Minggu, 25 Januari 2009

Kaus Kaki Tanpa Lubang

Oleh : Sukma

Semakin ia memikir tentang mimpinya itu, kejadian yang lalu, semakin pula tidak bisa lelap tidurnya. Surawa, lelaki kurus bertubuh jangkung, wajahnya petak, rambutnya jigrak terus mantap menata diri untuk tidak mahir beranjak tidur.

Beberapa suster dan perawat sudah letih mengawasinya. Obat penenang sudah pula ditelan Surawa. Semua itu dibuat tiada lain hanya satu, supaya ia bisa tidur ! Itu ungkap seorang suster.

Tak seorangpun sanak-saudara yang datang menjenguk Surawa tatkala sakitnya itu datang menerpa. Mak Rih, ibunya Surawa, tidak pula berani menampakkan batang hidung meski melihatnya sekejap saja. Melambaikan tangan, melepaskan senyum atau pula menanyakan kabar sehat Surawa mustahil diwujudkan emaknya itu.

Sudah setahun Surawa mengidap penyakit yang dideritanya sekarang. Tapi cahaya kesembuhan belum pula merangkak naik dari kilau matanya. Mendung mata Surawa seperti petakan-petakan sawah yang lelap direndam hujan semalaman. Dingin. Layu dan rapuh.

“Aku mau jadi raja. Raja yang hebat, sesuka hati memerintah siapa saja,” ceracau Surawa makin beda-beda tiap harinya.

Namun, satu hal yang paling khas dari celotehnya itu kerap berisi pertunjukkan, adegan kerajaan atau pula sayembara peperangan untuk mendapatkan tahta mahkota sebagai pengganti tunggal tampuk pendamping ratu.

Sediakala memang sulit menerka letak dimana kesembuhan Surawa berasal. Matanya seperti menerbitkan kaca-kaca tajam beraroma tikaman. Apalagi tutur sapanya, Surawa akan ramah membentang senyuman. Kewibawaannya kalau disanjung beberapa suster dan dokter yang memeriksa sakit batinnya memang tidak bisa ditawar, pasti segera muncul. Surawa lekas menunjukkan taring kedigjayaan yang memantul dari pundaknya yang dinaikkan, dadanya yang dibusungkan serta ucapannya yang dibesarkan laksana monster yang tengah tertawa lebar.

Para suster telah mafhum akan hal itu. Tetapi beberapa pengunjung lain yang menjenguk pasien lain setidaknya menyimpan takut sesaat Surawa bertingkah ulahnya seketika. Hanya saja, beberapa dari pengunjung tidak pula menaruh curiga lagi.

“Itu memang ciri khas Surawa. Kalau tidak begitu bukan dia namanya,” seorang ibu memberi komentar.

“Kasihan, ya. Masih muda kok tidak terawat begitu. Padahal cukup tampan, kan?” Ibu yang lain menambahi.

Surawa sesekali mendengar ucap-ucap begitu dari sesiapa yang menuturkannya. Alhasil, apa yang sampai di daun telinganya membikin hati Surawa gelap rupa.

“Bicara apa kalian bisik-bisik, hah ?!” mata Surawa disaat begini pastilah membesar. Bukan hanya besar namun memerah pula.

Ibu-ibu yang asyik becakap itu malah memanggul takut seketika. Kalau sudah begini pastilah mereka mengatur jarak dari Surawa. Mundur selangkah atau berteriak minta tolong. Tapi diantara ibu-ibu tadi ada yang berkeliling pandang. Berharap ada suster yang singgah dan mencegah aksi gila Surawa kalau-kalau naik pitamnya.

“Kenapa ? Takut ?!”

Ibu-ibu itu makin meringis. Masih dengan mata berkeliling, mereka menangkap seorang suster melangkah ke bangsal tempat Surawa dan ibu-ibu tadi mengungkap cerita.

“Kalian tidak sopan. Bicara seenaknya saja pada raja. Ayo, sekarang bersujud di kakiku dan minta maaf. Cepat lakukan !” Kata Surawa berteriak

Daripada runyam urusan, ibu-ibu tadi mengambil langkah menurut saja. Dibungkukkan badan keduanya tepat mengarah ke ujung kaki Surawa lantas mencoba bersuara untuk melepas maaf dan tidak melakukan hal itu lagi kala raja Surawa tengah ada di dekat mereka.

Syukurnya, seorang suster yang semula hendak menjemput Surawa masuk kembali ke bangsal utama menyaksikan adegan itu segera. Dihentaknya Surawa keras, ditanya pula apa soal tingkah ibu-ibu yang berstatus tamu itu diperintahnya bersujud di ujung kakinya. Maka selanjutnya, dengan beberapa paksaan, beberapa perawat lelaki turut pula hadir memboyong tubuh berat Surawa masuk ke bangsal utama.

“Tunggu, Suster, mereka ini menghina saya sebagai raja. Mereka harus dihukum. Harus dihukum !!” Seraya mengamuk, Surawa berteriak-teriak hendak menuntun keadilan atas kerajaannya yang diusik.

Seperti yang pernah diceritakan Mak Rih, ibu Surawa itu. Surawa gelap mata tatkala tiga bulan lampau, ia sempat menghabisi nyawa bapak kandungnya. Berawal dari mimpi Surawa yang macam-macam. Kerap terwujud beralamat sakit sampai di rawat pula dirinya kini.

Awalnya, memang Surawa tidak nyenyak tidurnya. Banyak hal yang tentu dilakukan Surawa ketika hawa kantuk belum menggodanya. Diantaranya membaca kisah-kisah keraton jawa Mataram. Tidak tau apa sebab Surawa tidak bisa lelap tidurnya. Mungkin karena Surawa anak yang tak pernah menyelipkan cita-cita di dalam mimpi-mimpinya. Justru karena itu Surawa lebih sering dihantam resah, amarah dan kecamuk bapaknya.

Hari-hari Surawa hanya dikepung sunyi, luntang-lantung saja. Dari pos ronda, merokok, main gaplek, terkekeh-kekeh, lalu pulang hanya untuk makan malam atau makan siang saja. Itu yang mengundang bapaknya naik darah lagi.

Minimal, maulah Surawa membantu mencangkul ladang mereka. Mengangkat air dari sungai untuk persedian makan dan mencuci. Atau pula sesekali menyiangi rumput untuk makan dua ekor kambing mereka.

Tapi alih-alih, Surawa memang tidak punya nyali melakukan itu. Serasa tak modern pikirnya, anak muda sepertinya melakukan hal-hal yang dimaui bapaknya itu.

“Ah, bapak pikir aku ini apa ?! Cukup bapak saja yang melakukan itu. Heh, aku tidak mau meneruskannya. Aku capek, Pak.”

“Capek kenapa, Wa ?”

“Ya, iya. Capek aku jadi orang susah terus. Entah kapan bisa makan enak. Punya harta banyak, punya kekuasaan. Mana bisa kalau cuma berladang terus toh, Pak.”

“Oalah, Wa ! Pikiranmu itu lho. Mau gampangnya saja. Kamu saja mencangkul tidak mau, apa ya bisa jadi orang hebat kalau mengangkat air saja ndak mau.”

“Ah, sudahlah, Pak. Pusing aku.”

Pikir Surawa, enak kali kalau bisa seperti para raja-raja yang bisanya hanya memerintah. Suruh ini, suruh itu. Makan ini tinggal bilang. Mau permaisuri cantik tinggal pilih. Itulah yang membangun angannya untuk malas bekerja. Surawa hanya punya mimpi, tapi tidak punya aksi. Laksana raja Sanjaya yang dalam Carita Pahrayangan didapatnya dari mulut orang-orang kampung.

Beberapa buku sempat pula menjadi acuan Surawa untuk mengekalkan angannya menjadi seorang raja seperti Sanjaya, seorang raja dari kerajaan Medang-Mataram. Sanjaya memegang tampuk kepemimpinan setelah sebelumnya dipegang seorang raja bernama Sanna. Sanjaya yang mengeluarkan prasasti Canggal, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah di pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, kerajaan menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha saudara perempuan Sanna.
Nama Sanna tidak terdapat dalam daftar para raja model prasasti Mantyasih. Bisa jadi ia memang bukan raja Kerajaan Medang. Kemungkinan besar riwayat Sanjaya mirip dengan Raden Wijaya, yang mengaku sebagai penerus tahta Kertanagara raja Singhasari, namun memerintah sebuah kerajaan baru dan berbeda.
Dalam cerita-cerita yang didapat Surawa inilah yang menghantarkan ia pada sebuah mimpi panjang tanpa tepi. Mimpi awalnya, Surawa didatangi banyak bintang-gemintang yang indah bukan main. Bintang itu bertujuh, saling berputar-putar di atas kepalanya. Kemudian sebuahnya berbentuk seperti mahkota raja yang memendarkan cahaya paling indah ketimbang enam bintang lainnya.

Lantas, bintang bermahkota itu beradu bicara dengan Surawa. Mengatakan sesuatu yang membikin hati Surawa berubah pelangi.

“Hei, Surawa ! Tahukah kau, sesungguhnya raja Medang setelah Sanna itu adalah kau. Bukan Sanjaya. Aku tahu kau sangat ingin menjadi raja, bukan ? Sekarang saat yang tepat untuk mengabulkan itu, Surawa.”

Surawa masih mengerjap bolak-balik arah matanya. Merasa bahwa yang disampaikan bintang bermahkota itu adalah lanjutan dari kisah Pahrayangan yang dibacanya beberapa waktu sebelumnya.

“Kaulah raja itu, Surawa. Bukan sanjaya ! Yang ada hanya dirimu yakni raja Surawa,”
Setelahnya, Surawa sadar. Gelap pandang matanya. Namun hatinya berlinang cahaya. Surawa bangkit dan seolah yang dialaminya itu bukanlah mimpi. Begitupun keesokan harinya, Surawa dihadiri lagi bintang-gemintang seperti yang sudah-sudah. Hatinya makin tak tentram saja. Yang paling membikin Surawa heran, pesan terakhir bintang bermahkota itu kerap aneh-aneh.

“Jika ingin menggantikan Sanna sebagai raja. Maka ada satu syaratnya, Surawa. Kau harus membunuh ayahmu yang pengecut itu. Karena ayahmu itu yang menghalangi mimpimu menjadi raja. Karena ayahmu pula, kau sering diperlakukan tidak adil. Maka, bunuhlah ayahmu, Surawa. Bunuhlah !!”

Tidak tau Surawa perihal benar-salah mimpi itu. Surawa benar-benar sudah ditikam angan yang membikinnya gelap mata. Apalagi teringat Surawa pada aneka makian yang sering diterimanya tatkala pulang ke bilik rumah. Makin tak ayal setelahnya, Surawa terus menabung dendam pada sang bapak dalam-dalam. Diambilnya langkah mantap ke ruang belakang, diselipkan pula sebilah sabit yang menempel di dinding rumah ke dalam saku bajunya. Kini, Surawa siap memenggal leher bapaknya itu.

Apa yang terjadi ? Terang saja, Surawa melakukan itu dengan penuh seksama. Tanpa rasa tega, tanpa ucapan basmalah, lepas sudah kepala bapaknya itu dibuat Surawa bahkan menggelinding pula hingga ke kolong kasur. Maknya menjerit sangat histeris. Mengguncang tubuh jangkung Surawa agar sadar dari prilakunya barusan. Pintu-pintu tetangga digedor maknya. Semua heran, panik minta ampun. Dikejar juga maknya itu dengan posisi sabit masih di dalam genggaman. Namun, maknya masih berhasil menyelinap ke rumah seorang tetangga.

Usai kejadian itu, Surawa dipasung kaki-tangannya oleh orang-orang kampung. Ia dianggap terguncang mental. Sering Surawa senyum-senyum sendiri. Lagaknya bertingkah seperti raja. Aneka bintang-gemintang yang datang lebih dianggapnya sebagai para dewa yang menitiskan tahta kepadanya.

Tentu Surawa makin gagah saja bawaanya. Di dalam sebuah bangsal rumah sakit, Surawa tak henti menggagungkan diri. Seorang pasien dalam bangsal disuruh memijit kakinya, seorang yang lain memberikan air minum untuknya. Begitu Surawa memasang aksi sesaat para suster tidak segera memeriksa bangsal-bangsal mereka.

Apalagi kalau malam sudah meregang. Surawa akan setia menunggu bintang-gemintang itu datang. Menghadiahkannya sepotong mahkota, lalu berharap dijingkat sebuah tahta untuknya menjadi pengganti Sanna.

“Aku lah raja Surawa itu. Aku lah pengganti Sanna. Tidak ada yang bisa menggantikan tahta itu walaupun seorang Sanjaya. Aku kini, raja Surawa !”

“Heh, jangan ribut. Ayo, lekas tidur !” Begitu ucap suster penjaga bangsal mengingatkan Surawa.

Terlihat beberapa pasien sebangsal dengan Surawa, semua sudah rapi menutup selimut hendak menjemput mimpi. Sementara itu, Surawa tetap kewalahan, masih tak pandai dirinya memakai kaus kaki yang sebenarnya tidak berlubang lagi di kakinya kini.



Medan, 25 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar