Rabu, 18 Maret 2009

Belajar Menidurkan Rindu

Oleh : Sukma

Beberapa waktu saya pernah benar-benar tidak berdaya. Saya sadari ternyata ketidakberdayaan itu disebabkan karena saya tengah dirudung rindu. Rindu pada seseorang, rindu pada keluarga yang jauh di rantau atau rindu pada barang-barang kesayangan yang dulu pernah hilang. Namun yang lebih ekstrim lagi, entah mengapa saya pun sangat rindu ingin menikah di atas salju, rindu makan malam bersama ratu Inggris, berkelahi dengan Jet Li atau berunding dengan Barack Obama. Iya, itu semua kerinduan saya.

Sudah berulang kali rindu itu saya simpan rapat-rapat. Herannya, semakin rapat rindu itu saya simpan semakin memaksa pula rindu itu ingin keluar. Hingga pada suatu waktu kerinduan saya itu benar-benar telah membikin saya setengah waras. Betapa saya sangat rindu dengan seorang gadis. Ingin sekali hasrat hati bertemu dengan elok rupanya, memetik senyum dari wajahnya, lalu setelahnya, saya kerlingkan mata saya di depan gadis itu.

Alamak ! Kerinduan yang sangat gila menurut saya. Alhasil, setelah direnung-renung, saya sering tak nyenyak tidur memikir rindu-rindu itu. Tetap saja mustahil rindu itu saya wujudkan. Saya tidak punya kuasa kala hal-hal itu datang. Walaupun sudah acap kali orang-orang di sekitar saya mengatakan bahwa itu hal yang mustahil. Tetapi, tiba-tiba saja saya begitu yakin kalau rindu itu masih bisa saya nyatakan.

Perihal apakah akan terwujud, mungkin bisa jadi tidak mungkin. Hanya saja, rindu saya, kepinginnya saya, sering ketika rindu itu datang, saya ingin orang yang saya rindui, benda yang saya rindui mengerti kalau saya merindukan mereka. Dan itu sudah cukup untuk memuaskan rindu saya !

Beruntung ketika saya memiliki banyak sahabat, mereka bisa dijadikan teman curhat tentang kerinduan saya itu. Setidaknya ketegangan saya terhadap sesuatu yang saya rindui mulai tersalurkan. Hanya saja ketika beberapa hal tentang rindu itu mulai tidak memberi ruang untuk saya bernapas, saya sering dipukul asma. Tentu menyakitkan.

Mata saya berkunang-kunang, rambut saya mengeras, pipi saya...ah, seperti menggelembung. Belum lagi hati saya yang sudah pasti morat-marit.

Ada kalanya sahabat, ruang kosong, dinding, jurang yang dalam, air laut, kupu-kupu atau apa saja terkadang tidak sanggup mewakili hasrat rindu itu. Akhirnya saya sering lemah. Tidak berdaya. Lantaran dikalahkan rindu.

Sebut saja ketika saya rindu dengan seorang gadis yang saya puja itu. Untunglah, saat itu saya berani mengacungkan nyali hendak mengatakan rindu itu padanya. Dengan segera saya mengambil ponsel, memilih beberapa kata yang menurut saya romantis, mengetikkannya maka jadilah pesan itu hendak saya kirim.

“Hai, Gadisku ! Tahukah kau bahwa betapa hari ini saya sangat merindukanmu ?”

Ah, itu isi pesan singkat saya pada seorang gadis yang saya puja.

Apa yang terjadi ? Wow, ternyata hati saya riang sangat. Seperti ada reruntuhan embun yang menetes begitu sejuk dalam sanubari saya. Dalam renungan saya, pastilah gadis itu bersemi-semi wajahnya. Merah dadu pipinya. Serta meriah pula gedebar hatinya. Ahai, malang-melintang perasaan saya waktu itu !

Tapi sayang, terkaan saya tentang itu tidak tepat. Gadis itu sepertinya kecewa. Sama sekali tidak senang. Sapaannya pesimis. Dia malah membalas dengan pesan yang membikin rindu saya terjungkal nestapa.

“Jangan dibilang-bilang !” Kata gadis itu selanjutnya

“Kenapa ? Kamu tidak suka ?” Tanya saya

“Kira-kira begitu, tidak semua rasa harus diungkapkan.” Balasnya pula.

Oh, Tuhan !

Rontok rindu saya mendengar ucap itu dari gadis yang saya rindui. Entahlah! Malu, bingung, was-was, panik, semuanya campur aduk dalam benak saya. Sampai sekarang pun sms itu selalu saja saya timang-timang. Belum saya hapus. Nyaris tiap malam ketika rindu saya mulai muncul lagi, mulai tampil lagi, saya sering membaca pesan itu dari ponsel saya.

Tidak mesti rindu itu tentang apa, tentang siapa. Saya sering menidurkan semua rindu saya melalui pesan dari gadis itu. Sejak itulah, sering saya temui dada saya dikepung derita. Saya harus belajar menjinakkan ribuan rindu yang saya punya.

Dan esoknya, saya diajari teman saya bahwa mengendalikan rindu ternyata tidak sulit. Tidak butuh energi banyak. Cukup dengan kata-kata saja. Karena katanya, yang paling penting dari semua itu bahwa logika kita harus tetap terjaga. Bukan emosi semata.

“Mulai sekarang katakan pada dirimu bahwa kau memang sungguh-sungguh mencintai gadis itu. Namun saat ini, hari ini, kondisi tidak memungkinkan untuk dirimu dan dirinya bisa saling melepas rindu.”

Benar, kala itu nasihat teman saya teruji ampuh. Rindu saya langsung sirna. Hilang. Berganti entah apa namanya. Akan tetapi, selang beberapa menit kemudian, rindu itu pelan-pelan datang lagi.

Ah !



Medan, 18 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar