Rabu, 08 Juli 2009

Bahrun dan Kinan

Sukma

Kelas V-A pagi ini sudah terlihat riuh. Anak-anak saling beradu sorak. Ada yang teriak, ada yang menjerit, ada pula yang ha-hi-hu. Mereka meneriaki Bahrun dan Kinan yang saling ejek.

“Kau yang sok paten !” Kata Bahrun lantang
“Kan kamu duluan. Kenapa mengejek papaku, hah ?!” Kinan juga tak mau kalah
“Habisnya, kenapa sepedaku kamu jatuhkan tadi di parkiran ?!”
“Bukan aku yang melakukannya. Kamu aja yang asal tuduh. Uh, dasar Bahrun gendut, jelek, Wekk..!!” Kinan makin mengejek

Sorak anak-anak yang lain makin bertambah pula. Anak perempuan berseteru memojokkan Bahrun. Begitupun sebaliknya, anak lelaki tak mau kalah dengan ejekan dari Kinan dan anak perempuan lainnya.

“Hei, jangan sombong kamu. Mentang-mentang sepedamu lebih bagus dari punyaku, iya ? Awas, nanti kubalas kamu !!”

Tidak lama berselang. Anak-anak yang lain tampak sibuk kembali ke bangku mereka masing-masing. Soalnya, bu guru Murni sudah ada di depan pintu seraya berkacak pinggang.

“Kinan...Bahrun...ada apa ini ? Pagi-pagi kok sudah bertengkar,” suara bu guru Murni meninggi. Seisi kelas kini tampak lengang. “Kalian juga, sudah tau teman bertengkar bukannya melerai. Eh, malah ikut-ikutan.” Sambil bicara begitu, mata bu guru Murni tampak mendelik pula.

Sehabis itu, Kinan dan Bahrun di suruh ke depan untuk menjelaskan apa masalah yang mereka hadapi sehingga bertengkar sebegini riuh. Tampak anak-anak yang lain tak seorangpun mau membantu mereka. Pasalnya, tiada yang berani melihat mata bu guru Murni kala dia sedang marah.

Kinan dan Bahrun memang selalu begitu. Nyaris tiap hari kelas akan tampak ramai dengan perseteruan mereka. Ada-ada saja masalahnya. Mulai dari rebutan penghapus, jajan di kantin, sepeda yang dirusak, hingga apel bendera setiap seninnya.

Kinan memang terbilang orang kaya diantara teman-teman sekelas mereka. Namun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa Kinan memang sedikit sombong. Apa yang dianggapnya tidak benar maka Kinan akan berani mengalahkan siapa saja. Tetapi tidak dengan Bahrun. Anak lelaki yang satu ini kerap tidak pernah takut dengan Kinan. Bisa jadi karena badan Bahrun itu, paling gemuk diantara yang lainnya.

Itu pula sebab kenapa Bahrun disenangi anak lelaki yang lain. Bahrun dianggap penyelamat bagi mereka.

“Kinan itu orangnya sombong sekali, Bu! Beberapa kali sepeda Bahrun dirusaknya,” kata Bahrun pada ibunya malam ini.

Ibu Bahrun yang sedang menjahit sesekali melempar pandang ke arah anaknya yang tampak manyun.

“Bukannya kamu yang selalu mengajak Kinan bertengkar ?” Tanya Ibu Bahrun sinis

“Ah, ibu, kok jadi membela Kinan sih.”
“Tidak, ibu hanya menerka saja,” balas ibunya santai
“Kinan selalu merasa tersaingi dengan model sepedaku, Bu.”
“Oh, ya ?”
“Dia tidak suka melihat sepedaku lebih bagus darinya,” kata Bahrun selanjutnya.

Memang, di sekolah mereka sekarang sepeda Bahrun lah yang paling dikenal modis. Bisa jadi hal itu terjadi karena ayah Bahrun pandai mereperasi sepeda tua menjadi sepeda yang tampil elegan. Itulah yang kini dipakai Bahrun ke sekolah.

Sepeda tua yang dimodifikasi sehinga modelnya tidak kalah bersaing dengan sepeda mini keluaran terbaru milik Kinan.

Tiap kali sepeda itu diletak pada tempat penyimpanan sepeda di belakang sekolah. Selalu saja Kinan mulai mengambil ulah. Sering didapati sepeda Bahrun yang kempes lah bannya, terjatuhlah, miring lah keranjangnya, stang sepedanya yang bengkok. Pokoknya macam-macam. Dan itu pasti kerjaan Kinan.

Tapi dua hari belakangan ini, Kinan mulai banyak diamnya. Dia tidak bertingkah macam-macam lagi.

“Kamu sakit, Kinan ?” Bu guru Murni menanyai Kinan dengan perasaan iba
Kinan menggeleng pelan.
“Lalu, kamu kenapa ? Dua hari ini ibu lihat kamu tidak seperti biasa. Lebih sering murung.”
“Sepeda Kinan rusak, Bu !” Balas Kinan kesal
“Kenapa tidak diperbaiki ?”
“Kinan tidak bisa. Papaku terlalu sibuk. Mama juga. Mereka sering pulang larut malam. Aku sudah bilang pada mereka. Tapi, mereka selalu tidak sempat.”
Bu guru Murni mengelus kepala Kinan pelan seraya membisikkan sesuatu ke telinganya.

“Minta tolong Bahrun saja.”
Kinan mengerutkan dahi. Sepertinya tidak mungkin. Karena nyaris tiap hari Kinan selalu bertengkar dengan Bahrun.
“Kalau kau mau, ayo, ke rumahku saja. Ayahku jago memperbaiki sepeda. Pasti sepedamu akan bagus lagi.” Tiba-tiba suara Bahrun menerobos dari arah belakang.
Ternyata Bahrun sudah sedari tadi mendengar pembicaraan Kinan dan Bu guru tentang sepeda Kinan yang rusak.

“Tuh, Bahrun sudah menawarkan. Ayo, lekas sana !” Kata bu guru menambahi
“Hmm, kamu tidak marah padaku Bahrun ?” Kinan tampak lesu dengan tanya itu.
“Sedikit ! Tapi tak apa, aku senang kok bisa membantumu. Nanti selepas sekolah kita ke rumahku,ya”
“Terima kasih ya, Run !”
“Tapi, janji. Kamu tidak boleh merusak sepedaku lagi. Oke ?!” Bahrun mengangkat telunjuknya sebuah ke arah Kinan.

Melihat itu, bu guru Murni tersenyum haru. Ia meyakini bahwa pertengkaran Kinan dan Bahrun tetaplah pertengkaran. Tidak boleh berujung permusuhan. Dan itu, membuat hati bu guru Murni tampak lega sesaat meliat Kinan dan Bahrun akur kembali.



Medan, 11 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar