Minggu, 15 Maret 2009

Misteri Kelengangan Epri Tsaqib

Oleh : Sukma


ada ruang kosong di hatiku
yang selalu menunggu KAU isi

tapi selama ini
sesungguhnya aku lupa
pintu ruang itu selalu terkunci

kuncinya tertinggal
di rumahMu



Ada rasa yang berbeda dari puisi karya Epri Tsaqib yang berjudul Ruang Kosong tersebut. Rasa itu tidak sendiri. Epri Tsaqib seolah ingin mengenalkan sebuah misteri yang dirasanya, dipikirkan serta ditemukannya. Walau sebenarnya misteri itu tidak selamanya bernilai misteri. Malah pun sesudahnya ketika sesuatu dilabelkan misteri, pasti lah ada misteri lain di dalam kata “misteri” itu.

Pada Ruang Kosong di atas misalnya, kekosongan yang hendak dikenalkan Epri memberi semacam argumentasi bahwa apa sebenarnya yang ruang kosong itu. Kekosongan yang menimbulkan ruang itu menjadi kosong serta kondisi dimana kekosongan itu lamat-lamat mengarah pada sebuah objek bernama hati.

Maka sepertinya kekosongan ruangan bernama hati itu tidak pula dialami Epri dalam sajaknya kali ini. Berdiri di antara 3 jembatan/sepotong kain putih tanpa kancing/sebuah buku diari/sesobek alamat/ dan petunjuk jalan. Adalah isi sajak baru berjudulkan Kematian 4 turut pula makin memperjelas kekosongan tempat itu dalam ruang bernama hati.

Tentulah hubungan yang jelas antara hati dan kematian tidak bisa disepelekan. Rasa yang dimiliki hati, penilaian yang dimiliki hati tentang mati dan kematian bukanlah hal yang bisa dirumuskan dalam sebuah perdebatan tanpa makna. Justru mati dan kematian adalah sahabat hati yang paling dekat.

Mumpung ruang kosong bernama hati itu belum benar-benar dihancurkan, maka sepertinya Epri hendak mengkisahkan betapa gelisahnya hati tatkala ia kosong, tatkala ia sepi dan tatkala itu pula misteri mulai muncul.

Ah, itu pula Ruang Lengang yang hendak Epri paparkan dalam antologi sajaknya terbitan Pustaka Jamil pada Juni 2008 lalu. Kelengangan yang berbuih pada sajak-sajak telah mengental dalam diri Epri (mungkin) terutama hati.

Ia-nya seolah menikmati perrsenggamaannya dengan lengang layaknya ruang kosong, mati dan misteri. Hanya saja, dalam sajak berikutnya Epri makin tak gamang menunjukkan kesetiannya pada lengang untuk terus ditimang-timang dalam hatinya.

Tiup lilinmu, nak
Ambil nafas
Sisipkan sebaris doa
Untuk teman-temanmu di luar sana
Yang tak bisa tidur
Karena lapar
Malam ini

Tiup lilinmu, nak
Ayah titip adikmu
Jaga ibu
Jangan buat airmata dukanya
Tumpah karenamu


Sajak bertajuk Tiup Lilinnya Nak pun memberikan penjelasan yang tiada berbeda jauh sebagai simbol pengharapan Epri. Simbol itu berwujud pada ulang tahun. Pada pesta kecil yang tiap tahun terbiasa digelar. Bukan pestanya, bukan hadiahnya, bukan lilinnya, bukan pula hari ulang tahunnya melainkan sebaris doa yang diselipkan Epri pada anak-anak sajaknya.

Pengharapan dan doa merupakan simbol dari pesta kecil bernama ulang tahun. Padahal jauh dari itu, penyair tidak jengah meletak lengang diantara harap dan doa itu. Lagi-lagi semua tetap bermuara pada titik kelengangan yang akhirnya melebur menjadi sebuah misteri yang terus dikumpul Epri di dalam hatinya.

Menimbang-nimbang tentang kelengangan sepertinya Epri tidak mau sendiri. Kelengangan itu selalu saja dia temukan dimana hatinya berada. Jauh dari itu semua, harapan akan kelangan jatuh pula pada Perjalanan Celanadalam¬-nya. Setelah berkelana kesana-kemari/celanadalam itu merasa lelah, ia begitu rindu ingin pulang.

Dalam sajaknya yang satu ini, penyair lebih memilih ruang lengang lewat pemotretrannya terhadap apa yang biasa disebut kegundahan sosial. Kaca mata sosial lebih banyak berucap macam-macam tentang perjalanan panjang celana dalam. Di angkot, di pasar, di mall, di ruangan terbuka, di ruang sempit, di taman, di kantor-kantor dan kesemuanya itu membikin ruang kosong Epri makin terasa kosong. Pantas saja, pintu ruang itu selalu terkunci/kuncinya tertinggal/di rumahMu.


Kunci itu yang tak pernah atau sederhananya kita tak mau menemuinya. Bilanglah Epri, saya, kalian dan si pemilik celana dalam selalu alpa merasa ruang kosong itu tetap tidak pernah untuk diisi. Dalam sajaknya ini Epri menautkan satu dengan lainnya sebagai sebuah keadaan dimana kita telah jengah, kita tengah bosan mencari, menemukan kunci yang ada di rumahNya untuk kemudian mengisi sesuatu di dalam ruang kosong itu. Atau malah sebaliknya, ruang kosong itu, menurut Epri, kita tidak pernah merasakannya sama sekali.

Selanjutnya, bisa jadi Epri tidak hanya memberi jejalan emosi yang menuntutnya untuk terus gelisah dengan kekosongan hatinya. Melainkan dalam konteks Azan Jum`at, tentulah sajak ini lebih dari sekedar kritik belaka.

PintupintuMu terbuka
Sajadasajadah tergelar

:menunggu kening-kening angkuh.


Bayangkan betapa gelisah, kekosongan hati, kematian, dan misteri tetap dituangkan Epri terhadap satu penghambaan yang teramat dahsyat sebagai sebuah tawaran yang tidak main-main. Kening-kening angkuh masih saja setia dirindukan oleh sajadah-sajadah lusuh yang tiap kali kit memasukinya akan terbentang sebuah misteri baru dalam kekosongan hati yang terus berharap diisi.

Kumpulan puisi Ruang Lengang kali ini, justru tidak pernah sepi dari elaborai Epri terhadap bentuk sajak-sajaknya yang padat dan meriah terhadap ragam pemaknaan. Aku berlari pada puisi/lalu kami saling mengurai nyeri/dan begitu sibuk mengumpulkan air mata. Permainan Epri dengan sajak-sajaknya membuat sebagian orang terus merasakan kelengangan yang dikemasnya secara memesona. Nyata sudah perihal air mata, mengurai nyeri, berlari pada puisi adalah semenanjung konflik hati yang lagi-lagi tiada luput dari misteri.

Itulah hati !

Ketenangan batin dalam sosok hati makin mantap diminati siapa saja. Selain Epri, ternyata apa yang ditulisnya saat ini juga mengupas tampilan umum bagaimana hati-hati kita hari ini terus merindukan kedamaian yang diseret Epri dalam kelengangan tanpa tepi.

Begitupun wajah ibu selalu menjadi sorotan penting dalam Ruang Lengang kali ini. Engkau adalah jutaaan dongeng/yang mengantarkan malamku dari bintang ke bintang. Siapa saja, apa saja, dan dimana saja selalu saja dijelaskan Epri sebagai perwakilan rasa yang diramunya menjadi sebuah sajak-sajak penuh kekhasan.

Tidak menumpuk pada satu titik. Apa yang dipandang, dirasa, dilakukan, dan dipikirkan selalu penting untuk dinamai Epri dengan kelengangan. Dan itu, tentunya menimbulkan efek misteri bagi siapa saja yang merindukan iklim kelengangan seperti dirinya.

Setelahnya, selamat menikmati misteri yang dikemas Epri dalam sajak-sajak lainnya bernama Ruang Lengang itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar