika Anda tengah memberikan semangat kepada diri Anda sendiri bahwa Anda adalah orang yang sukses dan berhasil dalam hidup ini. Sesungguhnya, inilah yang disebut sebagai konsep dasar hipnosis.


Letaknya ada pada penanaman sugesti yang kita sampaikan lewat ucapan secara verbal. Walaupun secara umum hipnosis sering pula bernada negatif. Kita atau lingkungan yang sering menanamkan nilai-nilai—dalam hipnosis disebut script— negatif ke dalam diri kita yang sesungguhnya kita tengah menghipnosis diri kita kepada keputusan yang negatif. Namun sebaliknya, kalau kita senantiasa meyakinkan diri kita dan lingkungan di sekitar kita bahwa kita adalah orang yang sukses dan berhasil maka script yang tertanam dalam diri akan terus bernuansa positif pula.


Antara Hipnosis Barat dan Timur

Seiring perkembangan dan sejarah hipnosis berlangsung, sebenarnya hipnosis sendiri memiliki keunikan dan karakter yang berbeda-beda. Meski belakangan, hipnosis yang dikemas secara ilmiah baru dimulai dari dunia barat seperti Prancis.


Hipnosis dalam sejarahnya sudah dimulai sejak 1734 oleh Frans Anton Mezmer. Namun kita sendiri bangsa Indonesia telah jauh-jauh lampau telah pula menjalani proses hipnosis secara tradisional. Tentu (biasanya) melalui ritual-ritual yang umum dilakukan oleh para pelaku hipnosis.


Kita sebut saja orang jawa, yang sejak sedia kala memiliki tradisi-tradisi spiritual yang telah menyita perhatian besar masyarakt jawa secara umum. Dan hipnosis sendiri adalah seni untuk memengaruhi sugesti klien. Bangsa Indonesia sendiri memiliki sugesti yang cukup tinggi ketimbang bangsa Barat yang lebih mendominasi logika dan rasio. Proses hipnosis dapat berlangsung sepanjang seorang terapis dapat mengetahui titik sugestinya. Salah satunya, keyakinan spiritual yang dimilikinya.


Seorang klien akan sangat mudah masuk dalam posisi trance dan hanyut dalam posisi yang kita inginkan manakala inti sugesti kita letakkan terkait wilayah rasa dan spiritual yang kental dengan sosial budaya mereka.


Ritual mantra yang digunakan oleh hipnosis timur haruslah disesuaikan dengan sisi spiritual seseorang. Orang yang dekat dengan dunia Dinamisme-Animisme, sering kali mengolah sisi batinnya dengan ritual yang aneh-aneh.


Sebenarnya, mantra dan ritual tersebut hanya sebagai sarana untuk mengolah batinnya. Bukan mantra dan ritual itu yang memberikan kekuatan, melainkan niat mereka yang memberikan efek sugesti dan “energi” bagi pelaku hipnosis tersebut.


Sementara hipnosis barat tidak mengenal ritual dan mantra. Hipnosis barat mencoba membuka tabir apa saja yang sebenarnya terjadi ketika seseorang terhipnosis dan bagaimana mengkondisikan seseorang dalam kondisi hypnotic.


Atas dasar itulah, hipnosis barat mengembangkan hipnosis dengan berbagai teknik, diantaranya fiksasi mata, relaksasi, membingungkan dan menyesatkan pikiran. Dengan pola ini, hipnosis dapat terjadi melalui proses penurunan gelombang otak manusia (induksi) dari betha (kondisi sadar) menjadi alpha-theta (di bawah alam sadar). Dalam kondisi otak alpha-theta seperti itulah kondisi individu lebih sugestif untuk dipengaruhi.


Pada praktiknya, hipnosis barat lebih menekankan pada teknik verbal dalam menyugesti kliennya sedangkan hipnosis timur menekankan pada tiga aspek yaitu tatapan mata, gelombang suara, energi yang keluar dari jiwanya.


Karena hipnosis barat cenderung menekankan teknik verbal umumnya teknik ini dilakukan dengan menginduksi klien terlebih dahulu dalam hal penurunan gelombang otaknya. Hingga terkadang si klien sering tertidur dalam kondisi ini. Pada waktu tertidur meskipun setidaknya sadar, disaat begitulah pelaku hipnotis menanamkan script sesuai dengan yang dikendaki.


Hypnotheraphy sebagai Solusi

Sigmund Freud dan banyak pakar psikogi lain menyatakan bahwa pikiran manusia terdiri dari dua hal yaitu pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar yang semula sudah ter-install kian seperti emosi, kepercayaan, dan kebiasaan terkadang sering tidak sejalan dengan pikiran sadar. Ternyata, 88 % pikiran bawah sadar cenderung memengaruhi sikap dan perilaku manusia ketimbang pikiran sadarnya.


Dalam status kegunaannya, hipnosis tetaplah seperti pisau. Mampu digunakan untuk kejahatan namun tetap berfungsi untuk kebaikan. Sugesti yang ditanam kepada klien dapat diubah dalam proses yang lebih variatif. Inilah yang dikembangkan oleh metode hipnosis barat diantaranya hypnotherapy untuk fobia, hypnoselling, hypnobirthing, hypno for quit smoking, hypnomotivasi massal dan masih banyak lainnya.


Namun secara sederhana, sebenarnya kita sendiri mampu melakukan hipnosis untuk hal-hal yang positif terhadap diri dan lingkungan di sekitar kita. Untuk itu, ucapan verbal yang kita punyai akan sangat membantu menanamkan scipt bagi klien yang ada, termasuk diri kita. Maka dari itu, hati-hati dengan ucapan Anda ! Karena script itu akan mengendap dalam alam bawah sadar kita.





Medan, 29 Januari 2009