Minggu, 25 Januari 2009

Kaus Kaki Tanpa Lubang

Oleh : Sukma

Semakin ia memikir tentang mimpinya itu, kejadian yang lalu, semakin pula tidak bisa lelap tidurnya. Surawa, lelaki kurus bertubuh jangkung, wajahnya petak, rambutnya jigrak terus mantap menata diri untuk tidak mahir beranjak tidur.

Beberapa suster dan perawat sudah letih mengawasinya. Obat penenang sudah pula ditelan Surawa. Semua itu dibuat tiada lain hanya satu, supaya ia bisa tidur ! Itu ungkap seorang suster.

Tak seorangpun sanak-saudara yang datang menjenguk Surawa tatkala sakitnya itu datang menerpa. Mak Rih, ibunya Surawa, tidak pula berani menampakkan batang hidung meski melihatnya sekejap saja. Melambaikan tangan, melepaskan senyum atau pula menanyakan kabar sehat Surawa mustahil diwujudkan emaknya itu.

Sudah setahun Surawa mengidap penyakit yang dideritanya sekarang. Tapi cahaya kesembuhan belum pula merangkak naik dari kilau matanya. Mendung mata Surawa seperti petakan-petakan sawah yang lelap direndam hujan semalaman. Dingin. Layu dan rapuh.

“Aku mau jadi raja. Raja yang hebat, sesuka hati memerintah siapa saja,” ceracau Surawa makin beda-beda tiap harinya.

Namun, satu hal yang paling khas dari celotehnya itu kerap berisi pertunjukkan, adegan kerajaan atau pula sayembara peperangan untuk mendapatkan tahta mahkota sebagai pengganti tunggal tampuk pendamping ratu.

Sediakala memang sulit menerka letak dimana kesembuhan Surawa berasal. Matanya seperti menerbitkan kaca-kaca tajam beraroma tikaman. Apalagi tutur sapanya, Surawa akan ramah membentang senyuman. Kewibawaannya kalau disanjung beberapa suster dan dokter yang memeriksa sakit batinnya memang tidak bisa ditawar, pasti segera muncul. Surawa lekas menunjukkan taring kedigjayaan yang memantul dari pundaknya yang dinaikkan, dadanya yang dibusungkan serta ucapannya yang dibesarkan laksana monster yang tengah tertawa lebar.

Para suster telah mafhum akan hal itu. Tetapi beberapa pengunjung lain yang menjenguk pasien lain setidaknya menyimpan takut sesaat Surawa bertingkah ulahnya seketika. Hanya saja, beberapa dari pengunjung tidak pula menaruh curiga lagi.

“Itu memang ciri khas Surawa. Kalau tidak begitu bukan dia namanya,” seorang ibu memberi komentar.

“Kasihan, ya. Masih muda kok tidak terawat begitu. Padahal cukup tampan, kan?” Ibu yang lain menambahi.

Surawa sesekali mendengar ucap-ucap begitu dari sesiapa yang menuturkannya. Alhasil, apa yang sampai di daun telinganya membikin hati Surawa gelap rupa.

“Bicara apa kalian bisik-bisik, hah ?!” mata Surawa disaat begini pastilah membesar. Bukan hanya besar namun memerah pula.

Ibu-ibu yang asyik becakap itu malah memanggul takut seketika. Kalau sudah begini pastilah mereka mengatur jarak dari Surawa. Mundur selangkah atau berteriak minta tolong. Tapi diantara ibu-ibu tadi ada yang berkeliling pandang. Berharap ada suster yang singgah dan mencegah aksi gila Surawa kalau-kalau naik pitamnya.

“Kenapa ? Takut ?!”

Ibu-ibu itu makin meringis. Masih dengan mata berkeliling, mereka menangkap seorang suster melangkah ke bangsal tempat Surawa dan ibu-ibu tadi mengungkap cerita.

“Kalian tidak sopan. Bicara seenaknya saja pada raja. Ayo, sekarang bersujud di kakiku dan minta maaf. Cepat lakukan !” Kata Surawa berteriak

Daripada runyam urusan, ibu-ibu tadi mengambil langkah menurut saja. Dibungkukkan badan keduanya tepat mengarah ke ujung kaki Surawa lantas mencoba bersuara untuk melepas maaf dan tidak melakukan hal itu lagi kala raja Surawa tengah ada di dekat mereka.

Syukurnya, seorang suster yang semula hendak menjemput Surawa masuk kembali ke bangsal utama menyaksikan adegan itu segera. Dihentaknya Surawa keras, ditanya pula apa soal tingkah ibu-ibu yang berstatus tamu itu diperintahnya bersujud di ujung kakinya. Maka selanjutnya, dengan beberapa paksaan, beberapa perawat lelaki turut pula hadir memboyong tubuh berat Surawa masuk ke bangsal utama.

“Tunggu, Suster, mereka ini menghina saya sebagai raja. Mereka harus dihukum. Harus dihukum !!” Seraya mengamuk, Surawa berteriak-teriak hendak menuntun keadilan atas kerajaannya yang diusik.

Seperti yang pernah diceritakan Mak Rih, ibu Surawa itu. Surawa gelap mata tatkala tiga bulan lampau, ia sempat menghabisi nyawa bapak kandungnya. Berawal dari mimpi Surawa yang macam-macam. Kerap terwujud beralamat sakit sampai di rawat pula dirinya kini.

Awalnya, memang Surawa tidak nyenyak tidurnya. Banyak hal yang tentu dilakukan Surawa ketika hawa kantuk belum menggodanya. Diantaranya membaca kisah-kisah keraton jawa Mataram. Tidak tau apa sebab Surawa tidak bisa lelap tidurnya. Mungkin karena Surawa anak yang tak pernah menyelipkan cita-cita di dalam mimpi-mimpinya. Justru karena itu Surawa lebih sering dihantam resah, amarah dan kecamuk bapaknya.

Hari-hari Surawa hanya dikepung sunyi, luntang-lantung saja. Dari pos ronda, merokok, main gaplek, terkekeh-kekeh, lalu pulang hanya untuk makan malam atau makan siang saja. Itu yang mengundang bapaknya naik darah lagi.

Minimal, maulah Surawa membantu mencangkul ladang mereka. Mengangkat air dari sungai untuk persedian makan dan mencuci. Atau pula sesekali menyiangi rumput untuk makan dua ekor kambing mereka.

Tapi alih-alih, Surawa memang tidak punya nyali melakukan itu. Serasa tak modern pikirnya, anak muda sepertinya melakukan hal-hal yang dimaui bapaknya itu.

“Ah, bapak pikir aku ini apa ?! Cukup bapak saja yang melakukan itu. Heh, aku tidak mau meneruskannya. Aku capek, Pak.”

“Capek kenapa, Wa ?”

“Ya, iya. Capek aku jadi orang susah terus. Entah kapan bisa makan enak. Punya harta banyak, punya kekuasaan. Mana bisa kalau cuma berladang terus toh, Pak.”

“Oalah, Wa ! Pikiranmu itu lho. Mau gampangnya saja. Kamu saja mencangkul tidak mau, apa ya bisa jadi orang hebat kalau mengangkat air saja ndak mau.”

“Ah, sudahlah, Pak. Pusing aku.”

Pikir Surawa, enak kali kalau bisa seperti para raja-raja yang bisanya hanya memerintah. Suruh ini, suruh itu. Makan ini tinggal bilang. Mau permaisuri cantik tinggal pilih. Itulah yang membangun angannya untuk malas bekerja. Surawa hanya punya mimpi, tapi tidak punya aksi. Laksana raja Sanjaya yang dalam Carita Pahrayangan didapatnya dari mulut orang-orang kampung.

Beberapa buku sempat pula menjadi acuan Surawa untuk mengekalkan angannya menjadi seorang raja seperti Sanjaya, seorang raja dari kerajaan Medang-Mataram. Sanjaya memegang tampuk kepemimpinan setelah sebelumnya dipegang seorang raja bernama Sanna. Sanjaya yang mengeluarkan prasasti Canggal, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah di pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, kerajaan menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha saudara perempuan Sanna.
Nama Sanna tidak terdapat dalam daftar para raja model prasasti Mantyasih. Bisa jadi ia memang bukan raja Kerajaan Medang. Kemungkinan besar riwayat Sanjaya mirip dengan Raden Wijaya, yang mengaku sebagai penerus tahta Kertanagara raja Singhasari, namun memerintah sebuah kerajaan baru dan berbeda.
Dalam cerita-cerita yang didapat Surawa inilah yang menghantarkan ia pada sebuah mimpi panjang tanpa tepi. Mimpi awalnya, Surawa didatangi banyak bintang-gemintang yang indah bukan main. Bintang itu bertujuh, saling berputar-putar di atas kepalanya. Kemudian sebuahnya berbentuk seperti mahkota raja yang memendarkan cahaya paling indah ketimbang enam bintang lainnya.

Lantas, bintang bermahkota itu beradu bicara dengan Surawa. Mengatakan sesuatu yang membikin hati Surawa berubah pelangi.

“Hei, Surawa ! Tahukah kau, sesungguhnya raja Medang setelah Sanna itu adalah kau. Bukan Sanjaya. Aku tahu kau sangat ingin menjadi raja, bukan ? Sekarang saat yang tepat untuk mengabulkan itu, Surawa.”

Surawa masih mengerjap bolak-balik arah matanya. Merasa bahwa yang disampaikan bintang bermahkota itu adalah lanjutan dari kisah Pahrayangan yang dibacanya beberapa waktu sebelumnya.

“Kaulah raja itu, Surawa. Bukan sanjaya ! Yang ada hanya dirimu yakni raja Surawa,”
Setelahnya, Surawa sadar. Gelap pandang matanya. Namun hatinya berlinang cahaya. Surawa bangkit dan seolah yang dialaminya itu bukanlah mimpi. Begitupun keesokan harinya, Surawa dihadiri lagi bintang-gemintang seperti yang sudah-sudah. Hatinya makin tak tentram saja. Yang paling membikin Surawa heran, pesan terakhir bintang bermahkota itu kerap aneh-aneh.

“Jika ingin menggantikan Sanna sebagai raja. Maka ada satu syaratnya, Surawa. Kau harus membunuh ayahmu yang pengecut itu. Karena ayahmu itu yang menghalangi mimpimu menjadi raja. Karena ayahmu pula, kau sering diperlakukan tidak adil. Maka, bunuhlah ayahmu, Surawa. Bunuhlah !!”

Tidak tau Surawa perihal benar-salah mimpi itu. Surawa benar-benar sudah ditikam angan yang membikinnya gelap mata. Apalagi teringat Surawa pada aneka makian yang sering diterimanya tatkala pulang ke bilik rumah. Makin tak ayal setelahnya, Surawa terus menabung dendam pada sang bapak dalam-dalam. Diambilnya langkah mantap ke ruang belakang, diselipkan pula sebilah sabit yang menempel di dinding rumah ke dalam saku bajunya. Kini, Surawa siap memenggal leher bapaknya itu.

Apa yang terjadi ? Terang saja, Surawa melakukan itu dengan penuh seksama. Tanpa rasa tega, tanpa ucapan basmalah, lepas sudah kepala bapaknya itu dibuat Surawa bahkan menggelinding pula hingga ke kolong kasur. Maknya menjerit sangat histeris. Mengguncang tubuh jangkung Surawa agar sadar dari prilakunya barusan. Pintu-pintu tetangga digedor maknya. Semua heran, panik minta ampun. Dikejar juga maknya itu dengan posisi sabit masih di dalam genggaman. Namun, maknya masih berhasil menyelinap ke rumah seorang tetangga.

Usai kejadian itu, Surawa dipasung kaki-tangannya oleh orang-orang kampung. Ia dianggap terguncang mental. Sering Surawa senyum-senyum sendiri. Lagaknya bertingkah seperti raja. Aneka bintang-gemintang yang datang lebih dianggapnya sebagai para dewa yang menitiskan tahta kepadanya.

Tentu Surawa makin gagah saja bawaanya. Di dalam sebuah bangsal rumah sakit, Surawa tak henti menggagungkan diri. Seorang pasien dalam bangsal disuruh memijit kakinya, seorang yang lain memberikan air minum untuknya. Begitu Surawa memasang aksi sesaat para suster tidak segera memeriksa bangsal-bangsal mereka.

Apalagi kalau malam sudah meregang. Surawa akan setia menunggu bintang-gemintang itu datang. Menghadiahkannya sepotong mahkota, lalu berharap dijingkat sebuah tahta untuknya menjadi pengganti Sanna.

“Aku lah raja Surawa itu. Aku lah pengganti Sanna. Tidak ada yang bisa menggantikan tahta itu walaupun seorang Sanjaya. Aku kini, raja Surawa !”

“Heh, jangan ribut. Ayo, lekas tidur !” Begitu ucap suster penjaga bangsal mengingatkan Surawa.

Terlihat beberapa pasien sebangsal dengan Surawa, semua sudah rapi menutup selimut hendak menjemput mimpi. Sementara itu, Surawa tetap kewalahan, masih tak pandai dirinya memakai kaus kaki yang sebenarnya tidak berlubang lagi di kakinya kini.



Medan, 25 Januari 2009

Weni

Oleh : Sukma


Yang kutau nama gadis itu adalah Weni. Usianya lebih muda setahun dariku. Itupun kutau saat tadi pagi ada kumandang pengumuman dari toa mesjid bahwa gadis itu sudah beralamat mayat. Dipanggil Tuhan.

“Bang, sudah tau kak Weni meninggal ?” Tanya adikku, Fira.

Aku manggut. Pun sebenarnya kabar itu yang membuatku terbangun subuh tadi. Tahulah aku, kalau subuh itu kumandang azan sangat berisik. Mengusik telingaku yang asyik dengan balutan mimpi. Apalagi tak satu mesjid yang bersuara. Hampir belasan, suara itu menggema, saling bersahutan berputar-putar di atap kamarku.

Namun, tak jarang aku sendiri kaget mendengarnya. Dan sekejap lalu, aku akan tertidur lagi. Entah kenapa dengan pagi ini, kabar tentang Weni meninggal membuatku tak lekas kembali tidur. Menarik selimut lantas berulang menyambung mimpi. Kemudian subuh akan terselesaikan kalau emak sudah bolak-balik menggebrak pintu kamar. Sebagai tanda bahwa terang sudah datang.

“Abang tidak melayat dulu ?”Tanya Fira kemudian
Aku diam, masih mantap anganku mengingat tempo hari aku menyiram Weni dengan air. Membuatnya basar sekujur tubuh lalu dengan seketika dia tak marah bahkan terkekeh dengan mata sayunya itu. Bukan maksudku sengaja serius melecehnya, ketika segelas air kubuang dari ambang pintu dengan sekedarnya saja lalu dengan tubuh bongsor dan berat, Weni lewat tanpa pamit.

Aku terkejut, kalau sudah begitu aku akan sangat takut. Betapa tidak, seperti yang lalu-lalu ketika siapapun mencoba melecehkan Weni maka dengan langkah sigap Mang Warno, pamannya itu akan langsung membidik mata kita dengan seayun bogem mentah dari arah belakang Weni. Ya, seayun bogem mentah.

“Bang...! Kok ditanya malah ngelamun. Abang melayat tidak ?!” Suara Fira makin keras.

“Ya, aku melayat,” jawabku padat

Fira memang begitu. Sebetulnya kutau dia yang sangat ingin pergi melayat, biar ada kawannya kalau ia berhasil mengajakku pergi takziah.

Aku terus menguras tabungan angan-anganku yang kusimpan tentang Weni. Gadis bermata sayu itu tak heran bila sering dikata-katai, diejek dan juga jadi bahan tertawaan anak-anak kecil di sekeliling rumahnya. Sebabnya, tidak lain karena Weni perempuan jorok dan tak lihai merawat diri. Bukan tak jarang ia menyimpan tahi mata di sudut-sudut matanya yang beku itu. Bicaranya menganga dan sesekali ditambah dengan cengenges tak karuan. Juga soal, tindak lakunya. Tentu Weni bukanlah perempuan normal yang bisa diajak bermain. Terus dengan jalannya yang sempoyongan itu anak-anak akan sering menyebutnya; Leni gendeng !

Belum lagi suaranya yang serak dan berat. Ditambah lidah kelunya tak cecah mengucap huruf R dan L. Itulah Weni, gadis yang satu tahun lebih muda dariku. Untung saja ia masih punya seorang ibu yang setia merawatnya hingga kini. Masih tak heran bila gadis itu mesti disuapi bila hendak makan, sesekali sering pula ngompol kalau tidur malam. Walau sudah berulang kali sanak keluarga menghampiri para dukun, dokter, psikiater atau apalah namanya agar sembuh jiwa Weni kerap terlaksana. Bahkan tak cuma itu, ia sering pula ditanyai “nomor” untuk kali-kali angka pada buku sakti para penjudi.

Ada yang tembus, ada pula yang tidak. Lalu besoknya bagi yang tembus akan segera menyalami Weni dengan segulung uang.

“Buat jajan ya, Wen.” Begitu kata mereka yang kena nomor bidikan.

Akhirnya malang yang tak pernah diundang kini kunjung datang. Dua minggu setelah ibunya mendekap maut, Weni seperti tak punya lagi kata ceria di wajahnya. Sering ia melamun sendiri, ia tak suka lagi makan tanpa ada ibu yang menemani. Sering kak Juwita, kakak kandung Weni mencoba mengadu ke para famili hendak bercerita kabar Weni yang tak sudi lagi makan sendiri, tidur sendiri juga mandi sendiri. Ia akan mau, kalau almarhumah ibu yang menemani.

“Weni harus makan, Dek. Kalau tidak nanti Weni bisa sakit,” bujuk kak Juwita saat aku tak sengaja lewat di depan rumahnya.

Mata sayunya seperti digantungi ribuan beban yang tersangkut pada bulu-bulu matanya. Berat dan beku. Ia menatap bumi seolah ingin menikam-nikam tanah.

Sempat juga aku teringat ketika bulek Yem, ibu kandung Weni itu dimakamkan di pemakaman warga di ujung kampung. Semua pelayat termasuk aku mengisak tangis tak kunjung usai. Melihat Weni, si gadis gendeng itu sesekali berteriak ingin melihat hendak dibawa kemana sang ibu pergi.

Lazimnya orang normal, Weni tak sudi melihat sang ibu dibawa entah kemana. Rasa khawatir dan takut bergelayut dalam benaknya. Tentu, ia merasa orang-orang telah berniat menculik ibu darinya. Hingga saat itu tiba, tetap saja Weni taklah paham apa itu mati ? Dan apa itu pemakaman ? Kulihat ia menangis sangat hebat. Tidak seperti biasa, saat ia harus menangis waktu muncul hasratnya ingin dibelikan boneka barbie berwarna merah hati saat musim lebaran tiba. Aih, tiba-tiba saja aku bergidik melihat tangisnya yang kian menjadi itu. Sungguh, adegan itu membuat para pelayat tak sanggup mencegah aksi gendeng Weni.

“Jangan bawa ibuku...! Jangan !” Teriakan itu bukan lagi teriakan yang main-main. Pun ketika ia diejek, dihina, dikata-katai tak pernah amarahnya sedahsyat ini.

Sekarang umurku genap 22 tahun, berarti Weni sudah 21 tahun kini.

“Cepat, Bang. Nanti Abang terlambat ke kerjaan,” suara Fira masih menggangu anganku. Kulihat kini ia sudah rapi, berdandan hendak menjenguk jenazah Weni. Serasa aku masih tak lepas mengupas kembali anganku tentang gadis itu.

Juga tidak sampai situ, dengan berat langkah wak Dullah, bilal jenazah di kampung itu mengizinkan pula Weni turut hadir dalam acara yang sebenarnya menurut agama tak boleh anak perempuan dan ibu-ibu ikut menanam jenazah.

“Biarkan saja dia ikut tapi kalau jenazah sudah ditanam.” Kata wak Dullah memberi saran.

Aku hanya bisa melihat. Sebagai tetangga aku memang tak banyak tau soal keluarga Weni. Yang kutau, ibunya meninggal memang sudah banyak penyakit yang hinggap ke alamat badan. Tidak tau apa sebabnya, padahal umur ibunya tak kalah jauh dengan umur ibuku. Sama-sama sudah tua.

“Itulah maut, Dar. Hidup dan mati tak tau kita kapan akan datang. Makanya, kau jangan sombong ! Bisa-bisa kau yang lebih dulu mati ketimbang emak.” Itu kata emak saat aku bilang padanya bahwa umur mereka saling tak jauh beda.

“Ah, emak ! Kok jadi nakut-nakuti, horor, ah !” Balasku sambil seloroh

Sambil menggelar tikar di tepi makam, wak Dullah pun turut memulai doa sebagai penghantar kepergian ibu Weni menghadap ilahi. Weni hanya tercengang, matanya basah. Aku melihat mendung yang dalam pada wajahnya. Mendung yang selama ini tak pernah aku dapati meski ia diejek, dihina, dan dikata-katai.

“Jadi ibu ditanam disini, pintu masuknya darimana, Kak ?” Tanya Weni pada kak Juwita, kakak kandungnya itu.

Kak Juwita hanya diam. Tangisnya yang tak henti membuatnya tampak tak bisa menjawab, cuma sesekali ia mengusap kepala Weni pelan-pelan.

Begitupun seminggu setelah kematian sang ibu. Weni jadi jarang makan, tak suka jalan-jalan juga lebih suka sendirian. Lengkap sudah penyakit melekat pada tubuhnya, begitu kira-kira dokter berkata.

“Tidak ada ibu, Weni gak mau ngapa-ngapain,” ketus Weni kalau ditanya soal diamnya itu.

Kini, aku sudah hadir di tengah-tengah para pelayat lainnya. Segera dalam hati aku tak lagi berniat masuk kerja. Kasihan, pikirku. Weni dan keluarganya terbilang tetangga baik, dan rumah mereka cukup dekat dengan rumahku. Aku melihat Fira masuk ke gerombolan para pelayat wanita. Menghampiri sejenak ke dekat kak Juwita. Kulihat kak Juwita tak henti menangis. Matanya sembab, ia seperti terjerambab dalam lubang dosa, lantaran tak pandai merawat Weni yang tak sempurna jiwa.

Seperti jauh dari harapan mereka sekeluarga, kata para pelayat, Weni itu kelorong. Orang-orang jawa biasa membilang itu, seperti tersiksa batin akibat kehilangan orang yang dicintai. Lantas, dengan segera orang yang dikenai kelorong akan lekas ikut beralamat duka seperti orang yang dipikirkan.

Sempat aku tak percaya soal itu, pikirku itu hanya kata orang-orang kampung yang tidak punya alasan kuat untuk memberi jawaban atas kematian Weni yang terbilang cepat. Ya, cuma empat bulan berselang. Weni pun menjemput sang ibu.

Begitu juga dengan ayah dan adik-adik Weni lainnya. Meski selama hidup selalu meresahkan dan merepotkan. Namun dengan kepergian ini, Weni seolah jujur bahwa memang ia tak ada guna hidup di dunia.

Kulihat sepertinya sebentar lagi jenazah Weni akan dibawa ke pemakaman. Hanya beberapa orang saja yang turut dalam acara itu. Ada kak Juwita, ayah dan adik Weni juga tak ketinggalan wak Dullah turut bersama.

Memang, di pemakaman ini ibu Weni dikebumikan. Tak lama berselang tubuh berat Weni sebentar lagi akan diletak pula, bersebelahan dengan pusara sang ibu. Para tetangga pun sempat menaruh tangis yang mengucur saat jenazah Weni ditimbun ke dalam liang. Namun dari arah belakang, entah siapa itu, ada yang bilang disaat Weni jatuh sakit ia ternyata sudah pandai menghapal fatihah. Entah siapa yang mengajarinya. Padahal, Weni yang kutau tak pernah mengecap bangku sekolah walau di sekolah luar biasa sekalipun. Namun yang mengherankan, Weni bilang kepada kak Juwita.

“Ibu yang ngajari Weni hapal fatihah, Kak.” Dengan bacaan yang gagap, gadis yang usianya setahun lebih muda dariku itu seolah memberi jawaban yang tak masuk akal.

Aku bingung, menggeleng kepala dalam dada. Sungguh, tiba-tiba aku lihat tanah Weni dan ibunya saling beradu. Bergelombang dan bergetar. Ada suara yang berdetak-detak dalam makam itu.

“Serrr !!!” Dan aku seketika merinding.



Medan, 20 Februari 2008

Dimuat dirubri REBANA-Minggu Harian Analisa
Pada tanggal 9 Maret 2008

Kamis, 22 Januari 2009

Cerita Kancing Baju

Oleh : Sukma

Ada kancing bajuku di bajumu
Yang pernah mengikat rindu kita jadi satu

Dan, ada kancing bajuku di bajumu
Hingga warnanya kini berubah abu-abu
Kadang merah jambu
Kadang pula kuning kelabu

Masih ada kancing bajuku di bajumu
Tapi, kemarin…
tak kulihat lagi rindu itu terkancing di bajumu?

Medan, 14/08/08