Senin, 02 Februari 2009

Nek Maryam dan Narti

Oleh : Sukma

Orang-orang akan meletak pilu sesaat memandang tubuh Nek Maryam, begitu biasa perempuan tua itu disapa, harus menyeret kaki kanannya yang pincang hingga bermeter-meter jauhnya. Bajunya lusuh, hitam dan tak jelas warna rupanya. Nek Maryam hidup bersanding sepi, di rumahnya yang lengang hanya ada Narti, cucunya yang baru berusia lima tahun. Setiap akhir pekan, terkadang Narti sering pula diajak Nek Maryam jalan-jalan mengeliling pajak. Dan itu yang paling membikin Narti senang tinggal bersama Nek Maryam.

“Beli apa minggu ini kalau aku ikut ke pajak, Nek ?” Tanya Narti antusias

Maumu ?”

“Beli boneka, boleh ?” Usulnya

"Ah, itu terlalu mahal !”

Muka Narti sekejap berubah. Ditekuk dan melilitkan selembar kecewa di dalamnya. Murung pula dibuatnya.

“Kalau begitu, tak mau Narti ikut ke pajak !!” Tuturnya merajuk

“Macam orang kaya saja kau, Nar. Yang lain lah, tak ada uang nenek untuk beli boneka. Permen, roti, coklat atau ...”

“Bo..ne..ka. Titik !!”

Itu pula yang acap kali menambah gairah Nek Maryam datang ke simpang-simpang, membawa gayung, melilitkan seikat perban di kaki kanan yang bercampur obat merah, sering mengurungkan hatinya untuk tak lekas berhenti bekerja. Macamlah ulah Narti kalau pintanya itu tak berujung nyata.

Pernah dulu ketika Narti ingin dibelikan baju lebaran berwarna sepadan, atasan merah, roknya merah, selendangnya juga ikutan merah. Alahai, Nek Maryam kalang-kabut menyihir tenaganya untuk kerap mewujudkan inginnya itu. Yang ngerinya, Narti akan pasang aksi tak sudi makan, tak mau mandi atau pula tak pulang beberapa hari pernah jua ia lakukan supaya Nek Maryam mengabulkan pintanya seperti itu.

Alhasil, apa yang bisa Nek Maryam buat kalau bukan kerja setengah mati. Nek Maryam waktunya cuma habis di bawah matahari, berharap kasihan orang banyak yang seliweran di simpang-simpang. Melemparkan semacam recehan yang kadang tak seberapa. Apalagi untuk makan saja Nek Maryam tak jarang setengah-setengah. Namun untuk urusan Narti, Nek Maryam akan setia mengabulkannya. Meski entah darimana caranya.

Pernah suatu siang Nek Maryam nyaris di hantam truk. Sebabnya tidak lain, Nek Maryam lupa kalau kala itu, lampu jalan tengah berubah hijau. Panik nian ia, bersebab pinta Narti terus memartil kepalanya. Tubuhnya tergopoh-gopoh, suara-suara penuh histeris meneriakinya, cericit ban dan sengau klakson bertubi-tubi menghujam ke arahnya. Tapi apa hendak di kata, lari Nek Maryam jauh lebih lambat ketimbang truk tersebut. Dan sudah pasti...

Brakkk....!!

Truk menghantam sebuah kedai pangkas yang ada di bibir jalan. Roboh sebagian isi kedai itu. Ringsek pula moncong depan truk. Syukurnya, kedai itu sudah lama tidak berpenghuni. Bukan sekedar itu, Nek Maryam pun selamat pula !

Itu semua tidak lain, agar lekas berwujud pinta Narti yang sudah-sudah.
Yah, siapa lah yang mau menanggung beban derita hidup Nek Maryam. Kepling dan lurah saja tidak lagi bersemangat membantu bekal hidup Nek Maryam. Bisa dihitung pula berapa kali jatah raskin ia dapat, minyak goreng murah dibelinya, apalagi cek asam urat di puskesmas kelurahan terbilang pula nyaris tidak pernah lagi.

Hanya Narti yang kerap diurusnya. Itu pun sejak pincang sebelah kaki kanan Nek Maryam, tak punya nyali Narti meneruskan kelas SD-nya. Syukur-syukur Narti sehat, sudah hebat kali bagi Nek Maryam menjaga Narti.

“Sudah makan kau, Nar !’

“Sudah, Nek.”

“Dimana ?”

“Di rumah Ruminah, pas azan tadi.”

"Diajaknya kau ke sana atau kau yang minta ?”

Narti diam. Rambutnya yang ikal terus digulung-gulungnya tanpa henti. Nek Maryam marah besar kalau Narti tau ia makan di rumah Ruminah, anak kepling itu.

“Tidak.”

"Ah, bohong kau !!” Nek Maryam mulai pasang tampang curiga. Matanya hendak keluar, giginya gemeretak, wajahnya ikutan pula memerah. Mmhh, kalau begini Narti seolah tak bisa berpaling.

“Pas main boneka-bonekaan. Aku cuma bilang pada Rumi, kalau aku lapar. Lalu, ibunya Ruminah mendengar dan mengajakku sekalian makan bersama dengan mereka. Itu aja kok.”

“Kau tu, ya, sudah berapa kali nenek ingatkan, jangan makan di rumah Ruminah, hah ?!”
Narti diam. Wajahnya sunyi. Masih tertunduk. Dalam hatinya bergemuruh. Padahal, ia tak tau-menahu soal kenapa Nek Maryam melarangnya makan di rumah Ruminah. Setaunya, Nek Maryam sempat bertengkar beberapa bulan silam dengan orangtua Ruminah. Entahlah soal apa. Narti pun tak paham.

Seingatnya, Nek Maryam pernah memaki-maki ayah Ruminah sesiang bolong lalu. Nek Maryam melemparkan botol minyak lampu, karung beras dan kaleng tempat minyak makan. Mungkin sebab itu, Nek Maryam tak lagi sudi mengadu ke rumah kepling kurang ajar itu.

“Kurang ajar ! Itu bapaknya si Ruminah kurang ajar, tau kau ?!!” Masih dengan tatapan nanar, Nek Maryam bersumpah-serapah ke wajah Narti. “Yang kau makan itu jatah kita, jatah orang miskin. Biar tau kau, ya, sejak dia jadi kepling tidak ada lagi jatah beras miskin, minyak lampu dan minyak makan murah untuk kita.” Narti diam. Dia tidak mengerti apa itu beras miskin, apa itu minyak murah. Yang ada dalam pikirnya sekarang, ia sudah kenyang. Tinggal menunggu selesai saja repetan neneknya itu.

“Jatah kita semua diambilnya !!”

Sudahlah, Narti berharap neneknya itu lekas mengakhiri maki-makinya sekarang. Ia capek, ia pingin tidur.

Esoknya, bisik-bisik tetangga tentang Nek Maryam dan Narti makin deras mengalir ke telinga orang-orang. Desas-desus tak sedap hinggap di pelapah hati. Bahkan santer terdengar, celoteh orang-orang menghasut Nek Maryam dan Narti harus segera angkat kaki dari tempat mereka sekarang. Itulah, kalau orang sudah tidak suka. Macam ragamnya agar kita menjauh. Seperti
Nek Maryam kali ini.

“Apa-apaan kalian, ini rumah almarhum anakku dan sekarang ini rumahku, tidak ada hak kalian mengusirku, mengerti ?!!” Kata-kata itu ia lontarkan sepulang dari meminta-minta di tepian jalan, beberapa gang dari tempat tinggalnya.

“Jelaskan, apa alasan kalian mengusirku, hah ?!”
Orang-orang diam. Beberapa dari mereka, yang sebagian besar ibu-ibu, mulai tidak banyak cakap. Hanya berbisik-bisik saja.

“Kalau begitu, pergi kalian. Jangan datangi rumahku lagi. Sudah tak membantu, memfitnah pulak kalian. Ciihh !!” Katanya balas mengejek.

Gonjang-ganjing perihal ketidakamanan kampung lamat-lamat makin dahsyat terdengar. Semua gunjingan itu mengarah ke Nek Maryam dan Narti. Banyak tetangga-tetangga yang kehilangan baju aneka bentuk, mainan anak-anak hingga sampai pula pada peralatan dapur. Kebanyakan dari yang hilang itu persis dimiliki oleh Narti dan Nek Maryam sekarang. Orang-orang menaruh curiga. Mana mungkin Nek Maryam melakukan ini semua ? Tapi, kenapa barang-barang itu ada di rumah Nek Maryam ? Sebagian pula bahkan tampak dipakainya?

Aih, orang-orang ingin melabraknya tapi tidak kuat cukup buktinya. Perihal sakit kaki kanannya lagi, orang-orang pun mulai uring-uringan. Perbannya, obat merahnya, pincangnya, serasa dibuat-buat.

Begitu juga Narti. Beberapa mainan seperti boneka, alat hitung, dan gambar warna-warni sepertinya mulai tampak dimainkan Narti. Pantaslah, sejak Narti memiliki itu. Seperti lambat langkahnya untuk main pula bersama Ruminah, Dorli, Parga atau Surji.

“Iyalah, nenekku kan sekarang sudah baik. Dia rajin membelikanku mainan.” Ujar Narti penuh semangat.

“Duit darimana ? Kapan dibeli ? Dimana pula membelinya ? Kok mirip dengan mainanku ?” Tanya itu keluar dari bibir teman-teman Narti.

“Mana kutau ?!!”

Masih seperti biasa, Nek Maryam terus beraktifitas. Kecurigaan orang-orang kian memuncak. Sudah tiada ampun, barang-barang yang hilang sudah masuk pada taraf benda-benda mahal. Siang ini, Nek Maryam berencana akan dijegal orang-orang kampung agar terjawab pertanyaan mereka perihal Nek Maryam yang melakukan ini semua.

Tetap di simpang yang sama, Nek Maryam meminta-minta dengan tampang memelas. Kakinya berjalan pincang seolah asli. Wajahnya berakting sedih bak artis sinetron di teve-teve. Tidak jarang, orang-orang yang lewat melempar receh pula ke sisi kanan dan kiri.
Dan benar, seharian orang-orang yang menguntit macam gerak Nek Maryam mulai jengah. Mereka sudah pasrah, seolah memang bukan Nek Maryam pelakunya.

“Bagaimana, Yan ? Kita sudah seharian menunggu. Hasilnya nihil.” Kata Mang Pur, tetangga dua rumah dari Nek Maryam.

“Iya, aku juga udah capek.” Itu suara si Zul

“Tunggulah sebentar, nanti pun kita pulang tetap tak bawa hasil kan ? Tunggu saja! ”
Semua hening. Tampak beberapa pemuda lain sudah mulai beranjak pulang.
Hingga akhirnya, Nek Maryam beranjak juga dari simpang itu dan menuju ke sebuah warung nasi. Sengaja dibuka perbannya dan dirogohnya sesuatu dari saku pakaiannya. Sebuah handphone bertipe sederhana lihai dimainkan Nek Maryam sambil menunggu pesanan makan siangnya.

Padahal tiga hari yang lalu, orang-orang dibuat sibuk lantaran telpon selular kepling juga tak luput dicuri orang.



Medan, 07 Januari 2009
Tulisan ini pernah dimuat di Harian GLOBAL
Pada Sabtu, 31 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar