Selasa, 03 Februari 2009

Bayang-bayang Malam

Oleh : Sukma


Bayangkan, kalau Anda melihat seorang gadis cantik. Sedang terduduk sendirian di bawah pohon asem di tengah malam yang gulita, dengan balutan pakaian yang indah di tubuhnya tiba-tiba ia melempar senyum ke arah Anda. Maka apa yang akan Anda lakukan ?

"Ya, aku godain dong,” kata Herman teman sekelasku

Eh, jangan ! Lihat dulu deket-deket. Sapa tau dia hantu. Werrr...Kan serem !!” Itu tambah Dandi, bocah penakut yang duduk sebangku dengan Herman.

“Ah, kamu sih memang penakut. Kalo aku, kasih coklat aja. Lalu tanya ke dia kenapa sendirian. Dan ajak dia pulang. Besoknya baru aku tembak. Dorrr...!! Kamu mau jadi pacar saya ? Begitu, Man !” Kini suara Nanda, si lelaki parlente yang paling keren gayanya diantara kami.

Semua pendapat itu berhasil aku dengarkan satu persatu. Ada yang amat semangat seperti Nanda dan Herman, juga tak kalah ciut seperti celoteh Dandi. Tapi semua itu tetap tak kugubris. Mereka memang selalu tak serius kalau bicara soal cewek. Otaknya selalu ngeres.

“Sudah-sudah, kalau kalian mau, nanti malam datang ke rumahku. Kita akan ajak kencan itu cewek kemana kita mau. Tapi ingat, jangan macem-macem. Kita masih sekolah sebentar lagi ujian nasional. Setuju ?” Kataku dengan suara memberi tantangan.

"Oke, siapa takut !” Jawab Herman

“Iya, aku juga tidak takut,” begitu juga dengan Nanda

Lalu mata kami menatap Dandi serentak, bocah yang dikenal paling pengecut itu diantara kami. Seolah memberi isyarat agar ia lekas memberi jawaban. Lalu dengan mata tertunduk Dandi menggeleng pelan.

“Hhuuu...Kamu payah, Dan !” Kata Nanda dengan nada memburu.

“Pokoknya, kalau satu ikut semua harus ikut. Kalau tidak, nanti aku disangka malah mengada-ada sama kalian. Bagaimana, Dan ? Kamu ikut kan?” Kataku sedikit mendesak
Ia terdiam. Sesekali celingukan ke kiri dan ke kanan. Menatap mata kami satu persatu dengan mantap seolah memberi sinyal agar kali ini ia diberi dispensasi.

“Baiklah, Aku mau. Asal... aku di rumah saja, ya ?”

“Tidak masalah !! Kalau begitu kita sepakat. Jam sebelas tepat aku tunggu di depan rumah,” aku mengakhiri perbicaraan siang itu dengan kawan-kawan di sekolah.

Antara mimpi dan tidak, tadi malam aku melihat seorang gadis cantik tengah duduk terdiam di bawah pohon asem tepat di ujung gang. Malam itu, aku melihatnya secara tak sengaja. Aku ingat betul bahwa saat itu aku baru saja pulang dari rumah Wak Nur untuk mengambil teko besar milik ibu, yang sempat tertinggal saat arisan minggu lalu.

Aku pun tak tau mengapa ibu menyuruhku malam-malam begitu, yang kutau besoknya memang teko itu harus dibawa. Katanya, untuk dipinjam oleh anak Ibu Dar, tetangga sebelah rumah yang hendak syukuran di sekolahnya.

Tapi sial, di jalan aku bertemu dengan gadis cantik nan rupawan itu. Dengan gaun tipis yang melekat di tubuhnya itu, kian sempurna kutatap seluruh liku-liku bodinya. Mungkin karena aku tak berani menegurnya, hingga perasaan itu yang membuatku terhukum sial. Aku sangat yakin, setiap lelaki yang memandangnya akan lekas jatuh cinta. Wajahnya rupawan bak putri raja. Juga dengan senyumnya, sungguh memikat hati. Sempat malam itu ia melempar senyum padaku. Entah kenapa malam itu pula aku tak menggubrisnya, aku langsung mengayuh sepeda dan segera tiba di rumah.

Wajahnya cantik, kulitnya putih, dan posturnya yang semampai kian membuatku menyangka, dia tipikal perempuan ideal. Aku jadi tak habis pikir apa sebab ia begitu tiba-tiba saja menyapaku dengan senyumnya yang khas. Padahal kata orang-orang yang tinggal di dekat pohon besar itu, mereka tidak pernah sekalipun menjumpai sesosok manusia kalau malam-malam begitu, apalagi seorang perempuan.

“Jangan ! Jangan bicara soal itu, Anak Muda !” kata Pak Ngadimun, seorang lelaki tua yang tinggal di dekat pohon asem itu.

“Kenapa, Pak ? Tadi malam saya baru saja berjumpa dengan gadis cantik itu. Saya sempat bingung, setahu saya tidak pernah ada perempuan secantik dia di kampung kita. Apalagi keluyuran malam-malam begitu.” Kataku mantap

“Sudahlah, aku tak mau membicarakan soal itu lagi. Aku banyak kerjaan, kau pergi saja. Ntah-ntah, kau sedang ngelantur,” tambah Pak Ngadimun dengan wajah sedikit melongos.

Perbincangan sore itu membikinku kian semangat untuk menyelidiki siapa perempuan itu sebenarnya. Padahal, bukan cuma aku saja yang pernah lewat di bawah pohon asem itu malam-malam, tapi banyak pula anak muda kampung yang juga keluyuran di tengah malam. Namun mereka tidak pernah sedetik pun mendapati gadis cantik itu terduduk di sana. Dengan gaun indah, wajahnya bersih, dan rambutnya yang terurai. Plus melempar senyum ke arahku. Aduh, aku jadi makin pusing saja.

Kepalaku makin nyut-nyut, terus ada pertanyaan yang berjejalan ingin segera dijawab. Ada apa dengan pohon asem itu ? Siapa perempuan cantik itu ? Lantas, mengapa hanya aku yang jadi sasaran ?

“Her, bagaimana kalau kita batalkan saja janji yang tadi pagi?” Kataku tidak semangat.

“Ah, ada-ada saja kau, Bud ! Mana mungkin kita batalkan, kan kau yang sudah buat janji sendiri. Atau, jangan-jangan kau pulak yang jadi takut sama cewek itu, iya ?” Herman menyeringai.
Lantaran bingung, Aku segera mendatangi Herman untuk minta pendapat soal perempuan cantik tadi malam itu. Bukan sebab aku takut, tapi karena memang aku tidak biasa melihat perempuan cantik. Aku paling tak tahan lama-lama melihatnya.

“Bisa basah celanaku nanti,” aku menjawab jujur.

“Nah ini, kau cari pekara namanya. Aku takut, kau sengaja mengarang ?” serang Herman mendadak.

Aku menggaruk kepala. Bukan karena gatal tapi makin tak tentu otakku berpikir. Herman tidak setuju dengan ideku untuk membatalkan hal itu. Begitu juga dengan orang-orang seisi rumah. Adik, abang dan kedua orangtuaku menganggap bahwa itu cuma penglihatanku saja.
Memang sejak aku kecil, ibu pernah bilang bahwa aku sangat pendiam dengan anak perempuan, termasuk dengan Warsinah, adikku sendiri. Tidak tau aku apa sebabnya, hingga mau tamat SMA begini aku juga tak tau kenapa hal itu terjadi. Yang kurasakan cuma biasa-biasa saja. Soal cantik atau tidak aku memang secara laki-laki bisa menilainya dengan normal. Tapi soal apakah aku minat atau tidak, jelas saja tidak masuk dalam pikiranku.

Namun yang satu ini, aku benar-benar seperti dirasuki hawa gaib dari perempuan itu. Meski terbilang baru sekali bertemu, tiba-tiba saja aku amat tertarik mengenalnya. Itu sebab aku mengajak beberapa teman, termasuklah Dandi, temanku yang paling penakut.

Alhasil, hingga kini aku malah putar arah. Tak lagi berniat ingin menjumpainya apalagi menyelidiki soal itu. Tapi sekarang yang benar-benar membuatku telah gila adalah teman-temanku itu. Sungguh, ceritaku tadi pagi sudah membikin mereka sedikit edan.

“Kok kalian yang jadi bernafsu sekali ingin ketemu dengan cewek itu. Aku malah jadi curiga sama kalian, jangan-jangan...” kataku putus

“Bukan begitu, Bud ! Kami hanya pingin tau saja. Kan kami sering juga lewat di dekat pohon itu. Tapi toh, tidak pernah melihat ada siapa-siapa di bawah pohon asemnya.”

“Pokoknya tidak ada cerita, kau harus tepati janji ! Kalau kau tak mau, kau harus temani kami. Supaya kami bisa melihatnya juga. Siapa tau, kalau ada kau dia mau menampakkan diri.”

“Ya, saya sepakat itu !” Kini Dandi malah jadi berani.
Semua mata menatap mantap ke arah Dandi. Seolah tak menyangka kalau Dandi, anak lelaki yang penakut itu tiba-tiba saja berubah berani.

Melihat mereka begitu semangat, segera muncul semangatku balik. Tidak ada rasa takut, tidak juga ada bimbang. Yang tinggal cuma rasa was-was. Tidak tahulah aku apa alasannya. Mungkin sudah tak sabar ingin kembali melihat wajahnya, menikmati senyumnya yang indah dan memandang rambutnya terurai disisir angin malam. Ah, aku jadi menghayal.

***

Bayangkan pula, kalau Anda melihat seorang gadis cantik. Sedang terduduk sendirian di bawah pohon asem di tengah malam yang gulita, dengan balutan pakaian yang indah di tubuhnya tiba-tiba ia melempar senyum ke arah Anda. Maka apa yang akan Anda lakukan ?
Yah, setiap lelaki pasti akan tergila-gila padanya. Seperti malam ini yang kulihat di mata Dandi, Herman, dan Nanda. Mereka sudah sangat gila !

Lihat saja cara mereka berdandan malam ini, aku cuma geleng-gelang saja. Mereka berbusana seperti para penjaga malam. Lengkap dengan senter dan pentungan. Sedikit sentuhan topi koplo di kepala, juga dengan kain sarung melingkat di leher.

“Untuk apa bawa pentungan, Dan ?” Aku penasaran

“Buat jaga-jaga, siapa tau itu hantu. Hi…Hi..Hi…” Balas Dandi enteng

“Ssstt…Jangan berpikir yang tidak-tidak ! Nanti benar-benar hantu baru nyahok…!” Herman menjawab kemudian.

Tanpa hitung-hitungan lagi, segera aku dan yang lainnya bergegas berangkat. Hawa dingin pelan-pelan mulai menyergap tubuhku dan tubuh kami semua. Sepertinya hujan sebentar lagi akan turun, kulihat angin kencang sudah berarak hebat. Daun-daun pohon asem itu tampak berguguran menerpa tubuh-tubuh gontai kami. Kami bolak-balik melewati pohon asem itu, tapi tak ada sosok apapun yang terlihat. Apalagi wanita cantik. Sama sekali tidak ada.

Namun tiba-tiba saja, seorang lelaki tua datang menghampiri kami.

“Ngapai kalian di sini?” Kudengar suaranya berat

“Kami mau jumpa dengan gadis itu, Pak,” kata Herman sambil membetulkan letak sarungnya.

“Sebaiknya, kusarankan kalian pulang saja sebelum terjadi hal-hal yang tidak baik.”
Aku dan ketiga temanku menatap tajam ke arah Pak Ngadimun.

“Memangnya ada apa, Pak ?” Nanda yang sedari tadi diam, kini angkat bicara.

“Sudahlah, kalian lekas pulang saja. Ini sudah malam, nanti....”

Gerrreebakkk....

Belum pun Pak Ngadimun usai bicara, sebatang kayu besar jatuh tepat di belakang kami. Aku dan yang lain kaget bukan kepalang. Sementara petir mulai berhamburan, teriakan dan cahayanya berkelebat di atas langit. Angin terus saja kencang.

“Saya pulang duluan, hujan sepertinya sebentar lagi turun.” Pak Ngadimun segera beranjak pergi. Tanpa basa-basi, kami biarkan saja ia pulang.

Kini, aku dan teman-teman tetap tak surut menanti gadis cantik yang kulihat malam kemarin muncul. Jam sudah bergerak tepat pukul 00.00. Sebenarnya aku pun sudah ingin sekali pulang, tapi kalau aku yang mengajak, nanti disangka aku yang pengecut. Biar saja mereka yang mengajak pulang.

Hujan rintik-rintik mulai turun, dingin terus saja membalut tubuh kami. Tak juga perempuan itu muncul. Ah, kini aku mulai jenuh. Dengan nada pelan, aku seperti mencoba memanggilnya.

“Ayolah, keluar gadis cantik ! Dimana kau ? Tunjukkan wajah indahmu itu, aku sudah tak sabar melihat senyum indah darimu.”

Dan, tidak satupun dari kawanku mengajak pulang. Mereka tetap ngotot bertahan. Entah apa yang sekarang mereka pikirkan. Meski kulihat kaki Dandi mulai gemetaran.

Aku terus memanggil. Kelak gadis itu akan keluar. Sebab kalau tidak, kawan-kawan akan menganggap ceritaku kemarin hanya rekayasa belaka. Padahal sebenarnya aku pun tidak tau, apakah gadis itu ada atau tidak? Atau benar kata ibu, itu cuma penglihatanku saja. Tapi tidak, mengapa pula Pak Ngadimun seperti menyembunyikan sesuatu dariku tentang gadis itu dan tentang pohon asem ini ?

“Mana, Bud ? Ah, aku sudah ngantuk, nih.” Akhirnya Nanda mulai bertanya. Aku terdiam.

“Iya, jangan-jangan benar kataku, kau bohong !” Balas Herman

Lantas, aku masih saja diam. Kulihat Dandi mulai menatap wajahku seperti ada yang hendak ditanyanya pula. Aku lekas berpaling dari tatapannya. Tanpa henti mulutku tetap komat-kamit.
Masih dengan nada pelan aku terus memanggil-manggil perempuan itu.

“Ayolah, tunjukkan rupamu, Gadis Cantik ! Keluarlah !”
Dan tiba-tiba saja, aku melihat awan gelap itu serasa menimpaku.




Medan, 4 Maret 2008
Cerpen ini pernah dimuat di harian ANALISA
Rabu, minggu ke-2 bulan puasa 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar