Senin, 23 Maret 2009

Saimah

Oleh : Sukma


Sangka orang-orang dia gadis yang cantik. Wajahnya bulat, kulitnya putih, tingginya semampai. Saimah namanya. Kalau keluar dari bilik rumah, tiada lupa Saimah memanggul selendang. Para lelaki akan setia melempar senyum ke arah Saimah kalau ia hendak berbelanja, menjemur kain atau menyiram anggrek.

Selain berbaju kurung, Saimah pula ramah melempar senyum. Tapi salah, aku pikir ia bukan gadis yang cantik, bahkan Saimah sangat cantik bagiku. Hmm, apalagi saat menyiram anggrek. Duh, aku paling suka saat itu. Saimah pasti berselendang hijau. Ujung selendangnya disimpul kecil. Berjuntai sedikit ke arah belakang. Dan Saimah, akan melepas senyum kala aku menyaksikan itu.

Kala pagi, kala itu aku sering mendapati Saimah melakukan hal yang biasa bagi anak gadis seusianya. Saat aku hendak berangkat kerja, saat itu juga belum sempurna hariku kalau belum melihat Saimah tersenyum.

Saimah memang sudah tidak lagi berangkat sekolah. Usai berijazah Aliyah, Saimah tidak punya nyali melanjut kuliah. Bapak-emaknya sudah tiada. Namun Saimah tidak tinggal sendiri, ada Puji dan Dura, abang-kakak Saimah.

Hanya saja, sejak bapak-emak Saimah sudah mendekam kubur, para lelaki kampung smulai sering bersuit-suit di depan Saimah. Mungkin itu yang membikin Dura, abangnya yang pertama, sering berang kalau Saimah menyambut tingkah pola para lelaki yang berbuat begitu.

Saimah sering pula kesal pada Dura. Karena Saimah, paling tidak suka dilarang-larang. Pasalnya, bukan perihal larangan itu, tapi cara Dura melarang kerap membikin Saimah sering menabung kesal.

Belum lagi kata tetangga-tetangga, Saimah tak boleh kuliah sekalau belum menikah dirinya.

“Tak boleh Saimah dekat-dekat dengan pria, apalagi macam kau, Sin ?” Seorang tetangga bernama Mak Kar, pernah berucap itu padaku.

“Kenapa pula ?” Tanyaku

“Sebab kau tak kuliah. Kerjamu cuma pedagang biasa. Mana mungkin si Dura mau mengawinkan kau dengan Saimah ?”

“Ah, sampai separah itu, Mak ?!”

“Ya, memang begitulah. Tak percaya, coba saja !” Kata Mak Kar selanjutnya.

Setelah selenting berita itu aku dapat, Saimah memang sudah sepi dari mesjid kampung. Sering aku dapati Saimah hanya berdiam diri saja di dalam rumah. Paling-paling kalau pagi hari, Saimah akan setia aku jumpai saat menyiram anggrek, menjemur pakaian dan pergi ke pasar.

***
Berselang hari-hari berikutnya, Saimah tidak lagi tampak ujung selendangnya. Saimah mulai jarang aku temui. Padahal terakhir aku jumpai wajah Saimah, saat itu pula si Puga memboncengnya sehabis berbelanja dari pasar.

Benci nian hatiku melihat Saimah begitu. Belum lagi hendak pegang-pagang tangan Saimah oleh Puga. Maka sekejap pula wajahku berubah neraka. Mata Saimah lekat aku pandang. Tapi Saimah tak pula membalas. Tunduk pula selendang di kepala menutupi wajah takut Saimah.

Mungkin, sejak itu Saimah tak berani keluar rumah lagi. Tapi aku mafhum, Saimah dan aku bukan apa-apa. Tapi kalau aku dibingkai amarah, Saimah akan segera bertatap tunduk.

Itulah !

Saimah kerap budi bahasanya kukenal dari kecil. Masih remaja usia Saimah, sering ia mengaji bersamaku di rumah Datuk Muin. Tapi Datuk tau kalau mengajiku lebih baik dari Saimah. Maka pelan-pelan Datuk menyuruhku mengajar Saimah sendiri.

Begitu sikap Datuk kalau menganggap santri yang cukup matang. Ia segera menawarkan aku sebagai walinya pada santri yang lain. Termasuk pula pada Saimah, santri pertama yang aku ajar.

Sebenarnya aku tek tega melakukan itu dulu. Namun wajah Datuk akan berubah merah kalau aku membangkang. Mungkin bukan tak mau aku menurut perintah Datuk. Tapi wajah Saimah kala itu, wajah bintang malam, wajah yang lagi ranum. Sering tak karuan mengajinya kalau menatap wajah Saimah lekat-lekat.

Hanya pada wajahku yang merah, mataku yang tajam dan ucapku yang tinggi, Saimah akan segera disunting takut. Oleh karena itu, Saimah paham bagaimana aku marah. Sering Saimah melipat muka kalau aku sudah bertingkah begitu.

Untung saja, perilaku Saimah dibonceng Puga tidak lagi aku temui. Bahkan sekarang Saimah pun jarang keluar rumah. Dan itu yang membikinku ditabung banyak luka.
Saimah mulai tidak berhasrat menanam senyum lagi di hatiku. Saat pagi hari, ketika menyiram anggrek, dan menjemur pakaian maka hariku akan langsung bermakna kering.

Maka setelah hal itu berlanjut, aku mulai rajin datang ke rumah Saimah. Berjumpa dirinya, berharap tau kabar cerita Saimah. Untungnya Dura tidak pernah merasa curiga dengan apa-apa yang aku buat tentang adiknya itu.

Sapa hangat selalu saja membikin hati tentram saat aku datang. Terhidang pula macam cemilan ketika aku tiba di pinggang rumah. Dan Saimah akan langsung keluar dari bilik kamar. Membawa wajah muram, sedih dan pucat dari hatinya. Aku pikir Saimah masih saja mengingat hal yang kemarin itu.

“Bicaralah kalian. Aku tinggal ke dalam dulu,” tutur Dura saat Saimah sudah duduk di hadapanku.

Kulihat Saimah masih bersikap beku. Matanya takut. Tangannya di remas-remas. Selendangnya berkali-kali disingkap. Jatuh berjuntai. Namun belasan menit awal, aku dan Saimah tidak becakap apa-apa. Itu pula yang membuat aku kikuk.

“Kalau Saimah tak mau bertemu dengan abang. Tak apalah, abang pulang saja,” usulku bingung

“Tunggu !”

“Saimah masih marah pada abang, kan?” Kataku selanjutnya

“Tidak, Bang. Saimah malu pada abang. Kalau Datuk tau, pasti ia juga marah melihat Saimah berbonceng dangan Puga,” kata Saimah masih menunduk. Diremas pula kini ujung selendangnya. “Saimah minta maaf, Bang !”

“Sudahlah, jangan diingat lagi. Sudah lama abang tidak melihat Saimah. Abang kemari khawatir kalau-kalau kau sakit.”

Saimah tersenyum. Matanya bercahaya. Bintang-bintang serasa turun di hatiku melihat tampang rupa Saimah berbinar itu. Dan esoknya, kulihat Saimah mulai menjemur pakaian lagi, menyiram anggrek dan pergi berbelanja sendiri.

Aku tau, tiap malam sabtu, Saimah mulai rajin datang ke pengajian putri di dalam mesjid. Masih saja seperti dulu, masjid langsung berkilau surga kala Saimah datang bertandang.

Sepulang mengaji, serombongan putra-putri jalan berbarengan. Saling antar-mengantar pulang. Saling bertukar cerita. Aku dan beberapa rekan lelaki beramai-ramai mengantar para anak-anak putri ke depan rumah, serupa pula dengan Saimah.

Sejak itu, aku dan Saimah makin pintar bertukar senyum. Makin lain hatiku melihat senyum Saimah belakangan ini. Maka itu juga yang mengantarku rajin membawakan martabak, roti tawar manis atau sekedar apem balik biasa.

Ah, aku makin tak lihai menata hati. Melihat Saimah lama-lama, bisa tak nyenyak terus tidur malamku. Sesering itulah aku kumpul enerji, datang ke hadapan Dura. Berharap aku sanggup mengacungkan ide kalau aku....

“...Ingin mengajak Saimah naik pelaminan.”

Dura menatapku tajam. Sontak duduknya makin mendekat ke arahku. Ditepuk-tepuk pula pundakku.

“Kau tidak kuliah, Sin. Aku mau melihat Saimah kuliah. Bukan untuk kawin !!” Kata Dura tegas

“Aku akan setia mengantarnya pergi kuliah, Bang.”

“Tiap hari ?”

“Benar !”

“Ah, tidak mungkin. “

“Kenapa ? Tidak percaya abang denganku ?” Suaraku meninggi, alisku juga meninggi
“Bukan, tidak begitu maksudku. Yang kurisaukan, apa mau Saimah diantar kuliah denganmu ?”

Waktu si Dur bicara begitu, mendongak pula wajah Saimah. Matanya lekat-lekat ke arahku. Berlompat pandang ke wajah si Dur pula.

“Kau bagaimana, Mah ?” Tanya si Dur langsung

“Kuliah memang penting, Bang. Tapi menerima pinangan lelaki baik-baik, itu jauh lebih penting menurutku.” Kulihat berbinar jua mata Saimah

Maka, selintas Saimah berucap begitu. Entah apa, aku ingin pagi segera datang. Melihat Saimah menjemur kain, menyiram anggrek sambil melempar senyum ke arahku. Maka aku pun akan berani mengedipkan sebelah mataku ke arahnya.

Entahlah !



Medan, 3 Maret 2009

Tulisan ini pernah dimuat di harian MEDANBISNIS edisi Minggu, 15 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar