Minggu, 15 Maret 2009

Sastrawan Memosisikan Diri Sebagai Dai, Kenapa Tidak ?

Oleh : Sukma


Apakah beda antara sastrawan dengan dai, ulama atau dengan ustadz ?


Kiranya itu pertanyaan yang sangat menarik untuk dijawab. Ya, tentu kalau diamati secara sepintas barangkali keduanya memiliki status yang berbeda. Namun dalam tulisan Helvi Tiana Rosa yang berjudul Lagi, Soal Sastra Islam bahwa keduanya kerap tidak memiliki perbedaan signifikan.


Lahirnya seorang sastrawan pastilah diawali dengan sebuah proses dimana individu tersebut menekuni, memahami, mempelajari dan mengaplikasikan sastra sebagai jalan hidupnya. Hanya saja persoalannya, apakah sastrawan tersebut merasa perlu untuk mengkaji ulang nilai-nilai sastra yang ditulisnya dalam tiap karyanya tersebut ?


Tentu pengkajian ulang terhadap nilai-nilai sastra tersebut bukanlah dimaknai sebagai proses pembelajaran dalam hal tekni penyajian cerita semata. Melainkan bagaimana ruh sastra yang dibubuhkan dalam tiap karya haruslah benar-benar nyata, hidup dan ada dalam diri individu tersebut.


Walaupun secara konsep hal ini tidak menjadi sebuah keharusan. Akan tetapi, bisa jadi ini pula yang menjadi titik perbedaan secara jelas antara sastrawan dan dai. Dai dituntut menyampaikan, melakukan dan berpikir secara kontekstual pemahaman keagamaannya. Ritual kedaiannya haruslah senantiasa hidup menjadi sebuah aktifitas kerohanian yang utuh.


Hal ini yang semestinya menjadi sebuah keharusan menjadikan dai haruslah tampil sempurna. Walau setiap kita meyakini proses kesempurnaan tetap ada pada siapa saja dan kesempurnaan secara menyeluruh tiada pernah kita dapati.


Nyaris tiada berbeda dengan kegiatan bersastranya para sastrawan. Harun Daud pernah menyampaikan bahwa tujuan kesusasteraan adalah untuk mendidik dan membantu manusia ke arah pencapaian ilmu yang menyelamatkan, bukan untuk membentuk manusia yang spekulatif.


Sementara tujuan dai tercipta sebagai penyampai dakwah. Secara jelasnya dakwah tentu diartikan sebagai bentuk kegiatan penyeruan kepada orang banyak tentang nilai-nilai kebenaran ilahiah.


Sastra Dai, Sastra Islam

Dalam konteks ini (mungkin) dai dan sastrawan akan ditemukan pada satu titik. Walau polemik tentang sastra Islam hingga kini tetap saja tidak pernah berujung. Belum lagi secara definisi sastra Islam sejauh ini tidak memiliki standar pemaknaan yang cukup jelas. Helvi juga menjelaskan bahwa polemik sastra Islam bukan hanya pada definisi belaka melainkan lebih kepada ketidak-setujuan mengenai apa yang disebut sebagai ‘pengotak-otakan sastra’.


Letak sastrawan dan dai dalam pembahasan kali ini akan semakin kita perjelas. Namun Abdul Hadi W.M. Dalam sebuah seminar tentang sastra profetik yang menghadirkan Suminto A. Sayuti, Helvi dan Kuntowijoyo sebagai pembicara ada Mei 2000 lalu di Yogya, mengatakan bahwa sastra Islam itu ada, bahkan eksis. “Sastra Hindu aja ada, mengapa sastra Islam tak ada ?” katanya.


Maka peletakan mana sastrawan dan dai sudah harus semakin dikarekterkan. Dai yang secara prinsip mengambil ranah penyampaian kebenaran lewat praktik-praktik, ritual-ritual serta aneka tabligh yang dikelola secara baik dan sistematis lewat majelis yang telah jelas tempatnya. Begitu pula dengan sastrawan, bentuk kegiatan bersastra yang dikelola kerap selalu dipisahkan dengan kegiatan bertabligh yang diampu oleh para ulama dan dai itu sendiri.


Hanya saja dalam pembahasan kali ini saya tidak bermaskud membeda-bedakan mana profesi ulama (dai) dan mana kegiatan bersastranya para sastrawan. Berangkat dari tulisan Helvi T. Rosa sebagai pendiri Forum Lingkar Pena, sebuah wadah kaderisasai penulis muda Indonesia, yang berusaha terus-menerus untuk menciptakan iklim penulis (sastrawan) yang berlabel ulama.


Karena dalam konteks Islam, semua yang dilakukan seorang muslim sudah seharusnya merupakan manifestasi dari bagaimana aktifitas hidupnya tidak lekang dari ibadah kepada Tuhannya.

Inilah yang kemudian merasuk dalam kehidupan bersastranya setiap muslim. Menurut Shauqi Dhaif, sastra (adab) adalah karya yang dapat membentuk ke arah kesempurnaan kemanusiaan yang di dalamnya terkandung ciri estetika dan kebenaran.


Kebenaran yang dikemas dai sebenarnya selalu berwajah kembar dengan kebenaran yang disampaikan kaum sastrawan. Proses tampilan, teknis dan muatannya saja yang berbeda.

Inilah yang kemudian menuntut siapa saja, baik itu dai dan sasrawan, tidak perlu repot-repot menterjemahkan proses kreatif menyampaikan kebenaran secara teknis.


Membeda-bedakan antara ranah sastarawan dan dai inilah yang menuntut kita pada sebuah gerbang bernama perpecahan. Islam sebagai agama kebenaran selalu mengajarkan keuniversalan dalam hal pemaknaan aplikasi di kehidupan nyata.


Meski menurut Helvi dalam sebuah esainya, Lagi, Soal Sastra Islam¸ menganggap bahwa sastra Islam berbeda dengan sastra yang bersumberkan Islam. Jelas, dalam karyanya selalu saja selain tampilan dakwah yang diusung dalam tema tulisannya, jauh dari itu sastrawan tersebut harus Islam dan benar-benar memahami kontekstual Islam secara utuh.


Arahan dai dan sastrawan dalam tulisan ini memang dituju pada mereka yang masih sungkan meneruskan karyanya pada genre sastra Islam yang sejak masa Amir Hamzah telah dimulai. Sebagaimana Buya Hamka, seorang ulama dan sastrawan yang sekaligus membingkai nilai dakwah dalam tatanan yang seiring sejalan.


Keberadaan Buya Hamka telah menjadikan wacana baru bagi kita bahwa dakwahnya seorang sastrawan adalah ruhnya sebagian para dai di dalamnya. Maka, bersyukurlah kita yang saat ini tengah menjalani proses keduanya.


Karena sastra dan dakwah adalah serangkaian nilai-nilai luhur yang secara berbarengan menjadi sarana untuk perbaikan moral masyarakat ke depannya.


Semoga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar