Minggu, 08 Maret 2009

Sungkem

Oleh : Sukma



“Kapan akan pulang, Mas ?” Nada suaraku sedikit mendesak

“Belum tau, Nom ! Kemarin si Bos nawarin kerja tambahan pas mau lebaran nanti,”

“Jadi, tidak sempat pulang ?!” Tanyaku makin menjurus

“Oh, jangan kuatir, aku tetap pulang bahkan sangat ingin,”


Ada yang mencekik di leher suaraku. Aku diam. Hening pembicaraan sekejap.


“Bagaimana kabar Nadin ? Masih suka menjerit-jerit dia ? Sudah pandai apa lagi dia ?..”

Masih terdengar suara tegas suamiku di ujung sana. Ia seperti memutar isi cerita.


“Nom, kau masih di situ ?”


“I-iya, Mas. Aku mendengar suaramu.”

“Kau menangis ?”


Mas Wira masih tanggap dengan urusan yang satu ini, soal tangisan aku memang tidak bisa sembunyikan darinya. Meski nyaris enam bulan sudah ia tidak lagi singgah ke alamat rumah. Namun tak alpa juga Mas Wira menerka seberapa deras air mataku mengalir. Yang kuingat, sebelum berangkat ke Batam lalu, disitu terakhir ia usap air mataku dengan telapak tangannya.


“Tersenyumlah, Nom ! Aku butuh senyummu sekarang. Aku pun sudah sangat rindu denganmu. Aku janji, aku akan lekas pulang. Nanti akan kubawakan manisan kesukaan untukmu, ya.”

Pembicaraan siang itu usai. Aku terus digerus sedih, rindu dan gelisah yang mendalam hingga membuatku tak tentram rasa. Disaat begini, air mata tentunya menjadi sahabat yang paling setia. Apalagi setelah Nadin, anak perempuanku yang pertama, mulai tidur. Lamat-lamat sepi yang tertabung dalam angan-anganku pasti mengail-ngail lagi.


Sehabis mengantarkan Nadin bertemu mimpinya, aku beranjak ke ruang tengah. Mengambil fotoku, Nadin dan Mas Wira yang tergeletak di atas lemari seukuran pinggang. Nyaris kalau sudah begini, aku seperti lupa dengan wajah suamiku. Wajah yang lima tahun silam menikahiku, berjanji untuk setia. Apalagi dulu ketika ayah mulai tidak menyukai Mas Wira saat ia mulai rajin berkunjung ke rumah keluargaku. Ayah sontak mencak-mencak.


Maklum saja, aku memang anak perempuan satu-satunya. Entah mungkin karena itu, aku kerap ditawan oleh ayah. Hampir diterali peraturan yang amat ketat. Tidak boleh sembarang berkawan, apalagi dengan lelaki !


Lain ayah, lain pula ibu. Ibu sendiri sejak 20 tahun usiaku, ia malah sibuk mendekatkan aku dengan anak-anak Bude Ratmi, Pakde Jar, dan Mang Dur. Semuanya sibuk ibu data, mengajakku ke acara keluarga mereka, memenuhi undangan mereka. Dan herannya, ibu begitu mesem-mesem sumringah saat mengenalkanku dengan putra-putra mereka.


“Hmm, Ratmi mana anakmu, si Jaka ? Ini Anom mau ketemu, katanya mau ngobrol-ngobrol. Biasalah, anak lajang !”


Ahai, ibu !


Aku bingung sendiri. Ada yang lain dari gelagat ibu, padahal sejak di rumah, ibu tak pernah cerita apa-apa. Bahkan untuk kunjung-mengunjung begini. Duh, ibu ternyata punya seribu rencana. Sebagai anak perempuan, aku menyerah saja. Patuh. Takut dikira melawan.

Padahal, anak Bude Ratmi, Pakde Jar, dan Mang Dur nyaris semuanya masih pada kuliah. Apalagi Jaka, SMA saja belum kelar.


Begitupun soal Mas Wira, ayah dan ibu tetap tak berpihak. Memang kedatangan Mas Wira sering tak dianggap halal oleh kedua orangtuaku. Kerap mereka menganggap Mas Wira bukan orang berpendidikan dan ningrat seperti aku.


Tapi bukan itu yang membuatku menabung suka dengan Mas Wira. Lain hal, aku suka dengan kewibawaannya, cara bicaranya yang bijaksana, serta keberaniannya pula. Meski berulang-kali tidak bersipaham dengan ayah kalau Mas Wira datang bertandang, ia tidak pernah surut untuk menjengukku dan mengatakan satu hal yang paling membuatku berputar-putar di hembus angin.


“Makin ayahmu melarang, justru itu yang kian membuatku suka datang kesini, Nom.”

Juga saat aku dimarah ayah, Mas Wira malah menyatakan dirinya siap menikahiku. Ayah seperti mendengar halilintar yang mencakar telinganya, membakar dadanya dan menghanguskan seluruh darahnya.


“Jangan kau kira saya menerima pintamu itu, hah ?! Sontoloyo, tidak kuusir saja kau semestinya sudah bersyukur. Dasar gemblong !!”


“Tapi, Pak. Saya sungguh-sungguh !!”


“Sungguh-sungguh apa ?! Mau membuat anakku sengsara, iya ?! Kerjamu saja luntang-lantung, ndak jelas begitu. Apa yang bisa kamu banggakan ?”


Saat-saat begitu aku hanya bisa menangis. Menatap liar mata ayah seperti menatap mata iblis yang mengelegakkan bara nereka di dalamnya. Sesekali mata Mas Wira juga memerah, tapi berbeda dengan tatapannya. Aku seperti begitu tentram melihat seraut wajahnya yang sayu ketika itu.


“Saya punya semangat, Pak ! Semangat itu yang akan membuat saya tak henti mencintai putri bapak, Anom…”


“Semangat saja tidak cukup, tau !”


“Tapi…”


Oh, Mas Wira !


Ia membara membelaku. Aku makin kagum. Ini pula yang makin membedakan ia dengan lelaki-lelaki yang pernah ibu kenalkan padaku. Tidak ada yang seberani ini, setangguh ini dan setegar Mas Wira.


***


Belum juga tamat mendung yang menggantung di mataku. Kadang petirnya memecahkan bulir-bulir air yang membebaninya. Kadang pun masih mengundang untuk mendung yang berikutnya. Alai, ini semua karna Mas Wira !


Foto itu masih di tanganku. Kubelai wajahnya yang persegi itu, senyum khasnya, barisan giginya, terang tatapan matanya. Aduh, indah nian kalau Mas Wira bisa pulang lebaran ini.

Maka, siapa lagi yang paling senang dibuatkan pecal pedas bercampur sate kalau sudah lebaran tiba, siapa lagi yang paling gemar mengemil peyek dan lumpia selain Mas Wira, siapa juga yang khatam merangkai ujung jilbabku hingga indah di dasar kepala saat berangkat solat Ied ke mesjid. Sungguh, cuma itu yang tidak sanggup aku mengenangnya.


Hingga beberapa hari menjelang lebaran. Kabar Mas Wira tak juga kudengar sampai ke telinga. Aku pun tak tau harus menelpon kemana. Sempat beberapa kali aku menghubunginya, Mas Wira berpindah ke tempat kerja yang baru. Sudah sama bos lain, kata temannya. Tapi biasanya, setiap sepekan sekali ia pasti menghubungiku. Namun ini sudah empat pekan berlalu, Mas Wira tak kunjung memberi kabar.


Aku kembali mengutik ucapan terakhir Mas Wira, ia mungkin tak sempat pulang lebaran ini. Tapi mungkinkah Mas Wira tak menyempatkan diri untuk pulang ? Benarkah ia tidak rindu dengan aku dan Nadin di hari penting begini ?


Meski beberapa kali kiriman uang dan paket lebaran tidak alpa Mas Wira mengirimnya tapi justru lain dari itu, aku sungguh butuh kehadirannya. Aku ingin kita merayakan lebaran bersama, berziarah ke makam ayah bersama Nadin, bertandang ke rumah ibu sambil menenteng ketupat dan panganan lainnya. Tapi kenapa Mas Wira tak juga menyempatkan pulang ? Apa Mas Wira sedang sakit ? Sedang kena musibah ? Tertangkap pihak polisi di pelabuhan seperti waktu silam ? Atau, ada perempuan lain yang kini menemaninya ?


Ya, Tuhan ! Riak gelombang seperti apa yang menerjang pikiranku ini. Tiba-tiba saja seperti ada awan yang menimpaku, gelondongan kayu besar yang datang menggilasku. Tidak mungkin ! Mas Wira pasti baik-baik saja.


Segera kusingkap mukena yang tersangkut dipinggir pintu. Aku dan Nadin segera beranjak hendak menunaikan solat Ied tanpa Mas Wira. Beriring derai tangis yang berjatuhan di pipi, bersama pekik takbir, orang-orang sekeliling berhamburan hendak menuju fitri. Semua berbusana rapi, beriring berjalan satu keluarga. Aku mengenang Mas Wira yang tahun kemarin masih bersamaku pergi ke mesjid pagi-pagi begini.


Begitupun sampai solat usai, aku tetap tak mendengar kabar dari Mas Wira. Setengah hari duduk di depan telepon sudah pun aku lakukan sekedar menunggu dering darinya.

Nadin sudah berbaju baru, aku pun sama. Menunggu Mas Wira datang, memungut tangannya dan bersungkem panjang di punggung tangannya. Tapi Mas Wira kerap tak juga mengetuk pintu, memberi kejutan seperti yang sudah-sudah.


“Kalau belum sungkem dengan suami maka jangan dulu sungkem ke yang lain, ya Nom!”

Itu pesan yang pernah diucap Mas Wira. Duhai Allah ! Aku begitu mengkhawatirkan kabar suamiku. Apa yang dilakukannya sekarang ? Mengapa ia juga tak rindu pulang ke rumah ?


“Kita kok tidak ke rumah nenek, Bu ?” Aku kembali menyeka air mata sambil mendengar Nadin bertanya.


“Iya, kita tunggu ayah pulang dulu, ya.”


Nadin mulai heran. Seperti ada yang menjerat pikirannya. Tidak biasanya wajah Nadin berubah begitu panik seperti sekarang.


“Jam berapa ayah pulang ?”


Aku berpaling, mencoba menghindari matanya yang lembut itu. Mata yang penuh kepolosan dan mata, ai, itu jelas mata Mas Wira.


“Sabarlah, pakai dulu jilbab barumu ! Kita tunggu saja, sebentar lagi ayah pulang.”


“Ayolah, Bu ! Aku mau ke rumah nenek,” rengeknya mulai membuatku gerah. Nadin mulai jingkrak-jingkrak. Jilbabnya dihempas, ia ngelesot berhamburan di lantai, rambutnya mulai kusut, wajahnya ditekuk, ada serat amarah yang membingkai dadanya, tidak lagi terlihat Nadin yang manis rupanya.


Justru ini yang tempo hari ditanya Mas Wira. Prilaku nakalnya yang suka mengulah kalau tak berwujud pintanya, suka menjerit dan jingkrak-jingkrak.


“Eh, jangan begitu. Kalau tau ayah, nanti Nadin kena marah !” Aku mengingatkannya.


“Tidak ! Ayo, ke rumah nenek !”


Alah, ini yang makin tak enak hati aku membujuknya. Ia kalau merajuk begini cuma Mas Wira yang sanggup menundukkannya. Mendung di mataku kembali bergelantung. Seperti ada petir yang tak lama lagi akan mengundang hujan di mataku.


Mas Wira, datanglah ! Lihat, Nadin mengamuk lagi, hatiku bergetar.


Medan, 03 Oktober 2008


Dimuat di harian ANALISA, pada Minggu, 8 Maret 2009

2 komentar: