Minggu, 15 Maret 2009

Menyimak Cleopatra Buatan Kang Abik

Oleh : Sukma


Pudarnya Pesona Cleopatra, inilah karya keempat Habiburrahman El-Shirazy sebelum Ayat-Ayat Cinta meledak di pasaran. Karyanya ini diterbitkan oleh Penerbit Republika pada Nopember 2005 lalu. Kang Abik, begitu beliau biasa disapa, sangat luwes menyajikan fakta dalam dunia rekaannya kali ini. Setelah beberapa buku kumpulan kisah islami penyejuk jiwanya berhasil menembus angka best seller dalam proses penjualannya. Sebut saja bukunya yang berjudul Bercinta Untuk Surga (terbitan Grenada Busur Budaya, Jogjakarta 2003), Di atas Sajadah Cinta (Basmala Press, Semarang 2004), Ketika Cinta Berbuah Surga (MQ Publishing, Mei-Bandung 2005).

Kang Abik memang terkenal dengan ikon “Cinta” dalam tiap judul yang ia bubuhkan. Bisa jadi, ini yang membuat tiap karyanya begitu menggoda. Bukan hanya membius kalangan anak muda, ibu rumah tangga, pekerja kantoran, hingga para ulama juga turut menikmati suguhan demi suguhan karyanya.

Hebatnya pula, Pudarnya Pesona Cleopatra juga mampu menyamai Ayat-Ayat Cinta yang meledak di pasaran hingga mengalami cetak ulang beberapa kali. Buku yang dikemas dalam bentuk novel mini ini terhitung hingga Maret 2007 saja sudah mencapai cetakan ke-IX. Waw.. hebat bukan !

Novel mini racikan kang Abik ini memberikan semacam pencerahan bagi para siapa saja yang begitu memuja keindahan, kecantikan, dan kemolekan fisik belaka. Layaknya Ayat-Ayat Cinta, buku keempatnya ini tidak kalah mengasyikkan dengan buku-buku setelahnya. Kita bisa meniliknya dari alur cerita yang sengaja disajikan begitu meliuk-liuk hati.

Tokoh yang diangkat dalam ceritanya kali ini mengkisahkan bagaimana seorang anak lelaki yang hendak dijodohkan oleh ibunya dengan seseorang, yang menurutnya, termasuk perempuan biasa.
Setting tempat yang digambarkan Kang Abik sebenarnya terbilang sederhana yakni meliputi kondisi sosial masyarakat Indonesia biasa. Hanya saja, tokoh aku yang dikemas oleh penulis cukup memukau. Pergolakan batin yang cukup hebat begitu detil dipoles oleh Kang Abik.

Bagaimana tokoh harus menolak harapan ibunya untuk menikahi Raihana yang hanya perempuan biasa. Dari keturunan orang biasa, muslimah biasa dan tiada yang istimewa dalam pandangan tokoh aku yang sengaja diciptakan si penulis.

Namun dari hal-hal yang biasa ini, si penulis berhasil menciptakan konflik yang tiada henti untuk kita nikmati. Meski konflik tersebut menyita keresahan batin si pembaca. Maka saya sangat yakin, tulisan Kang Abik ini akan lebih mendekatkan kita pada apa yang namanya kegundahan, kebimbangan dan kepasrahan.

Cleopatra atau Raihana

Tokoh aku yang diciptakan kang Abik begitu menggoda. Ketika ia harus membayangkan bagaimana seorang perempuan sekaliber Cleopatra, bakal menjadi istrinya kelak.

Tapi seleraku lain. Entah mengapa. Apakah mungkin karena aku telah begitu hanyut dengan citra gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra yang tinggi semampai ? Yang berwajah putih jelita dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas Arab, dan bibir merah halus menawan. Dalam balutan jilbab sutera putih wajah gadis mesir itu.

Jika tersenyum, lesung pipinya akan menyihir siapa saja yang melihatnya. Aura pesona kecantikan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra itu sedemikian kuat mengakar dalam otak, perasaan dan hatiku.


Kalimat itu yang diukir penulis dalam mendeskripsikan bagaimana takjubnya ia pada gadis-gadis Mesir secantik Cleopatra. Bukan seperti Raihana yang keturunan Jawa. Hanya orang biasa. Tiada menggoda hati kala memandangnya.

Namun, apa yang bisa dilakukan tokoh aku kala pilihan ibunya lebih memutuskan untuk ia harus menikahi Raihana, teman ibunya itu. Tokoh aku merasa dalam kebimbangan yang amat dahsyat. Di sini kang Abik tidak kewalahan dalam mengobrak-abrik hati pembaca dengan konflik yang terus-menerus dibangunnya.

Walau menurut, si adik tokoh utama, Raihana memang terlihat cantik dan baby face. Tetap saja si aku lebih menyukai gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra itu sendiri. Hmm, bukan pilihan yang gampang. Bahkan ketika khitbah hingga menjalani rumah tangga, Raihana tetap menjadi tokoh yang layak untuk terus diamati.

Bagaimana Raihana seorang muslimah yang taat beragama melayanai si tokoh aku sebagai suaminya dengan baik dan santun. Walau sebenarnya hati Raihana sudah menerka kalau suaminya itu sekalipun tidak pernah mencintainya.

Yah, itulah Raihana dengan karakternya. Pantas saja ibu si tokoh utama tetap ngotot menikahkan Raihana dengan anaknya itu. Karena bisa jadi tokoh si ibu yang dibangun penulis sudah didesain sedemikian rupa bahwa Raihana lah yang pantas menikahi seorang pria seperti tokoh aku tersebut.

Dari cuplikan dialog berikut betapa kita bisa merasakan bahwa Raihana adalah perempuan yang begitu taat dan sayang pada suaminya.

“Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa Mas. Pakai balsem, minyak kayu putih atau pakai jamu ?” Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar.

“Mas jangan diam saja dong. Aku kan tidak tau apa yang harus aku lakukan untuk membantu Mas.”

“Biasanya dikerokin.” Kataku lirih

“Kalau begitu kaos Mas dilepas, ya. Biar Hana kerokin.” Sahut Raihana sambil tanggannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan yang halus. Setelah selesai dikerok, Raihana membawa satu mangkuk bubur kacang hijau panas untukku.

“Biasanya dalam keadaan meriang makan nasi itu tidak selera. Kebetulan Hana buat bubur kacang hijau. Makanlah Mas untuk mengisi perut biar segera pulih.”


Memang, tokoh aku yang diciptakan kang Abik adalah tokoh aku yang sengaja disetting dengan karakter santun, berbudi, taat ibadah dan yang tak kalah hebatnya, kang Abik menjadikan tokoh aku sebagai orang yang sudah lama hidup di Mesir. Tentu dengan cita rasa negeri Piramid itu pula. Kekentalan watak Mesir dan Cleopatra pada tokoh aku cukup signifikan dijelaskan oleh penulis dalam novel mininya ini.

Pilihan Hati yang Sulit

Tidak hanya pada titik perseteruan tokoh aku yang diceritakan begitu memesona hati. Raihanah, sebagai tokoh kedua dalam novel mini ini memberi semacam asupan gizi yang tak kalah penting dari seorang manusia bernama perempuan.

Tatkala hati begitu bergelimang bahagia lantaran telah mendapatkan suami yang selama ini begitu diharapkannya. Namun, perjuangan Raihana tidak boleh berhenti setelahnya. Perlakukan dingin dari suami membuat ia kian pasrah bahwa Tuhan tetap memiliki skenario terbaik untuk dirinya.

Raihana malah bertambah susah hatinya, meski dalam konteks susah yang dialami Raihana tidak pernah menelungkupkan rasa bosan, benci apalagi amarah untuk sang suami. Hingga akhirnya berbulan-bulan ia harus menahan diri dari pelukan, ciuman, ucapan mesra bahkan ah, hubungan intim sekalipun.

Namun tetap dalam keputusan semula, tokoh aku tak pernah letih mengkhayalkan bagaimana gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra sanggup menikahi dirinya. Angannya tentang Raihana cuma sebatas pelengkap saja. Tidak lebih.

Hingga pada suatu ketika, kehamilan Raihana tanpa cinta, kandungannya membesar tanpa butuh kasih sayang si suami, tokoh aku tetap saja tidak membubuhkan setitik cinta untuk Raihana pula.

Dramatis memang, namun Kang Abik tidak gagal melepaskan dirinya dari karya yang bersifat klise. Masa usia kandungan Raihana makin uzur, disitu pula Kang Abik tidak begitu buru-buru memukul para pembaca untuk lekas memecah air mata.

Kang Abik menghadirkan konflik yang begitu mengharu-biru. Raihana meninggal bersama bayi di dalam kandungannya. Saat itu tokoh aku tengah mengikuti pelatihan di daerah puncak yang cukup jauh dari Raihana.

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku sesak oleh dada yang haru luar biasa. Tangisku meledak. Dalam isak, tangisku tentang semua kebaikan Raihana selama ini terbayang. Wajahnya yang teduh dan baby face, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tangisnya saat bersimpuh dan memeluk kedua kakiku, semua terbayang dan mengalirkan perasaan haru dan cinta. Ya, cinta itu datang dalam keharuanku.

Seketika itu, pesona kecantikan Cleopatra memudar, berganti cahaya cinta Raihana yang terang di hatiku.

Tokoh aku melembutkan cintanya untuk sang istri yang telah tiada. Meski cinta itu datang terlambat, Kang Abik seolah ingin menawarkan suguhan baru terhadap mereka yang selalu memuja cinta lewat kecantikan fisik belaka.

Cinta yang dikemas Kang Abik kali ini, benar-benar menjanjikan sebuah kenikmatan dahsyat. Sebuah pengorbanan demi cinta, sebuah makna perjuangan mempertahankan cinta untuk cinta. Dan setelahnya, cinta kepada apa-apa yang dicintai akan lebih menghantarkan kita untuk kerap terdampar ke dermaga surga.

Lalu, kenapa kita masih juga mengotori rasa cinta itu ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar