Minggu, 25 Januari 2009

Weni

Oleh : Sukma


Yang kutau nama gadis itu adalah Weni. Usianya lebih muda setahun dariku. Itupun kutau saat tadi pagi ada kumandang pengumuman dari toa mesjid bahwa gadis itu sudah beralamat mayat. Dipanggil Tuhan.

“Bang, sudah tau kak Weni meninggal ?” Tanya adikku, Fira.

Aku manggut. Pun sebenarnya kabar itu yang membuatku terbangun subuh tadi. Tahulah aku, kalau subuh itu kumandang azan sangat berisik. Mengusik telingaku yang asyik dengan balutan mimpi. Apalagi tak satu mesjid yang bersuara. Hampir belasan, suara itu menggema, saling bersahutan berputar-putar di atap kamarku.

Namun, tak jarang aku sendiri kaget mendengarnya. Dan sekejap lalu, aku akan tertidur lagi. Entah kenapa dengan pagi ini, kabar tentang Weni meninggal membuatku tak lekas kembali tidur. Menarik selimut lantas berulang menyambung mimpi. Kemudian subuh akan terselesaikan kalau emak sudah bolak-balik menggebrak pintu kamar. Sebagai tanda bahwa terang sudah datang.

“Abang tidak melayat dulu ?”Tanya Fira kemudian
Aku diam, masih mantap anganku mengingat tempo hari aku menyiram Weni dengan air. Membuatnya basar sekujur tubuh lalu dengan seketika dia tak marah bahkan terkekeh dengan mata sayunya itu. Bukan maksudku sengaja serius melecehnya, ketika segelas air kubuang dari ambang pintu dengan sekedarnya saja lalu dengan tubuh bongsor dan berat, Weni lewat tanpa pamit.

Aku terkejut, kalau sudah begitu aku akan sangat takut. Betapa tidak, seperti yang lalu-lalu ketika siapapun mencoba melecehkan Weni maka dengan langkah sigap Mang Warno, pamannya itu akan langsung membidik mata kita dengan seayun bogem mentah dari arah belakang Weni. Ya, seayun bogem mentah.

“Bang...! Kok ditanya malah ngelamun. Abang melayat tidak ?!” Suara Fira makin keras.

“Ya, aku melayat,” jawabku padat

Fira memang begitu. Sebetulnya kutau dia yang sangat ingin pergi melayat, biar ada kawannya kalau ia berhasil mengajakku pergi takziah.

Aku terus menguras tabungan angan-anganku yang kusimpan tentang Weni. Gadis bermata sayu itu tak heran bila sering dikata-katai, diejek dan juga jadi bahan tertawaan anak-anak kecil di sekeliling rumahnya. Sebabnya, tidak lain karena Weni perempuan jorok dan tak lihai merawat diri. Bukan tak jarang ia menyimpan tahi mata di sudut-sudut matanya yang beku itu. Bicaranya menganga dan sesekali ditambah dengan cengenges tak karuan. Juga soal, tindak lakunya. Tentu Weni bukanlah perempuan normal yang bisa diajak bermain. Terus dengan jalannya yang sempoyongan itu anak-anak akan sering menyebutnya; Leni gendeng !

Belum lagi suaranya yang serak dan berat. Ditambah lidah kelunya tak cecah mengucap huruf R dan L. Itulah Weni, gadis yang satu tahun lebih muda dariku. Untung saja ia masih punya seorang ibu yang setia merawatnya hingga kini. Masih tak heran bila gadis itu mesti disuapi bila hendak makan, sesekali sering pula ngompol kalau tidur malam. Walau sudah berulang kali sanak keluarga menghampiri para dukun, dokter, psikiater atau apalah namanya agar sembuh jiwa Weni kerap terlaksana. Bahkan tak cuma itu, ia sering pula ditanyai “nomor” untuk kali-kali angka pada buku sakti para penjudi.

Ada yang tembus, ada pula yang tidak. Lalu besoknya bagi yang tembus akan segera menyalami Weni dengan segulung uang.

“Buat jajan ya, Wen.” Begitu kata mereka yang kena nomor bidikan.

Akhirnya malang yang tak pernah diundang kini kunjung datang. Dua minggu setelah ibunya mendekap maut, Weni seperti tak punya lagi kata ceria di wajahnya. Sering ia melamun sendiri, ia tak suka lagi makan tanpa ada ibu yang menemani. Sering kak Juwita, kakak kandung Weni mencoba mengadu ke para famili hendak bercerita kabar Weni yang tak sudi lagi makan sendiri, tidur sendiri juga mandi sendiri. Ia akan mau, kalau almarhumah ibu yang menemani.

“Weni harus makan, Dek. Kalau tidak nanti Weni bisa sakit,” bujuk kak Juwita saat aku tak sengaja lewat di depan rumahnya.

Mata sayunya seperti digantungi ribuan beban yang tersangkut pada bulu-bulu matanya. Berat dan beku. Ia menatap bumi seolah ingin menikam-nikam tanah.

Sempat juga aku teringat ketika bulek Yem, ibu kandung Weni itu dimakamkan di pemakaman warga di ujung kampung. Semua pelayat termasuk aku mengisak tangis tak kunjung usai. Melihat Weni, si gadis gendeng itu sesekali berteriak ingin melihat hendak dibawa kemana sang ibu pergi.

Lazimnya orang normal, Weni tak sudi melihat sang ibu dibawa entah kemana. Rasa khawatir dan takut bergelayut dalam benaknya. Tentu, ia merasa orang-orang telah berniat menculik ibu darinya. Hingga saat itu tiba, tetap saja Weni taklah paham apa itu mati ? Dan apa itu pemakaman ? Kulihat ia menangis sangat hebat. Tidak seperti biasa, saat ia harus menangis waktu muncul hasratnya ingin dibelikan boneka barbie berwarna merah hati saat musim lebaran tiba. Aih, tiba-tiba saja aku bergidik melihat tangisnya yang kian menjadi itu. Sungguh, adegan itu membuat para pelayat tak sanggup mencegah aksi gendeng Weni.

“Jangan bawa ibuku...! Jangan !” Teriakan itu bukan lagi teriakan yang main-main. Pun ketika ia diejek, dihina, dikata-katai tak pernah amarahnya sedahsyat ini.

Sekarang umurku genap 22 tahun, berarti Weni sudah 21 tahun kini.

“Cepat, Bang. Nanti Abang terlambat ke kerjaan,” suara Fira masih menggangu anganku. Kulihat kini ia sudah rapi, berdandan hendak menjenguk jenazah Weni. Serasa aku masih tak lepas mengupas kembali anganku tentang gadis itu.

Juga tidak sampai situ, dengan berat langkah wak Dullah, bilal jenazah di kampung itu mengizinkan pula Weni turut hadir dalam acara yang sebenarnya menurut agama tak boleh anak perempuan dan ibu-ibu ikut menanam jenazah.

“Biarkan saja dia ikut tapi kalau jenazah sudah ditanam.” Kata wak Dullah memberi saran.

Aku hanya bisa melihat. Sebagai tetangga aku memang tak banyak tau soal keluarga Weni. Yang kutau, ibunya meninggal memang sudah banyak penyakit yang hinggap ke alamat badan. Tidak tau apa sebabnya, padahal umur ibunya tak kalah jauh dengan umur ibuku. Sama-sama sudah tua.

“Itulah maut, Dar. Hidup dan mati tak tau kita kapan akan datang. Makanya, kau jangan sombong ! Bisa-bisa kau yang lebih dulu mati ketimbang emak.” Itu kata emak saat aku bilang padanya bahwa umur mereka saling tak jauh beda.

“Ah, emak ! Kok jadi nakut-nakuti, horor, ah !” Balasku sambil seloroh

Sambil menggelar tikar di tepi makam, wak Dullah pun turut memulai doa sebagai penghantar kepergian ibu Weni menghadap ilahi. Weni hanya tercengang, matanya basah. Aku melihat mendung yang dalam pada wajahnya. Mendung yang selama ini tak pernah aku dapati meski ia diejek, dihina, dan dikata-katai.

“Jadi ibu ditanam disini, pintu masuknya darimana, Kak ?” Tanya Weni pada kak Juwita, kakak kandungnya itu.

Kak Juwita hanya diam. Tangisnya yang tak henti membuatnya tampak tak bisa menjawab, cuma sesekali ia mengusap kepala Weni pelan-pelan.

Begitupun seminggu setelah kematian sang ibu. Weni jadi jarang makan, tak suka jalan-jalan juga lebih suka sendirian. Lengkap sudah penyakit melekat pada tubuhnya, begitu kira-kira dokter berkata.

“Tidak ada ibu, Weni gak mau ngapa-ngapain,” ketus Weni kalau ditanya soal diamnya itu.

Kini, aku sudah hadir di tengah-tengah para pelayat lainnya. Segera dalam hati aku tak lagi berniat masuk kerja. Kasihan, pikirku. Weni dan keluarganya terbilang tetangga baik, dan rumah mereka cukup dekat dengan rumahku. Aku melihat Fira masuk ke gerombolan para pelayat wanita. Menghampiri sejenak ke dekat kak Juwita. Kulihat kak Juwita tak henti menangis. Matanya sembab, ia seperti terjerambab dalam lubang dosa, lantaran tak pandai merawat Weni yang tak sempurna jiwa.

Seperti jauh dari harapan mereka sekeluarga, kata para pelayat, Weni itu kelorong. Orang-orang jawa biasa membilang itu, seperti tersiksa batin akibat kehilangan orang yang dicintai. Lantas, dengan segera orang yang dikenai kelorong akan lekas ikut beralamat duka seperti orang yang dipikirkan.

Sempat aku tak percaya soal itu, pikirku itu hanya kata orang-orang kampung yang tidak punya alasan kuat untuk memberi jawaban atas kematian Weni yang terbilang cepat. Ya, cuma empat bulan berselang. Weni pun menjemput sang ibu.

Begitu juga dengan ayah dan adik-adik Weni lainnya. Meski selama hidup selalu meresahkan dan merepotkan. Namun dengan kepergian ini, Weni seolah jujur bahwa memang ia tak ada guna hidup di dunia.

Kulihat sepertinya sebentar lagi jenazah Weni akan dibawa ke pemakaman. Hanya beberapa orang saja yang turut dalam acara itu. Ada kak Juwita, ayah dan adik Weni juga tak ketinggalan wak Dullah turut bersama.

Memang, di pemakaman ini ibu Weni dikebumikan. Tak lama berselang tubuh berat Weni sebentar lagi akan diletak pula, bersebelahan dengan pusara sang ibu. Para tetangga pun sempat menaruh tangis yang mengucur saat jenazah Weni ditimbun ke dalam liang. Namun dari arah belakang, entah siapa itu, ada yang bilang disaat Weni jatuh sakit ia ternyata sudah pandai menghapal fatihah. Entah siapa yang mengajarinya. Padahal, Weni yang kutau tak pernah mengecap bangku sekolah walau di sekolah luar biasa sekalipun. Namun yang mengherankan, Weni bilang kepada kak Juwita.

“Ibu yang ngajari Weni hapal fatihah, Kak.” Dengan bacaan yang gagap, gadis yang usianya setahun lebih muda dariku itu seolah memberi jawaban yang tak masuk akal.

Aku bingung, menggeleng kepala dalam dada. Sungguh, tiba-tiba aku lihat tanah Weni dan ibunya saling beradu. Bergelombang dan bergetar. Ada suara yang berdetak-detak dalam makam itu.

“Serrr !!!” Dan aku seketika merinding.



Medan, 20 Februari 2008

Dimuat dirubri REBANA-Minggu Harian Analisa
Pada tanggal 9 Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar