Selasa, 14 April 2009

Luka

Oleh : Sukma

Kebetulan saja ketika saya mendengar denting gitar maka meringis-ringis hati saya. Kemudian akan mengalir darah dari telinga, mata, hidung dan mulut saya seketika. Tidak tau mengapa begitu. Terangnya, itu terjadi sejak ayah tidak menyukai saya bermain musik, memetik gitar. Darah itu setia mengalir dari seluruh tubuh saya. Banyak sekali.

Ayah sangat berang kalau mendapati saya duduk-duduk di tepi gubuk hanya untuk memainkan sepucuk lagu. Setelahnya ayah akan datang, kemudian merampas gitar yang waktu itu saya peluk. Saya terkejut. Namun ayah lebih terkejut melihat laku saya begitu lagi.

“Sudah berapa kali kubilang, nanti kau pemalas kalau mainmu bergitar saja !!” Mata ayah merah. Dadanya kulihat naik turun. Tapi gitar saya sudah berpindah ke tangan ayah.

“Rindo tidak lalai dengan tugas, Yah !” Kata saya lemah.

“Kau memang tidak lupa tugasmu, tapi kau tidak dengar perintah ayah, kan ?!”

Saya makin tidak mengerti. Ayah hanya akan melarang saya bermain gitar kalau waktu makan, belajar dan membantunya telah tiba. Usai itu, saya tidak mengapa memeluk gitar. Bersiul-siul dan menari-menari dengan not-not gitar.

Alangkah sepi dada saya sekiranya ayah tidak mengembalikan gitar itu ke pelukan saya. Saya sering melakukan apa saja agar saya bisa memetik gitar itu lagi. Ayah tidak mengerti betapa gitar itu cukup berharga untuk saya.

“Rindo ingin gitar itu, Ayah.” Pinta saya sambil menanam sedih di wajah.
Ayah hanya diam. Mata ayah tidak melihat mata saya.

“Rindo hanya ingin melihatnya saja, Yah. Sebentar saja !”

“Ayah tidak suka kau bermain gitar, Rindo, mengerti !”

“Kenapa, Yah ?”

“Kau masih kanak-kanak. Masih SD saja sudah bertingkah. Tau rupanya lagu-lagu yang kau mainkan itu. Ayah tidak suka kau menyanyikan lagu orang dewasa seperti itu. Paham!”

“Rindo tidak pernah melakukan itu, Yah.”

“Lalu ?”

“Ayah tidak pernah mendengar Rindo bernyanyi, kan ? Rindo rindu dengan emak,Yah. Rindo bernyanyi untuk emak. Bukan seperti lagu yang ayah maksud.”

Wajah ayah berpaling ke arah saya. Tajam. Ada danau yang menggenang di mata ayah. Seketika berpaling lagi wajah ayah. Entah kemana.

“Tidak ! Kau boleh bermain apa saja, asalkan jangan gitar.” Tambah ayah pula

Bukan tidak kesal saya mendengar ucap ayah begitu. Saya hanya bisa berlari ke tepi gubuk. Berdiam diri di sana. Menatap sawah-sawah yang terbentang. Namun tangan saya tidak henti memukul. Apa saja yang bisa saya pukul. Hingga sering meninggalkan nyeri di pergelangan tangan.

Yang pasti, bukan saya marah pada ayah. Saya tidak pernah benci pada ayah. Meski sesekali rasa kesal dengan sifat ayah selalu muncul. Namun jauh dari itu, saya marah dengan diri saya. Saya marah dengan kecintaan saya pada gitar.

Dulu, emak sering menyanyikan saya dengan lagu aneka judul. Saya suka mendengar emak bernyanyi. Emak memang tidak bisa bermain gitar. Emak setia mengajak saya bertemu mimpi kala saya hendak tidur dengan dendang yang menarik hati.

Entah kenapa kini emak lupa pulang. Banyak orang-orang menganggap emak diguna-guna. Emak sering dijumpai orang menari-nari di panggung-panggung. Emak menyanyi pula di sana.

Tapi, saya tidak pernah melihat emak berlaku begitu. Selalu saja saya tertarik ingin berjumpa emak saat ia menari di panggung. Alangkah berembun hati saya kalau saat begitu dapat bertemu dengan emak. Selanjutnya emak bernyanyi di atas panggung dan lagu yang dinyanyikan emak itu dihadiahkan untuk saya.

Ingin rasa, ingin setia
Membalur cahaya di semenanjung cinta
Kau hadir, kita hadir
Memeluk hujan sepanjang petang
Atau,
Berkejaran dengan bayang-bayang mentari...


Ah, sungguh ! Saya ingin melihat emak menyanyikan syair itu lagi.

Hanya saja, ayah tidak pernah jujur berkata itu kepada saya. Ayah selalu berkata bahwa emak sudah dijemput tuhan. Emak sudah tiada, Ran ! Itu selalu ucap ayah.

Sering saya bingung menerka kata-kata itu. Ucap siapa yang musti saya akui. Kata-kata siapa yang seharusnya saya percayai. Saya menggeleng dalam. Saya tidak tau.

Kata siapapun itu, yang penting saya ingin bertemu emak. Maka gitar lah, yang membikin saya bisa bertemu dengan emak. Saya serasa dipeluk emak kala saya bernyanyi. Kala saya memetik senar gitar.

Padahal saya akui, saya pun tidak lihai memaknai apa itu sumbang, apa itu cempreng. Hanya yang saya bisa, itu yang saya petik. Namun tatkala ayah merampas gitar saya, saya makin jauh dari emak. Sejak itu saya sering mengeluarkan darah.

Darah itu yang kemudian membanjiri seluruh kamar saya hingga ke kamar mandi, ke kasur-kasur dan ke gubuk dimana dulu saya dan emak sering melepas rindu.

“Rando ingin gitar itu, Tuhan, biar emak lekas datang,” itu doa saya kalau saya begitu merindu emak. “Kalau emak dengar, ajak emak pulang, ya Tuhan ! Rando ingin mendengar emak bernyanyi lagi. Sebait pun jadi !”

Saya tidak pernah menangis kalau saya tengah berdoa. Paling-paling doa itu yang saya rasa sering menitis air mata. Doa laksana manusia. Menurut pikir saya, cuma doa yang bisa menangis karena doa begitu paham, apakah itu akan terkabul atau malah hanya sia-sia saja.

Tapi emak, tidak pernah mengabari saya untuk kita tiada pernah berhenti berdoa.

“Kalau kau berhenti berdoa, Nak, maka emak lah yang akan menangis. Tentu kau lebih sedih melihat emak menangis, bukan ?” Emak membilang itu saat saya pulang dari surau terlalu cepat.

Itu saja. Saya tidak pernah melihat emak menangis. Saya tidak pernah melihat emak terluka dibuat hidup yang serba kering. Emak selalu berjanji akan melihat saya kalau-kalau suatu hari nanti saya lihai memeluk gitar.

“Tubuh Rando masih terlalu kecil. Nanti kalau sudah gede, barulah !”

“Emak kan menunggu Rando besar, kan ?” Kata saya waktu itu

“Pasti, Nak. Ibu mana yang tidak ingin melihat anaknya lekas besar. Apalagi mahir bermain gitar.”

“Rando janji, Mak, kalau Rando sudah bisa memeluk gitar, Rando ingin mengajak emak bernyanyi lagi untuk Rando.”

“Itu pasti, Nak !”

Hanya saja, setelah tak lama emak berucap begitu tiba-tiba saja ia menghilang. Tiada tau dimana berada. Ayah mulai berhamburan emosinya kala itu. Entah berkalung apa dadanya. Sering bertabur anak duri di mata ayah kalau saya melihatnya. Menyakitkan.
Padahal jauh-jauh hari saya amat tau, kalau ayah pun sangat lihai memetik gitar. Ayah pecandu gitar berat. Itu pula gitar yang dari dulu ayah dan emak bawakan untuk menguras berbait-bait lagu.

Kini pula kepiawaian ayah tiada kunjung saya temui lagi. Ayah mulai tidak kuasa membendung amarah kalau-kalau saya memeluk gitar. Mungkin saja ayah rindu pula dengan emak ? Mungkin pula denting gitar ibarat jarum-jarum runcing yang menikam ulu hatinya sesaat mendengar gitar itu saya petik ?

Mungkin saja !

Alangkah tidak bisa saya katakan pada emak kalau tangan saya kini sudah bisa menggapai batang gitar. Emak akan sangat senang melihat itu. Dan ayah, akan sering dikepung derita menyaksikan saya bermain gitar lagi.

Tapi apa yang saya buat, sekiranya saya membantah ayah maka ayah akan dihajar kesumat yang bergulung-gulung di matanya. Saya takut melihat ayah begitu.
Hingga sampai disuatu malam saya dikagetkan dengan sesuatu. Malam itu gitar saya ada yang memetik. Hati saya meringis. Saya bangkit dari kasur. Beranjak ke sebuah tempat. Dimana ada suara denting gitar dipetik. Saya segera mengarah ke muasal suara itu.

Tanya-tanya dalam hati terus bertabuh. Adakah ayah yang melakukan itu ? Atau emak memang telah pulang karena rindu dengan saya lantas memainkan sepucuk lagu untuk saya ? Saya seperti mimpi.

Lantas sangka saya ternyata benar. Ayah menyalakan gitar itu merdu sekali. Sepenggal lagu tentang emak tengah ayah bawakan. Suara ayah mendayu-dayu. Saya hanya mengintip dari bingkai pintu. Ayah duduk di sebuah bangku panjang di bawah pohon. Ayah makin berpekik melantunkan lagu.

Kasihan, ayah pasti rindu dengan emak !” Desis saya dalam

Suara ayah makin bertumbangan. Emosinya meluap-luap. Ayah berdiri. Menghentikan lagu itu seketika. Kemudian melakukan sesuatu di luar kiraan saya. Ayah menghantamkan badan gitar ke sudut bangku berulang kali. Benar, berulang kali.
Saya terbelalak. Ayah makin menjadi-jadi. Tangis ayah berderai-derai pula. Tapi gitar saya ! Ah, mengapa ayah lakukan itu ? Ayah kenapa ?

Semula saya sangat ingin berlari ke arah ayah. Merampas gitar itu segera. Tapi saya tidak sanggup. Saya hanya diam saja di bingkai pintu. Hebatnya, menyaksikan itu saya tidak menangis. Saya hanya merasakan tiba-tiba darah saya menetes lagi. Mulai dari telinga, mata, hidung dan mulut saya.

“Oh, tidak. Ayah jangan rusak gitar itu, jangan ayah !”

Itu kata-kata terakhir saya.



Medan, 12 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar