Senin, 07 September 2009

Sepasang Roh

Sukma

Kebetulan, seusai seorang lelaki tergopoh-gopoh datang ke rumahku sepagi tadi, selepas subuh bahkan belum pun subuh, ada kabar baru yang biasa aku dengar.

“Wak Diyah meninggal, Pak. Tadi malam jam tengah dua belas.” “Oh, ya. Nanti saya siapkan semuanya. Nisannya juga ?” ‘Tak usah, biar anak remaja mesjid saja yang urus.” Lelaki itu segera berlalu.

Tidak ada yang tahu sejak kapan aku mulai suka menanam jenazah. Yang jelas, ketika Abah Syamsul tengah di panggil Tuhan, tiada pula yang setuju diangkat mengganti jabatannya, penggali kubur.

Aku juga tidak sepakat ketika orang-orang menunjukku akan hal itu. Kebetulan ini mufakat para tetua-tetua kampung. Tak enak hati sekiranya membantah, meski halus.

“Kau tu kemanakan almarhum, tak hendak ada yang layak mengganti almarhum selain kau.” “Aku belum semahir abah, Datuk!” “Setidaknya kau paham dasarnya. Mengenai mahir, itu cuma soal kebiasaan.” Sejak itu aku mulai memanggul jabatan pengganti Abah Syamsul. Tidak ada upacara pengangkatan, tidak pula ada semacam wiritan sekedar mengingat bahwa aku sudah dibaiat.

Sejak itu, kemudian aku dikenal orang-orang sebagai penanam jenazah. Sukar diterima akal, sedikit pun saudara-saudara mencoba mengakali hatiku untuk tidak lagi bekerja seperti itu. Tetap saja aku lekas menepis. Meski sebelum tidur, di saat lengang mulai datang rayuan itu mulai pula menggodaku.

Sekiranya itu benar, maka apa kata tetua-tetua kalau aku mangkir. Lagian sejenak kurenung-renung, tidak ada pula pengganti abah kalau aku tidak menanam jenazah lagi.

“Jangan usik kata orang-orang. Mereka memang bisa berkata begitu. Mereka tu cuma bisa becakap. Nanti kalau mereka mati, tetap kau juga diincar-incar, Mul.”

Itu ucap Datuk Parka. Tidak sekali aku datang ke rumah para Datuk sekedar mengejar nasehat. Sekedar mencari bekal, agar aku makin tegak memacul tanah, mengukir liang dan jenazah itu akan betah tinggal di dalamnya.

Apalagi simpang siur soal kabar tak sedap kian berseliweran. Aku dianggap orang yang sama sekali tidak punya kendali untuk mantap mengubur jenazah. Belum pun usai soal gelisahku mengapa tidak mencari kerjaan lain selain itu. Kini bertambah pula ujian baru.

“Tak sah si Mul menanam jenazah sodara-sodara kita. Tak kalian pikir, mana hapal dia ayat Qur'an ? Entah pun, tidaknya pula pandai dia mengaji,” kata yang satu ini.

“Iya, juga. Kutengok tak pernah dia kumpul-kumpul di surau.” Yang satu lagi tambah becakap. “Usah sibuk kali kalian. Yang penting Datuk Parka sudah tunjuk dia melakukan tugas tu.” Malah yang ini membela pula. Nyaris aku gamang.

Sejak semula ini menjadi petaka dalam diriku. Ini pula sebab, kenapa aku berat memikul tugas pengganti Abah Syamsul. Memang menyakitkan bagiku kala gunjingan itu datang menjelma. Selain aku, Mak Nar, istriku sendiri bahkan tidak lagi berani ikut wirit ibu-ibu. Tidak bernyali, hatinya mendengar umpatan ibu-ibu di perwiritan soal kerjaku.

“Awak bingung dengan cakap orang-orang, Bang ! Semua cerita soal Abang terus. Sakit kuping mendengarnya,” kata istriku malam ini.
“Kenapa kau dengar cakap orang tu?”

“Tak awak dengar, terdengar di kuping awak. Macamlah pokoknya !”
Dia makin menggerutu. Aku hanya diam. Sesekali aku menatap foto Abah yang tergantung di ruang tengah.
“Jadi, cemmana bagusnya menurutmu?”
“Awak pun bingung, kalau tidak itu apa pulak kerja Abang. Tidak ada kan?”

“Lagian bukan itu saja, Mak. Aku ingat betul pesan Datuk. Nanti tidak ada yang sanggup menggantikan Abang.”
“Itu soal lain, Bang. Apa pernah Abang ucap dengan Datuk soal ini?”
”Sudah .”
“ Lalu ?”

“Datuk hanya bilang agar abang tetap saja seperti sekarang. Tidak bertukar kerja.” Istriku menghela napas berat. Sambil melipat pakaian yang sudah diangkatnya dari jemuran sore tadi. Dia tidak lagi pernah menyambung cerita soal kerjaku sekarang. Pun sekarang dia mulai memasang sikap kosong ketika orang-orang bicara soal kerjaku.

Berselang itu, aku dan Mak Nar tidak lagi ambil pusing. Semua berjalan dengan sendirinya. Termasuk orang-orang yang tidak henti menggunjingkan kami, hingga taulah aku.

Marji, kepala desa yang juga baru dikenal sebagai imam solat di surau itu sebab asal gunjingan tentangku menggema. Marji diam-diam tidak sepakat Datuk menerimaku sebagai pengganti Abah.

Pasalnya, aku dan Abah berjarak sangat jauh. Soal usia, soal pengalaman apa lagi soal alim tidaknya. Memang, jujur saja kuakui, aku tidak setipe dengan Abah. Nyaris tertinggal jauh. Abah sendiri diangkat menjadi penggali jenazah, bukan sekedar urusan dia petani atau tidak. Justru Abah dikenal santun dan beragama. Hanya satu, aku dan Abah memang masih kuasa terhadap adat. Lanjutnya, cerita punya cerita, Marji ada urusan lain selain gunjingan yang ditanamnya pada orang-orang kampung. Entahlah!

Mungkin saja ada sebab tentang Mak Nar. Urusan cinta memang tidak bisa dilirik sebelah mata. Mak Nar sempat dicinta oleh Marji semasa muda dulu, tapi itu dulu. Aku sempat bingung juga, ketika Mak Nar menerima pinanganku gara-gara aku dekat dengan Abah.

Mungkin benar kata tetua-tetua. Gadis-gadis baik akan memilih pria yang dekat dengan para saudara para Datuk, juga keluarga Abah. Sebutan Abah dan Datuk hanya persoalan nama yang diistimewakan. Bukan tentang derajat, namun lebih dari kesiapan adat.

Orang-orang tua di kampung menganggap keluarga para Datuk dan Abah, lebih dekat kepada Tuhan. Tidak tau aku, benar apa tidak. Yang pasti, aku sendiri termasuk yang dekat dengan Abah, tapi tidak terlalu dekat dengan Tuhan. Hanya biasa-biasa saja!

“Minimal keluarga Datuk tu tak pernah bicara soal yang jahat-jahat. Pastilah, kelak kau akan ajarkan yang baik pula pada anak-anakmu,” Hanya itu selintas pesan yang pernah kudengar dari istri Abah. Meski tak semua keluarga Datuk dan keluarga Abah baik pula. Sepintas mungkin benar. Setidaknya keluarga baik, pasti akan ganjil melakukan tabiat buruk.

Lagi-lagi persoalan lama, Marji menebar isu itu. Tak siap dengan penolakan Mak Nar, hingga kini. Dia pula tak bisa diam. Mungkin sebab itu, dia pasang raut dosa di wajahku agar kelak orang sekampung menudingku yang tidak-tidak. Diharap pula Mak Nar minta cerai dan mau beralih cinta padanya.
Oh, Abah ! Nian hebat ujian ini.

Aku masih mematung di depan foto Abah. Bertanya-tanya soal apakah Abah pernah merasa dihujat seperti ini. Meski hanya seorang penggali kubur, begitu besar petaka menimpa. Padahal upah tak seberapa, menahankan deritanya sungguh luar biasa.

Esoknya, aku menggigil bukan main. Tubuhku ibarat es batu. Membeku. Tidak ada yang bisa digerakkan kecuali napas dan mataku. Mak Nar panik seketika. Diambilnya air hangat bercampur handuk, kemudian di letak pula pada keningku. Ou, itu juga tidak berhasil mereda kebekuan tubuhku. Padahal tadi pagi, kumandang di surau terdengar pula ada jenazah baru.

Aku ingin bangkit. Mak Nar melarang. Bukan karena tidak bisa melainkan aku tak kuasa. Kabar meninggalnya seseorang itu, pasti banyak mengusung para pelayat datang.

Suara pintu diketuk. Seorang lelaki tergopoh-gopoh datang ke rumahku. Dia mengajak Mak Nar bercerita. Tentu menyapaku untuk lekas bersiap-siap, soalnya kalau begini orang-orang akan sibuk mendatangiku.

Mak Nar duduk di sebelahku. Wajahnya lesu seperti tidak berdarah. Matanya lambat bak siput membeban cangkang. Aku bertanya soal siapa yang meninggal, Mak Nar menjawab. Nadanya lirih seperti tempo hari, dia menolak pinangan Marji. Hambar.
Begitu kosong.
Oh,Tuhan ! Dadaku sesak mendengar jawaban Mak Nar. Aku teringat Abah, teringat Datuk juga teringat Marji.
Ah !

Medan, 13 Nopember 2008
(Dimuat di Analisa edisi Minggu, 06 September 2009)

Jumat, 04 September 2009

Istighfar

Sukma

zikir adalah tangis sepasang bayi kembar
di tengah malam yang lembut
tanpa ibu
tanpa air susu
melukai keheningan tak berdarah
namun menusuk hingga ke dasar doa

kepunyaan semesta
sepanjang jalur asma-Mu
rinai hujan, kelopak batu permata, julur ombak
reranting patah, daun yang menggigil
dengus napas petani yang pontang-panting
adalah gemuruh zikir satu-persatu

zikir adalah pendar cahaya lampu teplok
yang dipakai seorang bocah
sambil mengais kata-kata
di angka matematika
atau denyut nilai sejarah yang sempoyongan

maka, bait-bait surga
seumpama kumpulan kaleng bekas
berisi takbir berwarna rukuk
pada lantai mesjid atau sajadah-sajadah lusuh

sehingga tangis sepasang bayi kembar
malam itu
bukan lagi tanpa ibu
melainkan Tuhanku
lebur dalam zikirku


Medan, 27 Agustus 2009

sekumpulan camar terbang rendah

sukma

antara asin air laut dan angin yang berarak
kutemukan sekumpulan camar terbang rendah membelah riak ombak
berbasah pasir yang rapuh diterjang waktu
namun masih ada senja yang bisa kubelah
kuukir namamu di sana
meski tidak tau apakah senja itu sudah terlalu lama untukmu

tapi yang pasti,
pada sekumpulan camar yang terbang rendah
teringat aku pada gelombang anak rambutmu
yang dibelai-belai
padahal waktu itu, kita hanya sesekali melepas pandang
tak lama setelahnya kau larut ditelan riuh ombak
dan kini, hal itu sedari tadi kutunggu
menjala senyummu
lalu kubalas dengan sebungkus senja
yang telah kuiris-iris untuk lekas kau bawa pulang
setelahnya, malam nanti tidurmu tidak akan pernah nyenyak
sebab irisan senja itu akan setia melimbungkan namaku
tepat setelah sekumpulan camar itu
terbang rendah pada laut hatimu

pantai perjuangan, juni 2009

Puing-puing Azan

Oleh : Sukma

telah pecah puing-puing azan
berserakan di lantai masjid yang agung
namun kolong-kolong shaf
masih juga sepi

Medan, Juni 2009