Rabu, 22 April 2009

Kharismatik Bunyi-bunyian Pada Puisi

Oleh : Sukma


Inilah sekumpulan puisi yang ditenun oleh lima orang penyair FLP-Sumut Angkatan III. Sebuah ide tulisan yang ditanak menjadi larik-larik yang menggelitik. Ditemakan dari muasal dua kata yang tak berkerabat, yakni “Ranting dan Embun”. Alhasil, jadilah bersajak-sajak dari mereka (yang ketika malam itu) saya terkagum-kagum membacanya.

Bayangkan, sajak-sajak yang diramu ini cuma diidekan dalam kurun waktu tidak lebih dari persinggahan senja dan malam. Itulah saya, yang kerap menawarkan, mengulik dan mengiris ide-ide gila buat mereka yang ingin bertandang ke alamat karya. Kegilaan saya kerap tidak disangka, terkadang saya sadar, kadangpun setengah sadar dan yang herannya, malah saya begitu asyik menyaksikan orang-orang dikepung rasa gila akibat kegilaan saya itu. Itu sungguh mengasyikkan!

Betapa tidak, orang-orang yang saya tawarkan itu menyambut baik tantangan cash pulsa dari saya. Bukan soal berapa jumlahnya. Tetapi, tantangan itu sering pula dianggap sebagai sebuah petualangan yang membuat siapa saja berminat untuk menjemputnya.

Dan mereka adalah Sitha Murani, Selvi Rani, Yunita Nursyahmi, Mayasari dan Wulandari. Ya, itu deretan nama yang bisa bernada bunyi dalam puisi.

Kita awali dari sajaknya Yunita Nursyahmi dalam Pemulung Tua. Sepintas kata demi kata yang dibumbui oleh penyair membuat kita lebih terang memaknainya. Pesan pemaknaan itu tidak mengalami semacam gelontoran ide yang mengais-ngais imaji para pembaca secara umum. Dari tong sampah/Ke tong sampah/Kau berjalan terpapah/Terik mentari telah pun bersahabat/dengan ringkihmu.

Suguhan pertama oleh Yunita tengah berhasil menggaet hati pembaca untuk menidurkan angan-angan yang lapuk. Ini yang sepintas dilarikan penyair dalam larik berikutnya; Tampak cucuran bening/Serupa embun/Mengalir gurar-gurat penuh kebahagiaan.

Serupa dengan tampilan puisi kedua yang disajikan penyair dalam Doa yang Menggantung. Keberanian penyair untuk lebih dalam, lebih liar dalam sajak-sajaknya benar-benar teruji dalam kata per kata yang dipilihnya. Ia-nya tidak kuasa melepas semua yang (kira-kira) bernada penghambaan, kereligian atau bahkan keputus-asaan dalam berdoa. Syairnya bergumam laksana harapan yang harap-harap cemas; Yah, telah banyak/Rangkaian harap/Kuterbangkan padaMu/Namun tampaknya masih menggantung/Di ranting-ranting langitMu.

Tidak usai sampai di situ, Nursyahmi pun kunjung mantap keragu-raguannya pada puisi berikutnya. Pada Kilaumu Pagi Ini nyata betul ketidakpastian pesan pemaknaan yang hendak ia suguhkan pada pembaca. Sekilas memang tampak nikmat, namun pada ending berikutnya sepertinya kenikmatan itu tidak sanggup Yunita sempurnakan sebagai sebuah rasa entah apa namanya—bisa kehampaan, kesedihan atau kenikmatan— yang tak sempurna.

Begitu juga Wulan, yang dia hilirkan sejudul puisi pada saya malam itu juga. Kesan yang timbul ketika sajak itu terbit ke ponsel saya, maka keinginan Wulan untuk terbang lewat...sayap-sayap rindu/Mencari sekeping hati/yang hilang/Mengitari hutan perasaan tanpa sinar/Heliuk-liuk indah/Hinggap di ranting hatimu...Cukup mewakili angan saya yang kerap rela dibawanya terbang.


Nuansa kerinduan, keinginan ingin bertemu pada sosok yang sangat dinanti serta rasa ketidakberdayaan, teramat mengental pada puisi berjudul Terbang ini. Mungkin, ruang kosong dalam dada, yang kala itu, dimiliki Wulan telah berhasil menyeretnya ke dalam sebuah keadaan yang menuntun sayap-sayap patahnya sebagai sebuah simbol ketidakmampuannya melahirkan segenap rindu yang dirasa.

Hmm, sebenarnya puisi ini cukup mengundang saya. Karena saya tau, kelebihannya tidak percuma pada permainan kata-kata belaka. Tapi Wulan mampu memberikan ruh dalam puisinya. Hingga ia terkesan hidup dan merambat ke hati saya. Ya !

Tak ayal, tatkala sebuah sajak bikinan Maya mendarat pula berikutnya, benak saya terasa dikail-kail. Maya malah menaruh sebagain isi kepala saya, sepintas keluar dari apa yang saya rasakan, melainkan lebih kepada apa yang saya pikirkan.

Lihat saja gayanya bertutur dalam Mengembun Maya ! Tak tanggung-tanggung, benak kita akan terus diajaknya mengembara dalam jurang-jurang, tebing-tebing yang ia kemas pada macam-macam simbol dan macam-macam lelakon. Itulah... ranting/sebuah rasa/Ujung sebuah mula/Akhir segala tunggu/Matiku dalam waktu/Hidup terus berubah. Cintamu tak pernah tergugah/Mengembun maya,...

Kemudian yang mengerankan, kita (para pembaca) digiringnya ibarat main tinju, maka ending yang dihempas Maya laksana pukulan paling sakit yang dirasakan pada rahang seorang petinju. Itulah Maya ! Aku, Sia-sia, hanya itu endingnya. Dan kedepannya, ending itu wajib kita diskusikan bersama.

Lain Mayasari, lain pula Selvi Rani. Penggunaan nuansa alam di sajaknya bertemakan Mawar disinyalir begitu memesona. Tapi, kemudian entah sebab apa, saya sangat berharap pada Selvi (seharusnya) supaya lebih bombastis lagi mematah-matah ide itu menjadi kegurihan yang cespleng. Kepada Mawar/Jangan lagi kau nantikan embun/Pun ia tak pernah setia.

Kesederhanaan puisi ini lebih dititik-tekankan pada penguasaan tema yang cukup sepintas. Realisme yang muncul justru tidak begitu terang diwujudkan oleh penyair. Namun, saya sangat yakin kalau puisi ini akan sangat terasa lezat bila dihidangkan tepat di sebelah meja kerja para akuntan, sekretaris atau orang-orang yang berkutat dalam ruangan. Tatkala mereka lelah, puisi “Reranting Mawar” racikan Selvi kiranya menjadi setawar-sedingin bagi mereka yang dihasut kejenuhan bekerja.


Puisi yang terakhir datang dari Sitha Murani. Ada dua tangkai puisi yang dikirimkan pada saya. Setangkai awal, saya suka sekali dengan puisi itu. Namun setangkai berikutnya membuat saya sama sekali letih. Setangkai yang pertama berjudul Ranting dan Embun. Hingga tulisan ini diturunkan, saya sama sekali tidak menyangka kalau Sitha begitu lihai menghadirkan bunyi-bunyian dalam puisinya kali ini.

Bunyi-bunyian yang Sitha bawakan, jujur saja, membuat saya serasa berdendang dengan kata-kata yang dikemasnya. Ting.../Ting.../Ting.../Pohon ranting /Hasrat lenting /Terasa kering. Aneka bunyi yang dia tawarkan seolah menambah khazanah baru di “kesusateraan FLP Sumut”. Walaupun menurut saya, gaya puisi dengan model begitu sering saya dapati dalam puisi-puisi yang biasa dimuat pada Majalah Sastra Horison.

Ketertarikan saya pada puisi Wulan di atas memang tidak bisa dipungkiri bahwa karyanya benar-benar merenggut hati saya secara perlahan-lahan. Kemudian disusul oleh Maya yang malah menyuguhkan sajian lain dari sisi kognitif saya untuk lebih gamblang menikmati kegurihan sajaknya. Akan tetapi, padu-padan keduanya saya dapati justru pada karya Sitha Murani.

Rapi nian si penyair menjahit denting-denting suara yang dirangkainya menjadi alunan sajak yang merdu. Tema yang sederhana, kata-kata yang sederhana, ternyata tidak jadi jaminan untuk menghasilkan karya yang sederhana pula. Dan Sitha membuktikan itu. Karyanya luar biasa !

Secara tematik orang awam akan sangat terkesima dengan model puisi seperti ini. Hingga Jamal D. Rahman juga pernah menjelaskan dalam sebuah seminar puisi di Universitas Indonesia beberapa waktu lalu bahwa mengarungi keindahan dan kenikmatan puisi akan lebih terasa lebih sekiranya kita menapikan dulu makna, alur dan tujuan dari si penyair dalam sajaknya.

Ketertarikan orang membaca sebuah puisi akan dilihat dari sejauh mana ia benar-benar merasakan puisi itu nyata dan hidup. Efek samping dari bacaannya akan langsung terbaca.

Inilah pula yang ditambahkan Jamal D. Rahman bahwa penyair harus pula sanggup memasyarakatkan puisi lewat keindahan kata-katanya. Puisi yang berat akan terasa memuakkan ketika karya tersebut tidak bisa dengan jelas dirasakan kelezatannya saat itu juga, apalagi bagi para pembaca yang awam dengan puisi.

Hanya saja, dalam tangkai puisi kedua yang ditawarkan Sitha membuat saya seketika jenuh. Jenuh untuk tidak meneruskannya, jenuh karena terlalu panjang, dan jenuh karena banyak saya temukan aneka klise di dalamnya. Dan itulah karya sastra !

Tidak hanya dari sisi pembaca, kadangkala si penyair sering pula merasakan hal yang sama. Ada masanya mereka cenderung maksimal dengan karya-karyanya, ada pula cukup ala kadarnya saja.

Kejenuhan itu terpancar jelas dalam sajaknya yang berjudul Cerita Pagi..Aku juga mau cerita/tentang aku/Kuhanya sisa dari derasnya huja/guyur bumi/Tersisa dalam titik air/terus jatuh. Terkatung-katung larik yang Sitha hadirkan. Nyaris tidak punya nyawa.

Akan tetapi, saya sadari itulah proses kreatif kita dalam berkarya. Karya tetaplah karya. Siapa saja berhak mengkritisinya. Sebab ketika ia lahir dalam kondisi yang sempurna, bisa jadi saya malah curiga. Itu karya atau bukan !

Maka, kalau boleh saya urutkan puisi mana yang paling setia merenggut emosi saya, maka Ranting dan Embun karya Sitha yang berhasil melakukan itu. Selanjutnya, Mengembun Maya bikinan Maya berhasil masuk dalam urutan kedua.

Namun itulah evaluasi. Kerap masih jauh dari sempurna. Yakin saya bahwa karya yang dilakukan dengan terburu-buru dan dalam tempo yang cepat pun ternyata kita bisa hidangkan ke pangkuan pembaca dengan cukup asam garamnya. Apalagi kalau karya itu karya yang penuh daging. Persoalan kualitas, saya kira hanya tinggal militansi saja.

Maka, selamat berkarya. Selamat berdendang dengan lirik-lirik dalam sajak ke lima penyair ini. Semoga !



Medan, 22 April 2009
Saya penikmat pertama puisi-puisi ini

1 komentar:

  1. tengs buat tantangannya. setidaknya, 22 april itu aku jadi teringat, kalau aku masih penulis... :)

    BalasHapus