Selasa, 03 Februari 2009

Gubuk Bapak

Oleh : Sukma

Dulunya bapak orang yang taat. Ia rajin datang ke wirid-wirid kaum lelaki. Bapak dikenal orang yang murah senyum. Karena seringnya itu, tidak sekali dua kali teman-temannya pula bertandang ke rumah kami. Mak juga begitu. Ia merasa senang sekiranya bapak mulai bisa bergaul lagi. Cerita silam soal bapak memang sempat tidak mengenakkan. Bapak dianggap orang-orang sudah tak waras lagi.

***
Hampir tiga bulan bapak menghilang. Sepak terjangnya ia simpan rapat-rapat. Bapak tidak lagi sudi mengikut kajian fiqh atau tarikh di areal mesjid. Padahal emak tak jarang mendapati bapak hanya duduk-duduk di belakang rumah bertemankan sebotol lampu minyak di hadapannya.

Memang, di belakang rumah ada gubuk setengah reok. Dulu seingatku memang aku, bang Burhan dan bapak membangun gubuk itu bersama.

“Di sini, kalau sore hari kau bisa santai-santai. Dan di gubuk ini kau juga bisa mengaji.”

Bang Burhan hanya mengembang senyum melihat bapak berucap begitu. Seraya diayunkan parang ke batang bambu pas di depannya kini, ia terus saja memerhatikan belahan demi belahan yang tergolek di samping kanan dan kirinya.

“Tapi kalau malam, pasti nyamuknya banyak,ya kan ?”

Saat bertanya begitu, emak masih setia menyuapi makan siangku. Kalau tidak begitu maka mungkin di usia yang sama, aku tidak akan mungkin menelan nasi. Berlarian ke sana kemari, mengangkat batang bambu yang sudah dibelah bang Burhan kemudian meletakkanya di sisi bapak. Selanjutnya, mak akan terus mengejarku sambil menjumput nasi bercampur lauk kemudian mendaratkannya tepat di mulutku. Hal itu berlanjut hingga aku duduk di bangku SMP.

Yang paling kusenangi dari gubuk bapak waktu itu tidak lain yakni duduk-duduk sore. Angin sore yang sejuk akan sering mengundang hawa kantuk yang sangat hebat. Apalagi selepas makan siang. Untuk itu, beranjak besar tubuhku, mak sering menaruh lauk, nasi, dan air putih di gubuk itu. Tahulah aku, kalau sudah begitu pasti nafsu makanku langsung bergeliat.

Mak hanya tersenyum kalau sudah aksi makanku bertambah semarak. Ia tidak peduli telah berapa piring nasi itu bertukar.

“Yang penting kau mau makan, Min !” Kata emak melepas senyum

Begitupun dengan bapak. Ketika petang datang, bersama sebatang tembakau, bapak asyik mengunyah goreng pisang dan secangkir kopi panas di gubuk itu.

Namun seiring waktu bapak sering berubah tingkah polanya. Diam merupakan teman bapak yang paling setia. Mak pun resah ketika mendapati bapak sering dipukul sunyi. Alih-alih, sandaran gubuk itu yang kerap dijadikan bapak menabung sepi.

Tak seorang pun paham gerangan apa yang membawa bapak pada ulahnya begitu. Seperti angin yang dirasa bapak sesaat duduk-duduk menghabiskan sore di gubuk itu. Sepi, tiada suara namun rasa sejuk kian saja memeluk tubuh damai bapak.

Sejak itu ada yang sepintas tak lazim dari cara memandang bapak kini. Ia yang dikenal orang-orang murah senyum tak lagi berani memamerkan barisan giginya yang rapat itu. Sejak beberapa orang datang ke gubuk buatan kami beberapa waktu lampau, tutur bapak mulai lain-lain. Padahal orang yang datang itu, bisa dibilang karib dekat bapak.

Mereka sering terlihat sama kalau datang ke wiridan kaum lelaki. Namun, seminggu itu pula, obrolan mereka terlihat misterius. Di gubuk itu, akhirnya bapak banyak menghabiskan sisa malam bersama botol kecil lampu minyaknya. Kadang mereka berdua, kadang terlihat berlima.

Itu yang kemudian ditakutkan emak. Dari balik jendela kamar, aku, bang Burhan dan emak sering mengintip aksi mereka mengunyah dingin malam. Kalau mereka berlima, dua diantaranya selalu terlihat terjaga. Bapak yang termasuk orang baru di kalangan mereka sering memasang tampang tunduk dan terpenjam.

Kalau yang dua diantara mereka terlihat awas, sementara itu bapak dan yang lainnya akan menggeleng-geleng, menganguguk-angguk dalam ritual yang khusyuk. Makin malam, ritual itu makin meriah. Tapi anehnya, mereka tidak terlihat lapar atau mengantuk. Sementara aku dan bang Burhan yang semula tidak tahan menahan kantuk, segera saja mengulum mimpi di atas kasur. Dan emak tetap saja memaksakan diri untuk terus memerhatikan ritual itu sampai selesai.

“Ada yang aneh kulihat di gubuk itu semalaman, Pak ?”
Setelah direnung-renung, dipilih pula tanya halus dari ucap emak barusan.

“Ah, tidak ada ! Bapak hanya ngobrol soal ladang saja dengan mereka.” Mata bapak diliputi kebohongan.

“Jujur itu lebih baik, Pak. Ada anak-anak disini. Kalau sekedar ngobrol biasa, kenapa sampai menjelang subuh ?”

Aku dan bang Burhan lekas beranjak mendekat ke sisi emak. Bapak meneguk kopi yang mulai dingin sejak disuguhkan emak beberapa menit lalu.

“Sudahlah, bapak tidak mau bicara itu. Tidak ada apa-apa. Ayo, kalian kenapa belum juga berangkat ?” Kata bapak sambil melepas pandang ke arahku dan bang Burhan.

Tapi, tidak sekedar disitu saja. Makin malam bertambah, makin berulah pula tingkah bapak. Bapak mulai payah ke areal mesjid. Bapak mulai jarang pula hadir di wirid-wirid malam jum`at. Ia lebih sering mengunci diri dari aneh ritualnya kini. Itulah yang makin menambah berang emak. Sering diurung emak hawa membara itu kalau ritual aneh-aneh bapak hinggap pula ke dalam rumah.

“Mak harus sabar. Jangan sekarang mak labrak bapak, nanti dia marah. Besok pagi saja ya, Mak !” Ucap bang Burhan memberi saran

Kalau tidak ditahan-tahan mak akan langsung menghardik kesemua teman bapak yang datang itu. Sebab mereka lain-lain ulah bapak. Bukan sekedar jarang mengaji, jarang wiridan, terakhir bapak jarang pula bersentuhan dengan sajadah. Aduh, siapa yang tak emosi melihat itu. Aku pun mulai sedikit gerah dengan semua aksi bapak kini.

Pernah suatu sore, sengaja kuajak bapak bersenda gurau di dalam gubuk. Membawakannya sepiring gorengan dan secangkir kopi hangat. Lalu aku mengadu pada bapak.

“Mau bapak menemaniku mengaji disini ?” Tanyaku cepat. Lantas bapak mengernyitkan dahi. Wajahnya merah. Ia mulai bimbang. Maka setelah itu, diamnya bapak makin bertambah pula. Ia lebih sering bersunyi diri.

Namun, ketika kawanannya itu datang malam-malam. Bapak terlihat melarang dengan aksi diamnya. Sejak itu pula, bilal mesjid silih berganti datang menjenguk kabar bapak. Beberapa mereka bertanya perihal bapak yang mulai jarang hadir ke mesjid apalagi wirid-wirid yang digelar. Mereka pikir bapak sakit hingga terlihat beberapa dari mereka turut pula membawa aneka buah.



***
Untunglah, sejak Haji Purna —bilal mesjid itu— datang ke pinggang rumah, bapak mulai rajin lagi menuai senyum. Bapak diajak pula mengaji fiqh atau tarikh. Sebab itu bapak tidak pula lekas menolak. Sepertinya hawa sadar mulai datang lagi ke hati bapak. Sering rajin pula bapak hadir di wirid-wirid. Namun, sesaat aku terkenang kejadian tempo lalu, ketika bapak tidak lagi beranjak solat, tidak lagi beranjak mengaji. Bapak mulai tampak ceria.

Namun setelah semua itu berlalu, bapak berangsur-angsur pulih pula. Sepinya mulai bertepi. Akan tetapi, lain pula sekarang. Bapak lebih banyak tertawa sendiri. Yah, sesekali juga bicara sendiri.

Ah, bapak !



Medan, 2 Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar