Rabu, 22 April 2009

Kharismatik Bunyi-bunyian Pada Puisi

Oleh : Sukma


Inilah sekumpulan puisi yang ditenun oleh lima orang penyair FLP-Sumut Angkatan III. Sebuah ide tulisan yang ditanak menjadi larik-larik yang menggelitik. Ditemakan dari muasal dua kata yang tak berkerabat, yakni “Ranting dan Embun”. Alhasil, jadilah bersajak-sajak dari mereka (yang ketika malam itu) saya terkagum-kagum membacanya.

Bayangkan, sajak-sajak yang diramu ini cuma diidekan dalam kurun waktu tidak lebih dari persinggahan senja dan malam. Itulah saya, yang kerap menawarkan, mengulik dan mengiris ide-ide gila buat mereka yang ingin bertandang ke alamat karya. Kegilaan saya kerap tidak disangka, terkadang saya sadar, kadangpun setengah sadar dan yang herannya, malah saya begitu asyik menyaksikan orang-orang dikepung rasa gila akibat kegilaan saya itu. Itu sungguh mengasyikkan!

Betapa tidak, orang-orang yang saya tawarkan itu menyambut baik tantangan cash pulsa dari saya. Bukan soal berapa jumlahnya. Tetapi, tantangan itu sering pula dianggap sebagai sebuah petualangan yang membuat siapa saja berminat untuk menjemputnya.

Dan mereka adalah Sitha Murani, Selvi Rani, Yunita Nursyahmi, Mayasari dan Wulandari. Ya, itu deretan nama yang bisa bernada bunyi dalam puisi.

Kita awali dari sajaknya Yunita Nursyahmi dalam Pemulung Tua. Sepintas kata demi kata yang dibumbui oleh penyair membuat kita lebih terang memaknainya. Pesan pemaknaan itu tidak mengalami semacam gelontoran ide yang mengais-ngais imaji para pembaca secara umum. Dari tong sampah/Ke tong sampah/Kau berjalan terpapah/Terik mentari telah pun bersahabat/dengan ringkihmu.

Suguhan pertama oleh Yunita tengah berhasil menggaet hati pembaca untuk menidurkan angan-angan yang lapuk. Ini yang sepintas dilarikan penyair dalam larik berikutnya; Tampak cucuran bening/Serupa embun/Mengalir gurar-gurat penuh kebahagiaan.

Serupa dengan tampilan puisi kedua yang disajikan penyair dalam Doa yang Menggantung. Keberanian penyair untuk lebih dalam, lebih liar dalam sajak-sajaknya benar-benar teruji dalam kata per kata yang dipilihnya. Ia-nya tidak kuasa melepas semua yang (kira-kira) bernada penghambaan, kereligian atau bahkan keputus-asaan dalam berdoa. Syairnya bergumam laksana harapan yang harap-harap cemas; Yah, telah banyak/Rangkaian harap/Kuterbangkan padaMu/Namun tampaknya masih menggantung/Di ranting-ranting langitMu.

Tidak usai sampai di situ, Nursyahmi pun kunjung mantap keragu-raguannya pada puisi berikutnya. Pada Kilaumu Pagi Ini nyata betul ketidakpastian pesan pemaknaan yang hendak ia suguhkan pada pembaca. Sekilas memang tampak nikmat, namun pada ending berikutnya sepertinya kenikmatan itu tidak sanggup Yunita sempurnakan sebagai sebuah rasa entah apa namanya—bisa kehampaan, kesedihan atau kenikmatan— yang tak sempurna.

Begitu juga Wulan, yang dia hilirkan sejudul puisi pada saya malam itu juga. Kesan yang timbul ketika sajak itu terbit ke ponsel saya, maka keinginan Wulan untuk terbang lewat...sayap-sayap rindu/Mencari sekeping hati/yang hilang/Mengitari hutan perasaan tanpa sinar/Heliuk-liuk indah/Hinggap di ranting hatimu...Cukup mewakili angan saya yang kerap rela dibawanya terbang.


Nuansa kerinduan, keinginan ingin bertemu pada sosok yang sangat dinanti serta rasa ketidakberdayaan, teramat mengental pada puisi berjudul Terbang ini. Mungkin, ruang kosong dalam dada, yang kala itu, dimiliki Wulan telah berhasil menyeretnya ke dalam sebuah keadaan yang menuntun sayap-sayap patahnya sebagai sebuah simbol ketidakmampuannya melahirkan segenap rindu yang dirasa.

Hmm, sebenarnya puisi ini cukup mengundang saya. Karena saya tau, kelebihannya tidak percuma pada permainan kata-kata belaka. Tapi Wulan mampu memberikan ruh dalam puisinya. Hingga ia terkesan hidup dan merambat ke hati saya. Ya !

Tak ayal, tatkala sebuah sajak bikinan Maya mendarat pula berikutnya, benak saya terasa dikail-kail. Maya malah menaruh sebagain isi kepala saya, sepintas keluar dari apa yang saya rasakan, melainkan lebih kepada apa yang saya pikirkan.

Lihat saja gayanya bertutur dalam Mengembun Maya ! Tak tanggung-tanggung, benak kita akan terus diajaknya mengembara dalam jurang-jurang, tebing-tebing yang ia kemas pada macam-macam simbol dan macam-macam lelakon. Itulah... ranting/sebuah rasa/Ujung sebuah mula/Akhir segala tunggu/Matiku dalam waktu/Hidup terus berubah. Cintamu tak pernah tergugah/Mengembun maya,...

Kemudian yang mengerankan, kita (para pembaca) digiringnya ibarat main tinju, maka ending yang dihempas Maya laksana pukulan paling sakit yang dirasakan pada rahang seorang petinju. Itulah Maya ! Aku, Sia-sia, hanya itu endingnya. Dan kedepannya, ending itu wajib kita diskusikan bersama.

Lain Mayasari, lain pula Selvi Rani. Penggunaan nuansa alam di sajaknya bertemakan Mawar disinyalir begitu memesona. Tapi, kemudian entah sebab apa, saya sangat berharap pada Selvi (seharusnya) supaya lebih bombastis lagi mematah-matah ide itu menjadi kegurihan yang cespleng. Kepada Mawar/Jangan lagi kau nantikan embun/Pun ia tak pernah setia.

Kesederhanaan puisi ini lebih dititik-tekankan pada penguasaan tema yang cukup sepintas. Realisme yang muncul justru tidak begitu terang diwujudkan oleh penyair. Namun, saya sangat yakin kalau puisi ini akan sangat terasa lezat bila dihidangkan tepat di sebelah meja kerja para akuntan, sekretaris atau orang-orang yang berkutat dalam ruangan. Tatkala mereka lelah, puisi “Reranting Mawar” racikan Selvi kiranya menjadi setawar-sedingin bagi mereka yang dihasut kejenuhan bekerja.


Puisi yang terakhir datang dari Sitha Murani. Ada dua tangkai puisi yang dikirimkan pada saya. Setangkai awal, saya suka sekali dengan puisi itu. Namun setangkai berikutnya membuat saya sama sekali letih. Setangkai yang pertama berjudul Ranting dan Embun. Hingga tulisan ini diturunkan, saya sama sekali tidak menyangka kalau Sitha begitu lihai menghadirkan bunyi-bunyian dalam puisinya kali ini.

Bunyi-bunyian yang Sitha bawakan, jujur saja, membuat saya serasa berdendang dengan kata-kata yang dikemasnya. Ting.../Ting.../Ting.../Pohon ranting /Hasrat lenting /Terasa kering. Aneka bunyi yang dia tawarkan seolah menambah khazanah baru di “kesusateraan FLP Sumut”. Walaupun menurut saya, gaya puisi dengan model begitu sering saya dapati dalam puisi-puisi yang biasa dimuat pada Majalah Sastra Horison.

Ketertarikan saya pada puisi Wulan di atas memang tidak bisa dipungkiri bahwa karyanya benar-benar merenggut hati saya secara perlahan-lahan. Kemudian disusul oleh Maya yang malah menyuguhkan sajian lain dari sisi kognitif saya untuk lebih gamblang menikmati kegurihan sajaknya. Akan tetapi, padu-padan keduanya saya dapati justru pada karya Sitha Murani.

Rapi nian si penyair menjahit denting-denting suara yang dirangkainya menjadi alunan sajak yang merdu. Tema yang sederhana, kata-kata yang sederhana, ternyata tidak jadi jaminan untuk menghasilkan karya yang sederhana pula. Dan Sitha membuktikan itu. Karyanya luar biasa !

Secara tematik orang awam akan sangat terkesima dengan model puisi seperti ini. Hingga Jamal D. Rahman juga pernah menjelaskan dalam sebuah seminar puisi di Universitas Indonesia beberapa waktu lalu bahwa mengarungi keindahan dan kenikmatan puisi akan lebih terasa lebih sekiranya kita menapikan dulu makna, alur dan tujuan dari si penyair dalam sajaknya.

Ketertarikan orang membaca sebuah puisi akan dilihat dari sejauh mana ia benar-benar merasakan puisi itu nyata dan hidup. Efek samping dari bacaannya akan langsung terbaca.

Inilah pula yang ditambahkan Jamal D. Rahman bahwa penyair harus pula sanggup memasyarakatkan puisi lewat keindahan kata-katanya. Puisi yang berat akan terasa memuakkan ketika karya tersebut tidak bisa dengan jelas dirasakan kelezatannya saat itu juga, apalagi bagi para pembaca yang awam dengan puisi.

Hanya saja, dalam tangkai puisi kedua yang ditawarkan Sitha membuat saya seketika jenuh. Jenuh untuk tidak meneruskannya, jenuh karena terlalu panjang, dan jenuh karena banyak saya temukan aneka klise di dalamnya. Dan itulah karya sastra !

Tidak hanya dari sisi pembaca, kadangkala si penyair sering pula merasakan hal yang sama. Ada masanya mereka cenderung maksimal dengan karya-karyanya, ada pula cukup ala kadarnya saja.

Kejenuhan itu terpancar jelas dalam sajaknya yang berjudul Cerita Pagi..Aku juga mau cerita/tentang aku/Kuhanya sisa dari derasnya huja/guyur bumi/Tersisa dalam titik air/terus jatuh. Terkatung-katung larik yang Sitha hadirkan. Nyaris tidak punya nyawa.

Akan tetapi, saya sadari itulah proses kreatif kita dalam berkarya. Karya tetaplah karya. Siapa saja berhak mengkritisinya. Sebab ketika ia lahir dalam kondisi yang sempurna, bisa jadi saya malah curiga. Itu karya atau bukan !

Maka, kalau boleh saya urutkan puisi mana yang paling setia merenggut emosi saya, maka Ranting dan Embun karya Sitha yang berhasil melakukan itu. Selanjutnya, Mengembun Maya bikinan Maya berhasil masuk dalam urutan kedua.

Namun itulah evaluasi. Kerap masih jauh dari sempurna. Yakin saya bahwa karya yang dilakukan dengan terburu-buru dan dalam tempo yang cepat pun ternyata kita bisa hidangkan ke pangkuan pembaca dengan cukup asam garamnya. Apalagi kalau karya itu karya yang penuh daging. Persoalan kualitas, saya kira hanya tinggal militansi saja.

Maka, selamat berkarya. Selamat berdendang dengan lirik-lirik dalam sajak ke lima penyair ini. Semoga !



Medan, 22 April 2009
Saya penikmat pertama puisi-puisi ini

Ranting-Embun dalam 5 Penyair

Oleh : Sukma

Karya Yunita Nursyahmi

Pemulung Tua

Dari tong sampah
Ke tong sampah
Kau berjalan terpapah
Terik mentari telah pun bersahabat
dengan ringkihmu

Tanganmu yang seperti ranting tua
Tampak gemetar
Memikul keranjang
Berisi sampah daur ulang

Namun
Pada pancaran susah wajahmu
Tampak cucuran bening
Serupa embun
Mengalir gurar-gurat penuh kebahagiaan




Doa yang Menggantung

Tuhan,
Aku berdoa lagi
Moga kau tak bosan menjamunya
Yah, telah banyak
rangkaian harap
Kuterbangkan padaMu
Namun tampaknya masih menggantung
Di ranting-ranting langitMu

Makin bersungguh-sungguh
hati ini meminta
Hingga hanya menggantung di sana



Kilaumu Pagi Ini

Selamat pagi, Cantik !
Ah, mengapa bola mata itu
Kilaunya berbeda
Tak seperti embun
Meronakan pagi hari
Pendarnya hanya bias
Diantara bulir sisa sembabnya


Karya Wulandari

Terbang

Aku terbang dengan sayap-sayap rindu
Mencari sekeping hati
yang hilang
Mengitari hutan perasaan tanpa sinar
Heliuk-liuk indah
Hinggap di ranting hatimu
Tak lagi aku temui jalan keluar
Tersesat aku dalam cintamu

Sayap-sayapku lelah
Tak kuasa lagi terentang
Tak jua kucicipi
Embun segar cintamu
Aku tak tau,
Dimanakah rinduku berlabuh ?


Karya Mayasari

Mengembun Maya

Inilah ranting
sebuah rasa

Ujung sebuah mula
Akhir segala tunggu
Matiku dalam waktu
Hidup terus berubah

Cintamu tak pernah tergugah
Mengembun maya,
hayal membawa
Tiada menjawab menyapa

Aku,
Sia-sia



Karya Sitha Murani

Ranting dan Embun

Ting...
Ting...
Ting...

Pohon ranting
Hasrat lenting
Terasa kering

Bun...
Bun...
Bun...

Titik embun
Luka timbun
Tampak rimbun

Ranting
Embun

Cinta jatuh ke ranting
Bermain dengan embun
Ceritaku oh, ranting
Dukaku oh, embun

Ranting
Embun
Berdenting
dalam rumpun



Cerita Pagi

Hai, Embun..
Aku mau cerita
Tentang aku
Sering kali dedau bergantung
Rela kau topang dia

Heh, buahnya hanya penggoda iman
Kucium saja ia
Ranum tak bisa kuhirup
Lezat tak kuasa kutelan

Hai, Ranting...
Aku juga mau cerita
tentang aku
Kuhanya sisa dari derasnya hujan
guyur bumi
Tersisa dalam titik air
terus jatuh

Heh...kalau mentari terik
Aku kering
Hilang
Maukah menunggu aku muncul lagi ?
Tanyakan pada Tuhan
Kapan Dia mau guyur bumi lagi ?
Aku rela jadi sisa
penyejuk fajar yang tipis
Indah untuk senyap

Hai, Embun...
Besok kau masih datang padaku ?
Menjadi pelukis seni daunku
TitikMu begitu kurindukan

Hai, Ranting...
Kalau bisa kau masih
mau menopangku ?
Sebentar saja
O, fajar
Ikhlas aku bergantung padaMu, Ranting...

Kau topang kanvasku
Biar kuhias dirimu, Embun...
Kau cat buatku
Minuman pelepas dahaga
Ini cerita kita
kala pagi tiba
begini selamanya

aku cinta cerita ini



Karya Selvi Rani

Reranting Mawar

Kepada Mawar
Jangan lagi kau nantikan embun
Pun ia tak pernah setia

Lupakah pada reranting
penyangga tubuh yang tak pernah mengeluh ?

Meski,
Satu persatu kelopakmu meluruh...

Kamis, 16 April 2009

Suara Jangkrik

Oleh : Sukma

Krikkk...Krikkk.... Krikkk....

Hendi berulang kali membolak-balik badannya. Matanya terbuka, matanya tertutup. Napasnya berat. Tampak ia sangat kesal. Suara jangkrik yang ada di dapur terasa menggangunya. Deritnya suara itu membuat ia tidak bisa tidur malam ini. Salah, bukan hanya malam ini tapi nyaris tiap malam.

Hendi pernah bilang pada ibunya kalau tiap malam tidurnya tidak pernah pulas. Pasti semuanya karna jangkrik-jangkrik itu.

“Sialan !” Kata Hendi kesal

Ia melempar gulingnya ke bawah. Hendi bangkit dari kasur. Beranjak ke kamar ibunya. Kebetulan sekali, kamar ia dengan kandang-kandang jangkrik milik ayahnya itu sangat berdekatan. Jadi wajar kalau suaranya terasa bising di telinga Hendi.

Ia keluar kamar. Pas sekali. Yang pertama dilihatnya pastilah kandang-kandang jangkrik itu. Bukan satu atau dua kandang yang tergolek di lanti, melainkan semuanya ada 15 kandang. Duh, tidak terbayangkan kalau semua jangkrik mengeluarkan suara seperti itu.

Hebatnya lagi, jangkrik tidak bersuara serempak. Mereka punya irama khusus. Kalau seekor jangkrik bersuara maka seekor yang lain pasti akan saling membalas.

“Diaaammmm....!!!” Teriak Hendi marah

Diambilnya sandal yang ada di depan kamarnya kemudian dilempar ke arah kandang jangkrik-jangkrik itu.

Keletak....!!

Lemparan Hendi tepat mengenai kandang yang satu. Jangkrik itu diam. Namun beberapa detik berikutnya suara mereka menyala lagi.

Aih, Hendi tampak tidak bisa menahan emosi. Hendak diambilnya gagang sapu. Tapi keburu ayah-ibunya keluar dari bilik kamar.

“Hendi, kamu kenapa, Nak ?” Suara ibunya mengagetkan Hendi seketika. “Apa yang kamu lakukan di situ, Hen ?”

Hidung dan mulut Hendi bergerak-gerak. Manyun. Ayahnya dari arah belakang juga tampak membututi sang ibu.

“Aku tidak bisa tidur, Bu. Jangkrik-jangkrik ini berisik.” Balas Hendi tak senang.

Ayah dan ibunya saling berpandangan. Kemudian mengelus kepala Hendi pelan.

“Lalu, suara gedebuk itu ? Kamu melemparnya, iya ?”

Ayah menatap Hendi tajam. Dan Hendi menggangguk lemah.

Krikkk...Krikkk.... Krikkk....
Krikkk...Krikkk.... Krikkk....

“Dengar itu, Bu. Suaranya itu membuatku pusing,” Hendi berkata lagi.”Sudah seminggu ini aku tidak nyenyak tidur, Yah.”

Dulu, ketika kamar Hendi masih di lantai dua, ia tidak pernah merasa terganggu seperti ini. Ia bisa dengan nyaman tidur sesuka hati. Bahkan saking nyamannya, ia sering kelewatan waktu shubuhnya. Tapi sekarang berbeda. Jangkrik-jangkrik itu diserahkan kepada Hendi. Ayahnya ingin memberi tanggung jawab baru buat Hendi agar ia bisa mandiri.

Memang benar, suatu hari ayahnya pernah berjanji kalau kelak ia lulus UN dengan baik ada hadiah sepeda baru yang akan dibelikan ayahnya. Akan tetapi, ayahnya tidak mau segampang itu. Hendi disuruh merawat jangkrik-jangkrik itu dengan serius.

“Tapi, Hendi kan sudah janji, kalau jangkrik-jangkrik itu cukup umur bisa kita jual bersama. Nah, uangnya kan bisa tambah-tamba buat beli sepeda baru, bukan ?” Suara ayah tiba-tiba menyala.

“Iya, yah. Tapi kalau begini terus Hendi bisa sakit. Habis...tidurnya terganggung terus.”

Keesokan paginya, Hendi benar-benar amat mengantuk untuk mengikuti pelajaran di kelas. Tepat waktu itu pelajaran agama. Ustadz Amir, guru agama di kelas hanya bisa geleng-geleng kepala saja.

“Hendi, kamu ngantuk ? Begadang ya ?” Tanya Ustadz Amir seketika

“E-e, anu, Pak. Iya !!” Hendi tergagap

“Iya, Pak. Hendi ngurusi jangkrik-jangkriknya jadinya lupa tidur tuh. Ha...ha...”
Seru Bondan, anak yang dikenal bandel di kelas.

“Huss...kamu tidak boleh begitu, Bondan! Tidak baik meledek seperti itu. Hendi, sekarang cuci mukamu, setelahnya kamu masuk ke kelas lagi, ya.”

Hendi menurut saja. Teringat kejadian tadi malam ia memang sangat kesal. Ini bukan hal yang pertama, bahkan sudah yang ketiga kalinya. Dan Bondan pun yang paling sering membuat kelas riuh lantaran ledekan itu selalu tertuju untuk Hendi yang tertidur di kelas.

Ustadz Amir menjelaskan panjang lebar tentang pelajaran hari ini, termasuk perihal Hendi yang tidur di kelas.

“Belajar yang rajin tidak hanya cukup, Anak-anak. Kalian juga harus sering berdoa.

Menjalankan tahajud sangat efektif untuk berdoa kepada Allah. Apalagi kalian kan sebentar lagi mau UN. Nah, belajar saat tengah malam juga sangat efektif. Cobalah sesekali, apalagi setelah tahajud. Tidak usah terlalu lama. Sukup sejam saja. Nanti kalian bisa rasakan hasilnya.” Kata-kata Ustadz Amir itu direnung-renungkan oleh Hendi.

“Tahajud dan belajar malam ?” Kata Hendi dalam hati

Tidak sekedar itu, tiba-tiba saja terbayang olehnya sepeda baru yang akan dimilikinya kalau nilai ujiannya nanti bagus. Ia bakal bisa jalan-jalan dengan Wita, Putri, Dandi dan Nurul kalau sekiranya sepeda baru itu bisa ia dapatkan. Memang, cuma Hendi saja dari keempat temannya itu yang hingga kini belum memiliki sepeda.
Selepas pulang sekolah Hendi langsung menuju rumah.

Ia khawatir kalau-kalau kamarnya sudah dipindahkan ayahnya ke lantai dua lagi. Dan itu pasti membuatnya nanti malam tidak bisa tahajud dan belajar malam seperti yang dibilang Ustadz Amir.

Sesampainya di rumah, Hendi langsung mengarah ke dapur. Matanya celingak-celinguk. Hanya ia temui ibunya yang tengah asyik memasak. Tapi kandang jangkrik ? Kemana kandang jangkrik ? Kenapa tidak ada derit suara jangkrik ?

“Ibu...bu...mana kandang jangkrik kita ?”
Ibu Hendi terpana. Ia melihat tampang anaknya yang serba tergopoh-gopoh pulang dari sekolah.

“Kenapa, Hen ? Kok kelihatannya sangat panik.”

“Iya, Bu. Mana jangkrik Hendi ?”

“Tapi, katanya kamu merasa terganggung dengan jangkrik itu. Ya, terpaksa tadi pagi ayah dan ibu berunding untuk menjualnya saja ke Pak Dundung. Memangnya kenapa ?” Tanya ibu tak mengerti

Mendengar itu Hendi teringsut lemas. Sepertinya harapan memiliki sepeda baru mulai pupus lagi. Dengan lemah ia ceritakan maksud dari keinginannya itu pada sang ibu.

“Tak usah panik. Ayah tidak menjualnya semua kok. Nih masih ada satu kandang lagi. Kamu bisa bawa tidur untuk membangunkanmu solat tahajud. Dan sebagian uangnya sudah ayah tabung untuk bekal sepeda barumu nanti.” Tiba-tiba suara ayah muncul dari arah belakang.

Hendi dan ibunya seketika tersenyum kagum. Mulai nanti malam Hendi sepertinya tidak akan terganggu lagi dengan suara jangkrik itu.

Krikkk...Krikkk.... Krikkk....




Medan, 14 April 2009

Selasa, 14 April 2009

Luka

Oleh : Sukma

Kebetulan saja ketika saya mendengar denting gitar maka meringis-ringis hati saya. Kemudian akan mengalir darah dari telinga, mata, hidung dan mulut saya seketika. Tidak tau mengapa begitu. Terangnya, itu terjadi sejak ayah tidak menyukai saya bermain musik, memetik gitar. Darah itu setia mengalir dari seluruh tubuh saya. Banyak sekali.

Ayah sangat berang kalau mendapati saya duduk-duduk di tepi gubuk hanya untuk memainkan sepucuk lagu. Setelahnya ayah akan datang, kemudian merampas gitar yang waktu itu saya peluk. Saya terkejut. Namun ayah lebih terkejut melihat laku saya begitu lagi.

“Sudah berapa kali kubilang, nanti kau pemalas kalau mainmu bergitar saja !!” Mata ayah merah. Dadanya kulihat naik turun. Tapi gitar saya sudah berpindah ke tangan ayah.

“Rindo tidak lalai dengan tugas, Yah !” Kata saya lemah.

“Kau memang tidak lupa tugasmu, tapi kau tidak dengar perintah ayah, kan ?!”

Saya makin tidak mengerti. Ayah hanya akan melarang saya bermain gitar kalau waktu makan, belajar dan membantunya telah tiba. Usai itu, saya tidak mengapa memeluk gitar. Bersiul-siul dan menari-menari dengan not-not gitar.

Alangkah sepi dada saya sekiranya ayah tidak mengembalikan gitar itu ke pelukan saya. Saya sering melakukan apa saja agar saya bisa memetik gitar itu lagi. Ayah tidak mengerti betapa gitar itu cukup berharga untuk saya.

“Rindo ingin gitar itu, Ayah.” Pinta saya sambil menanam sedih di wajah.
Ayah hanya diam. Mata ayah tidak melihat mata saya.

“Rindo hanya ingin melihatnya saja, Yah. Sebentar saja !”

“Ayah tidak suka kau bermain gitar, Rindo, mengerti !”

“Kenapa, Yah ?”

“Kau masih kanak-kanak. Masih SD saja sudah bertingkah. Tau rupanya lagu-lagu yang kau mainkan itu. Ayah tidak suka kau menyanyikan lagu orang dewasa seperti itu. Paham!”

“Rindo tidak pernah melakukan itu, Yah.”

“Lalu ?”

“Ayah tidak pernah mendengar Rindo bernyanyi, kan ? Rindo rindu dengan emak,Yah. Rindo bernyanyi untuk emak. Bukan seperti lagu yang ayah maksud.”

Wajah ayah berpaling ke arah saya. Tajam. Ada danau yang menggenang di mata ayah. Seketika berpaling lagi wajah ayah. Entah kemana.

“Tidak ! Kau boleh bermain apa saja, asalkan jangan gitar.” Tambah ayah pula

Bukan tidak kesal saya mendengar ucap ayah begitu. Saya hanya bisa berlari ke tepi gubuk. Berdiam diri di sana. Menatap sawah-sawah yang terbentang. Namun tangan saya tidak henti memukul. Apa saja yang bisa saya pukul. Hingga sering meninggalkan nyeri di pergelangan tangan.

Yang pasti, bukan saya marah pada ayah. Saya tidak pernah benci pada ayah. Meski sesekali rasa kesal dengan sifat ayah selalu muncul. Namun jauh dari itu, saya marah dengan diri saya. Saya marah dengan kecintaan saya pada gitar.

Dulu, emak sering menyanyikan saya dengan lagu aneka judul. Saya suka mendengar emak bernyanyi. Emak memang tidak bisa bermain gitar. Emak setia mengajak saya bertemu mimpi kala saya hendak tidur dengan dendang yang menarik hati.

Entah kenapa kini emak lupa pulang. Banyak orang-orang menganggap emak diguna-guna. Emak sering dijumpai orang menari-nari di panggung-panggung. Emak menyanyi pula di sana.

Tapi, saya tidak pernah melihat emak berlaku begitu. Selalu saja saya tertarik ingin berjumpa emak saat ia menari di panggung. Alangkah berembun hati saya kalau saat begitu dapat bertemu dengan emak. Selanjutnya emak bernyanyi di atas panggung dan lagu yang dinyanyikan emak itu dihadiahkan untuk saya.

Ingin rasa, ingin setia
Membalur cahaya di semenanjung cinta
Kau hadir, kita hadir
Memeluk hujan sepanjang petang
Atau,
Berkejaran dengan bayang-bayang mentari...


Ah, sungguh ! Saya ingin melihat emak menyanyikan syair itu lagi.

Hanya saja, ayah tidak pernah jujur berkata itu kepada saya. Ayah selalu berkata bahwa emak sudah dijemput tuhan. Emak sudah tiada, Ran ! Itu selalu ucap ayah.

Sering saya bingung menerka kata-kata itu. Ucap siapa yang musti saya akui. Kata-kata siapa yang seharusnya saya percayai. Saya menggeleng dalam. Saya tidak tau.

Kata siapapun itu, yang penting saya ingin bertemu emak. Maka gitar lah, yang membikin saya bisa bertemu dengan emak. Saya serasa dipeluk emak kala saya bernyanyi. Kala saya memetik senar gitar.

Padahal saya akui, saya pun tidak lihai memaknai apa itu sumbang, apa itu cempreng. Hanya yang saya bisa, itu yang saya petik. Namun tatkala ayah merampas gitar saya, saya makin jauh dari emak. Sejak itu saya sering mengeluarkan darah.

Darah itu yang kemudian membanjiri seluruh kamar saya hingga ke kamar mandi, ke kasur-kasur dan ke gubuk dimana dulu saya dan emak sering melepas rindu.

“Rando ingin gitar itu, Tuhan, biar emak lekas datang,” itu doa saya kalau saya begitu merindu emak. “Kalau emak dengar, ajak emak pulang, ya Tuhan ! Rando ingin mendengar emak bernyanyi lagi. Sebait pun jadi !”

Saya tidak pernah menangis kalau saya tengah berdoa. Paling-paling doa itu yang saya rasa sering menitis air mata. Doa laksana manusia. Menurut pikir saya, cuma doa yang bisa menangis karena doa begitu paham, apakah itu akan terkabul atau malah hanya sia-sia saja.

Tapi emak, tidak pernah mengabari saya untuk kita tiada pernah berhenti berdoa.

“Kalau kau berhenti berdoa, Nak, maka emak lah yang akan menangis. Tentu kau lebih sedih melihat emak menangis, bukan ?” Emak membilang itu saat saya pulang dari surau terlalu cepat.

Itu saja. Saya tidak pernah melihat emak menangis. Saya tidak pernah melihat emak terluka dibuat hidup yang serba kering. Emak selalu berjanji akan melihat saya kalau-kalau suatu hari nanti saya lihai memeluk gitar.

“Tubuh Rando masih terlalu kecil. Nanti kalau sudah gede, barulah !”

“Emak kan menunggu Rando besar, kan ?” Kata saya waktu itu

“Pasti, Nak. Ibu mana yang tidak ingin melihat anaknya lekas besar. Apalagi mahir bermain gitar.”

“Rando janji, Mak, kalau Rando sudah bisa memeluk gitar, Rando ingin mengajak emak bernyanyi lagi untuk Rando.”

“Itu pasti, Nak !”

Hanya saja, setelah tak lama emak berucap begitu tiba-tiba saja ia menghilang. Tiada tau dimana berada. Ayah mulai berhamburan emosinya kala itu. Entah berkalung apa dadanya. Sering bertabur anak duri di mata ayah kalau saya melihatnya. Menyakitkan.
Padahal jauh-jauh hari saya amat tau, kalau ayah pun sangat lihai memetik gitar. Ayah pecandu gitar berat. Itu pula gitar yang dari dulu ayah dan emak bawakan untuk menguras berbait-bait lagu.

Kini pula kepiawaian ayah tiada kunjung saya temui lagi. Ayah mulai tidak kuasa membendung amarah kalau-kalau saya memeluk gitar. Mungkin saja ayah rindu pula dengan emak ? Mungkin pula denting gitar ibarat jarum-jarum runcing yang menikam ulu hatinya sesaat mendengar gitar itu saya petik ?

Mungkin saja !

Alangkah tidak bisa saya katakan pada emak kalau tangan saya kini sudah bisa menggapai batang gitar. Emak akan sangat senang melihat itu. Dan ayah, akan sering dikepung derita menyaksikan saya bermain gitar lagi.

Tapi apa yang saya buat, sekiranya saya membantah ayah maka ayah akan dihajar kesumat yang bergulung-gulung di matanya. Saya takut melihat ayah begitu.
Hingga sampai disuatu malam saya dikagetkan dengan sesuatu. Malam itu gitar saya ada yang memetik. Hati saya meringis. Saya bangkit dari kasur. Beranjak ke sebuah tempat. Dimana ada suara denting gitar dipetik. Saya segera mengarah ke muasal suara itu.

Tanya-tanya dalam hati terus bertabuh. Adakah ayah yang melakukan itu ? Atau emak memang telah pulang karena rindu dengan saya lantas memainkan sepucuk lagu untuk saya ? Saya seperti mimpi.

Lantas sangka saya ternyata benar. Ayah menyalakan gitar itu merdu sekali. Sepenggal lagu tentang emak tengah ayah bawakan. Suara ayah mendayu-dayu. Saya hanya mengintip dari bingkai pintu. Ayah duduk di sebuah bangku panjang di bawah pohon. Ayah makin berpekik melantunkan lagu.

Kasihan, ayah pasti rindu dengan emak !” Desis saya dalam

Suara ayah makin bertumbangan. Emosinya meluap-luap. Ayah berdiri. Menghentikan lagu itu seketika. Kemudian melakukan sesuatu di luar kiraan saya. Ayah menghantamkan badan gitar ke sudut bangku berulang kali. Benar, berulang kali.
Saya terbelalak. Ayah makin menjadi-jadi. Tangis ayah berderai-derai pula. Tapi gitar saya ! Ah, mengapa ayah lakukan itu ? Ayah kenapa ?

Semula saya sangat ingin berlari ke arah ayah. Merampas gitar itu segera. Tapi saya tidak sanggup. Saya hanya diam saja di bingkai pintu. Hebatnya, menyaksikan itu saya tidak menangis. Saya hanya merasakan tiba-tiba darah saya menetes lagi. Mulai dari telinga, mata, hidung dan mulut saya.

“Oh, tidak. Ayah jangan rusak gitar itu, jangan ayah !”

Itu kata-kata terakhir saya.



Medan, 12 Maret 2009